Jakarta (ANTARA) - Dokter dari Rumah Sakit Kanker Dharmais dr. Ariansah Margaluta, Sp.B-KBD mengatakan, kanker kolorektal atau kanker usus disebabkan oleh sejumlah faktor, baik yang bersifat genetik maupun gaya hidup, salah satunya adalah pola makan.
"Kemudian ada dietary risk, seperti makan diet tinggi protein, terutama daging, ataupun daging-daging yang diproses, proses meat, alkohol, tinggi zat besi, keju, lemak, gula," ujar dr Ariansah dalam dalam "Webinar Tentang Pentingnya Awareness Kanker Kolorektal" yang disiarkan di Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan, yang menjadi isunya bukan protein, karena protein justru sangat baik untuk metabolisme dan pertumbuhan. Namun, ujarnya, yang menjadi isu adalah proses saat makanan itu dimasak dan diawetkan.
Dokter itu menjelaskan, kanker kolorektal banyak ditemukan di negara-negara Eropa, Amerika Utara, dan Australia. Hal tersebut, ujarnya, ada kaitannya dengan relasi sosioekonomi dan daya beli masyarakat.
"Pada negara-negara yang mulai bertransisi dengan high development index, yang rendah menjadi yang lebih tinggi, orang memiliki income yang lebih baik, memiliki akses terhadap makanan yang lebih baik, tentunya para akan memilih makanan yang lebih instan. Dan itu mulai terjadi di seluruh negara," ujarnya.
Menurutnya, restoran cepat saji muncul di Indonesia setelah diketahui bahwa masyarakatnya mampu membeli makanan-makanan sejenis itu. Di Asia Tenggara sendiri, ujarnya, kanker kolorektal menelan nyawa 10 dari 100 ribu penduduk, dan menjadi kanker penyebab kematian terparah setelah kanker paru-paru.
Dia melanjutkan, dengan daya beli yang tinggi, masyarakat cenderung tidak berolahraga, dan memilih untuk berpergian dengan transportasi daring. Padahal, katanya, aktivitas fisik sangat penting guna proses regenerasi sel yang baik.
"Padahal di dalam campaign cancer prevention, physical activity itu minimal 30 menit," katanya.
Ariansah mengatakan, adapun faktor lainnya yaitu merokok atau vape, radang usus, atau penyakit-penyakit keganasan lainnya. Faktor genetik juga dapat mempengaruhi, katanya, namun pengaruhnya lebih sedikit dibandingkan faktor-faktor risiko lainnya.
Baca juga: Kenali gejala kanker prostat sedini mungkin
Baca juga: Kaum laki-laki bisa ambil vaksin HPV
"Yang genetik itu hanya 20 persen. Yang sporadis itu 80 persen. Rata-rata pasien datang dengan kanker yang sifatnya sporadis. Artinya, faktor risiko itu bisa dihindari sebetulnya," dia menambahkan.
"Kemudian ada dietary risk, seperti makan diet tinggi protein, terutama daging, ataupun daging-daging yang diproses, proses meat, alkohol, tinggi zat besi, keju, lemak, gula," ujar dr Ariansah dalam dalam "Webinar Tentang Pentingnya Awareness Kanker Kolorektal" yang disiarkan di Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan, yang menjadi isunya bukan protein, karena protein justru sangat baik untuk metabolisme dan pertumbuhan. Namun, ujarnya, yang menjadi isu adalah proses saat makanan itu dimasak dan diawetkan.
Dokter itu menjelaskan, kanker kolorektal banyak ditemukan di negara-negara Eropa, Amerika Utara, dan Australia. Hal tersebut, ujarnya, ada kaitannya dengan relasi sosioekonomi dan daya beli masyarakat.
"Pada negara-negara yang mulai bertransisi dengan high development index, yang rendah menjadi yang lebih tinggi, orang memiliki income yang lebih baik, memiliki akses terhadap makanan yang lebih baik, tentunya para akan memilih makanan yang lebih instan. Dan itu mulai terjadi di seluruh negara," ujarnya.
Menurutnya, restoran cepat saji muncul di Indonesia setelah diketahui bahwa masyarakatnya mampu membeli makanan-makanan sejenis itu. Di Asia Tenggara sendiri, ujarnya, kanker kolorektal menelan nyawa 10 dari 100 ribu penduduk, dan menjadi kanker penyebab kematian terparah setelah kanker paru-paru.
Dia melanjutkan, dengan daya beli yang tinggi, masyarakat cenderung tidak berolahraga, dan memilih untuk berpergian dengan transportasi daring. Padahal, katanya, aktivitas fisik sangat penting guna proses regenerasi sel yang baik.
"Padahal di dalam campaign cancer prevention, physical activity itu minimal 30 menit," katanya.
Ariansah mengatakan, adapun faktor lainnya yaitu merokok atau vape, radang usus, atau penyakit-penyakit keganasan lainnya. Faktor genetik juga dapat mempengaruhi, katanya, namun pengaruhnya lebih sedikit dibandingkan faktor-faktor risiko lainnya.
Baca juga: Kenali gejala kanker prostat sedini mungkin
Baca juga: Kaum laki-laki bisa ambil vaksin HPV
"Yang genetik itu hanya 20 persen. Yang sporadis itu 80 persen. Rata-rata pasien datang dengan kanker yang sifatnya sporadis. Artinya, faktor risiko itu bisa dihindari sebetulnya," dia menambahkan.