Jakarta (ANTARA) - Aroma sedap dari hidangan tercium kuat saat tutup gerabah (perkakas yang dibuat dari tanah liat sebagai tempat makanan dan tempat air) dibuka, tepat lima menit sebelum adzan magrib berkumandang.

Hanya di stan inilah makanan yang diwadahi dengan gerabah, seraya mempertegas kesan tradisional dan eksentrik yang menyesuaikan dengan tema dari hidangan. "Ramesan by Mustika Rasa", begitulah nama yang terpampang cukup besar pada dinding dari stan yang berdiri terpisah dengan area stan makanan lainnya. Seakan menandakan bahwa hidangan yang terdapat pada stan ini paling spesial dibandingkan hidangan lain yang dipersembahkan Restoran Signatures Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta.

 

Antrean tidak begitu padat. Hanya ada sesekali tamu resto yang kedapatan mengasongkan piring kosongnya kepada chef untuk disajikan menu lengkap dari restoran itu saat adzan magrib sebagai penanda waktu berbuka puasa telah tiba.

Di dalam gerabah, masing-masing terdapat enam macam lauk-pauk khas Nusantara, dengan sumber pangan yang didapatkan dari kawasan Bogor dan Bandung, Jawa Barat. Sayur bobor, misalnya, hidangan sayur berkuah santan yang berasal dari Purwokerto, Jawa Tengah, ini menggunakan daun lembayung muda atau sejenis sayuran dari daun kacang panjang. Biasanya bertekstur kasar dan harus dikonsumsi saat sayur masih berwarna hijau muda. Mirip seperti kuah lodeh, yaitu berwarna putih, proses pembuatan sayur bobor ini menggunakan santan kelapa, kencur, bawang merah, dan daun salam agar aroma hidangan semakin terasa nikmat.

“ Ini kali pertama aku mencicipi hidangan Iftar di Signature Restoran. Awalnya aku penasaran dengan stan ini dan aku coba ngantre, tapi ternyata menarik banget, ada menu langka yang cuma ada di zaman Presiden Soekarno,” kata Elizabeth Alicia, salah satu tamu restoran.

Seorang chef sedang menghidangkan 'Ramesan by Mustika Rasa' yaitu hidangan Nusantara dengan mengikuti kaidah memasak sebagaimana yang tercantum pada buku resep warisan Bung Karno tersebut. (ANTARA/Nabila Charisty)

Selain sayur bobor, terdapat lauk-pauk lainnya yang dipersembahkan dari restoran itu, yaitukerecek. Nyaris serupa dengan Gudeg, kerecek pada menu ramesan ini tidak menyertakan kacang tolo atau kacang tunggak (kacang-kacangan mirip kacang kedelai yang direndam semalaman agar empuk) pada hidangannya, sebagaimana pada menu Gudeg. Menu kerecek pada ramesan justru dibuat seperti sambal dengan tetap mempertahankan bentuk utuh dari kerecek, namun diberi potongan cabai yang menyatu pada permukaan kerecek. Kerecek berasal dari kerupuk kulit sapi yang ditumis bersamaan dengan santan, daun salam, batang serai dan aneka bumbu yang dihaluskan, seperti bawang merah, bawang putih, lengkuas, kemiri, dan cabai merah.

Untuk sumber protein, menu "Ramesan by Mustika Rasa" mempersembahkan tahu bacem, dendeng sapi, dan urip-urip ikan bumbu kuah kuning. Untuk tahu bacem, tidak ada perbedaan rasa dengan Gudeg, hanya saja pada Gudeg terdapat kuah berbumbu coklat, sedangkan pada menu ramesan, tahu bacem disajikan dalam hidangan kering atau tanpa kuah, dengan citarasa lengkuas dan gula merah yang cukup meresap hingga ke lapisan terdalam tahu. Sementara untuk dendeng, cukup mirip dengan rendang pada Nasi Kapau atau menu khas Minangkabau, dengan warna coklat kehitaman, dengan rasa tidak sepedas rendang minang.

" Rasanya enak, beda kayak ramesan biasa kalau beli di warung-warung nasi. Menurut saya menarik ya restoran hotel bisa mengenalkan kembali masakan tempo dulu. Cocok juga kok di lidah generasi masa kini," tutur Rika Susilawati kepada ANTARA.

Chef de Cuisine Hotel Indonesia Kempinski Jakarta Chef Widodo kepada ANTARA menuturkan dari menu pakem yang resepnya direkam ke dalam sebuah buku warisan Ir.Soekarno tersebut, Chef Widodo mengganti beberapa bahan baku utama, seraya menyesuaikan lidah para tamu hotel. Bila pada buku resep restoran itu hidangan urip-urip ikan menggunakan ikan lele sebagai bahan dasar, maka pada menu Ramadhan kali ini, Chef Widodo dan tim menggantinya dengan ikan air tawar lainnya, yaitu gurami. Ikan yang bernama latin Osphronemus gourami itu dimarinasi dengan bumbu rempah, seperti kunyit, lengkuas, dan jahe, sebelum akhirnya masuk tahap pengasapan.

“Ramesan spesial kita adalah menu-menu yang jarang dipersembahkan lagi. Jadi yang sudah langka, kami kan perkenalkan lagi dengan hasil bumi Indonesia. Kami olah bagaimana caranya dengan spice atau rempah-rempah, sehingga menjadi menarik dan enak untuk disajikan dan dinikmati,” kata Chef Widodo. 

Hanya saja, yang membedakan dari ramesan umumnya terletak pada nasi. Bila biasanya ramesan di warung nasi hanya menyediakan nasi putih, maka di restoran dari hotel bintang lima pertama di Jakarta ini menyajikan nasi berwarna hijau dengan cita rasa pandan dan aroma yang khas.

Nasi tersebut, menurut pemilik nama lengkap Prasetyo Widodo merupakan menu yang hanya dipersembahkan kepada para sultan di zaman dahulu. Menu tersebut, bahkan sudah lama tidak muncul di zaman sekarang, sebab hanya dipersembahkan pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno.

“Kami ada buku Mustika Rasa yang menciptakan makanan-makanan khas tradisional dari seluruh Nusantara yang hanya disajikan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Bahkan, menu itu sudah lama tidak muncul ke permukaan atau dinikmati. Karena itu, kami sekarang menyajikannya di Hotel Indonesia Kempinski,” ungkap Chef Widodo kepada ANTARA.

Menurut penuturan Chef Widodo, lahirnya buku resep itu sebagai wujud upaya pemerintah Indonesia yang ingin menciptakan kedaulatan pangan. Para petinggi di Republik ini berpendapat bahwa kedaulatan pangan bakal sulit terwujud tanpa mengoptimalkan potensi daerah yang tercermin dari keragaman benih lokal sesuai kondisi alam setempat.

Kekayaan rempah-rempah pada khazanah kuliner Nusantara pun pada akhirnya didokumentasikan melalui buku resep. Buku tersebut merupakan buku istimewa karena proses peramuan resepnya melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pamong praja di desa-desa, ahli kuliner, ahli gizi, hingga chef-chef hotel berbintang, termasuk dari Hotel Indonesia (yang saat ini menjadi hotel kami yang kemudian diterbitkan oleh Departemen Pertanian.

“Jadi buku ini diciptakan oleh chef pada zaman Bapak Soekarno. Sebagian besar yang ikut merangkum isi buku adalah mereka dari hotel berbintang yang ada di Jakarta. Kemudian dari Departemen Pertanian (yang sekarang berubah menjadi Kementerian Pertanian) mereka menciptakan menu yang nantinya bakal dinikmati rakyat Indonesia,” tutur Chef Widodo. 

Kala itu, pengumpulan bahan-bahannya dilakukan sendiri oleh Bung Karno dan timnya. Mereka keliling Indonesia untuk mengumpulkan resep-resep masakan. Di dalam buku yang terbit pada 1967 tersebut terdapat 1.600 resep masakan dari Sabang sampai Merauke, yang tak hanya memuat resep hidangan berbahan dasar beras, tetapi juga meramu makanan khas yang tidak menggunakan beras. Hal ini bertujuan untuk mengurangi impor beras pada saat itu. Selain membuat Indonesia tidak bergantung pada bahan pangan impor, bahan pangan lokal dianggap lebih menyehatkan.

Resep masakan warisan Soekarno itu pun bisa dinikmati sebagai menu berbuka puasa pada 10 Maret – 9 April 2024.


Pewarta : Nabila Anisya Charisty
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2024