Samarinda (ANTARA) - Embusan angin Samarinda membawa aroma rempah menggoda di pengujung Ramadhan. Di sudut Kota Tepian, tepatnya di Masjid Shiratal Mustaqiem, Jalan Pangeran Bendahara, Kelurahan Masjid, tradisi unik tengah dihidangkan. Bubur peca namanya.
Bukan sekadar menu buka puasa biasa, bubur peca menjadi perjalanan rasa dan ibadah yang telah mengikat masyarakat sekitar masjid selama lebih dari seabad.
Masjid Shiratal Mustaqiem berdiri kokoh menyimpan jejak sejarah. Bangunan berusia lebih dari 100 tahun ini tak hanya menjadi tempat beribadah, tapi juga rumah bagi tradisi Ramadhan yang kental dengan kekeluargaan. Bubur peca -- dalam bahasa Indonesia berarti bubur yang lembek -- menjadi hidangan andalan.
Mardiyana, biasa disapa Alus, pengurus masjid yang sudah 21 tahun menjaga tradisi ini, menuturkan bahwa bubur peca ini makanan khas Kampung Masjid, Samarinda. Memang khusus dihidangkan pads bulan puasa. “Dari nenek moyang kami dulu, resepnya diwariskan turun-temurun,” sebutnya.
Bubur peca memiliki tekstur yang teramat lembut. Nasi yang dimasak dengan santan dan kaldu ayam kampung bercampur rempah menghasilkan cita rasa gurih yang begitu memikat. Namun, bubur peca tak melulu soal rasa. Bagi masyarakat sekitar masjid, ini adalah tradisi yang merekatkan hubungan dan diyakini membawa berkah.
Konon, bubur peca memiliki khasiat untuk kesehatan. “Katanya jamaah, ini bagus dikonsumsi bagi yang berpenyakit mag,” ucap Alus.
Tak heran, para sesepuh di Kampung Masjid sekitar mempercayai bahwa dengan menyantap bubur peca membuat raga menjadi lebih sehat dan berkah Ramadhan makin terasa.
Resep warisan
Membuat bubur peca memang tidaklah mudah dan tak semua orang bisa memasaknya. Prosesnya menuntut dedikasi dan kesabaran. Alus bercerita, ia dan timnya mulai sibuk di dapur sejak pagi hari.
"Pukul delapan pagi kami sudah mulai. Dulu nenek saya yang buat, lalu dilanjutkan mama. Setelah mama meninggal, saya meneruskannya,” ungkap Alus.
Sebenarnya -- karena kondisi badan yang tak begitu fit -- ia berkeinginan untuk berhenti. Namun bujukan dari jamaah masjid sekitar mendorongnya untuk menjaga agar hidangan Ramadhan bubur peca selalu lestari. Alasan jamaah, tak ada yang bisa memasaknya selezat buatan Alus.
Alus tak sendirian. Ia dibantu oleh tujuh orang pengurus masjid lainnya. Menariknya, mereka juga melibatkan para remaja masjid untuk turut serta dalam proses pembuatan bubur peca. Bubur itu harus selalu diaduk secara telaten selama kurang lebih 5 jam.
Resep bubur peca dijaga ketat. Bumbu-bumbunya diracik dengan komposisi khusus yang dirahasiakan. “Sudah khasnya,” ujar Alus sambil tersenyum. “Rempahnya macam-macam, ada bawang merah, bawang putih, jahe, kayu manis, dan lain-lain. Santannya pakai yang kental, dan ayamnya juga khusus, lima ekor kami jadikan kaldu dulu.”
Proses pengadukan bubur peca membutuhkan waktu berjam-jam untuk menghasilkan tekstur yang lembut dan merata. Tampak Sang Juru Masak Mardiyana (kiri) mengawasi proses pengadukan. ANTARA/Ahmad Rifandi
Proses memasak pun tak asal-asalan. Bubur harus diaduk terus-menerus selama berjam-jam agar teksturnya lembut dan bumbunya meresap sempurna
Untuk sekali masak, menghabiskan 25 kilogram beras. Dengan takaran 10 kilogram untuk hidangan berbuka puasa, sedangkan 15 kilogram untuk dibagikan kepada jamaah sekitar masjid untuk bisa disantap oleh keluarga di rumah.
Untuk lauk yang disajikan di atas bubur bervariasi setiap harinya agar jamaah tak jenuh. Terkadang dilengkapi ayam bistik, bisa juga ayam suwir, hingga telur bumbu merah.
Alus merasa senang bubur olahannya menjadi primadona bagi masyarakat sekitar masjid. Makin mendekati pengujung Ramadhan, warga Samarinda yang berbuka di masjid tertua Samarinda itu justru kian ramai. Sebanyak 300 porsi bubur peca setiap hari yang disusun untuk berbuka puasa di sekeliling teras masjid, selalu ludes.
Semangat kebersamaan
Menjelang sore hari, aroma bubur peca yang menguar dari sudut masjid yang dijadikan wadah penyajian mulai menarik perhatian. Jamaah yang baru selesai melaksanakan shalat Ashar tampak bahagia menanti hidangan istimewa ini.
Proses pembagian pun tak kalah menarik. Alus dan timnya menyiapkan ratusan tempat makan yang akan dibagikan kepada jamaah. Bubur peca tak pernah bersisa, sebab dianggap sebagai hidangan spesial yang disajikan hanya setahun sekali dalam momen Ramadhan.
Filosofi berbagi ini pun menjadi benang merah dalam tradisi bubur peca. Setiap ibu membawa rantang dari rumah untuk diisi agar bisa disantap oleh keluarga di rumah.
Semangat kebersamaan ini pun dirasakan oleh jamaah.
Tradisi berbuka bubur peca di Masjid Shiratal Mustaqiem tak hanya tentang rasa dan aroma yang memikat. Lebih dari itu, tradisi ini menjadi simbol kebersamaan, kepedulian, dan nilai-nilai luhur Ramadhan.
Bubur peca menjadi pengingat bahwa tradisi kuliner bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang cerita, budaya, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Di tengah arus modernisasi, tradisi ini menjadi bukti bahwa nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong masih lestari di Samarinda.
Tradisi bubur peca di Masjid Shiratal Mustaqiem mengingatkan tentang pentingnya menjaga tradisi dan budaya. Tradisi ini juga menjadi contoh indah tentang kebersamaan dan kepedulian dalam masyarakat.
Bubur peca di Masjid Shiratal Mustaqiem tak hanya memanjakan lidah, tetapi juga menyentuh hati. Tradisi ini menjadi pengingat bahwa Ramadhan tak hanya tentang menahan lapar, tetapi juga tentang berbagi dan menjalin silaturahim. Bubur peca menjadi perwujudan indah dari nilai-nilai Ramadhan yang dihayati masyarakat Samarinda.
Upaya melestarikan tradisi
Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Masjid Shiratal Mustaqiem bersama dengan pengurus masjid berencana untuk mengadakan beberapa kegiatan untuk melestarikan dan mengembangkan tradisi ini. Hal ini menyadari nilai tradisi dan potensi wisata kuliner bubur peca.
“Rencananya, kami akan mengadakan event masak-masak makanan khas Samarinda, termasuk bubur peca, dengan melibatkan anak-anak muda dalam kegiatan ini, agar tradisi ini dapat terus berlanjut dan digemari oleh generasi penerus.” Ungkap Ketua Pokdarwis Majid Sihiratal Mustaqiem Mazbar Arianto Bakhtiar.
Selain itu, pokdarwis itu juga berencana untuk berkolaborasi dengan para pengusaha kuliner di Samarinda untuk menjadikan bubur peca sebagai menu andalan khas Samarinda. Dengan begitu, tradisi ini dapat terus dilestarikan dan menjadi salah satu ikon kuliner khas Samarinda
Bukan sekadar menu buka puasa biasa, bubur peca menjadi perjalanan rasa dan ibadah yang telah mengikat masyarakat sekitar masjid selama lebih dari seabad.
Masjid Shiratal Mustaqiem berdiri kokoh menyimpan jejak sejarah. Bangunan berusia lebih dari 100 tahun ini tak hanya menjadi tempat beribadah, tapi juga rumah bagi tradisi Ramadhan yang kental dengan kekeluargaan. Bubur peca -- dalam bahasa Indonesia berarti bubur yang lembek -- menjadi hidangan andalan.
Mardiyana, biasa disapa Alus, pengurus masjid yang sudah 21 tahun menjaga tradisi ini, menuturkan bahwa bubur peca ini makanan khas Kampung Masjid, Samarinda. Memang khusus dihidangkan pads bulan puasa. “Dari nenek moyang kami dulu, resepnya diwariskan turun-temurun,” sebutnya.
Bubur peca memiliki tekstur yang teramat lembut. Nasi yang dimasak dengan santan dan kaldu ayam kampung bercampur rempah menghasilkan cita rasa gurih yang begitu memikat. Namun, bubur peca tak melulu soal rasa. Bagi masyarakat sekitar masjid, ini adalah tradisi yang merekatkan hubungan dan diyakini membawa berkah.
Konon, bubur peca memiliki khasiat untuk kesehatan. “Katanya jamaah, ini bagus dikonsumsi bagi yang berpenyakit mag,” ucap Alus.
Tak heran, para sesepuh di Kampung Masjid sekitar mempercayai bahwa dengan menyantap bubur peca membuat raga menjadi lebih sehat dan berkah Ramadhan makin terasa.
Resep warisan
Membuat bubur peca memang tidaklah mudah dan tak semua orang bisa memasaknya. Prosesnya menuntut dedikasi dan kesabaran. Alus bercerita, ia dan timnya mulai sibuk di dapur sejak pagi hari.
"Pukul delapan pagi kami sudah mulai. Dulu nenek saya yang buat, lalu dilanjutkan mama. Setelah mama meninggal, saya meneruskannya,” ungkap Alus.
Sebenarnya -- karena kondisi badan yang tak begitu fit -- ia berkeinginan untuk berhenti. Namun bujukan dari jamaah masjid sekitar mendorongnya untuk menjaga agar hidangan Ramadhan bubur peca selalu lestari. Alasan jamaah, tak ada yang bisa memasaknya selezat buatan Alus.
Alus tak sendirian. Ia dibantu oleh tujuh orang pengurus masjid lainnya. Menariknya, mereka juga melibatkan para remaja masjid untuk turut serta dalam proses pembuatan bubur peca. Bubur itu harus selalu diaduk secara telaten selama kurang lebih 5 jam.
Resep bubur peca dijaga ketat. Bumbu-bumbunya diracik dengan komposisi khusus yang dirahasiakan. “Sudah khasnya,” ujar Alus sambil tersenyum. “Rempahnya macam-macam, ada bawang merah, bawang putih, jahe, kayu manis, dan lain-lain. Santannya pakai yang kental, dan ayamnya juga khusus, lima ekor kami jadikan kaldu dulu.”
Proses memasak pun tak asal-asalan. Bubur harus diaduk terus-menerus selama berjam-jam agar teksturnya lembut dan bumbunya meresap sempurna
Untuk sekali masak, menghabiskan 25 kilogram beras. Dengan takaran 10 kilogram untuk hidangan berbuka puasa, sedangkan 15 kilogram untuk dibagikan kepada jamaah sekitar masjid untuk bisa disantap oleh keluarga di rumah.
Untuk lauk yang disajikan di atas bubur bervariasi setiap harinya agar jamaah tak jenuh. Terkadang dilengkapi ayam bistik, bisa juga ayam suwir, hingga telur bumbu merah.
Alus merasa senang bubur olahannya menjadi primadona bagi masyarakat sekitar masjid. Makin mendekati pengujung Ramadhan, warga Samarinda yang berbuka di masjid tertua Samarinda itu justru kian ramai. Sebanyak 300 porsi bubur peca setiap hari yang disusun untuk berbuka puasa di sekeliling teras masjid, selalu ludes.
Semangat kebersamaan
Menjelang sore hari, aroma bubur peca yang menguar dari sudut masjid yang dijadikan wadah penyajian mulai menarik perhatian. Jamaah yang baru selesai melaksanakan shalat Ashar tampak bahagia menanti hidangan istimewa ini.
Proses pembagian pun tak kalah menarik. Alus dan timnya menyiapkan ratusan tempat makan yang akan dibagikan kepada jamaah. Bubur peca tak pernah bersisa, sebab dianggap sebagai hidangan spesial yang disajikan hanya setahun sekali dalam momen Ramadhan.
Filosofi berbagi ini pun menjadi benang merah dalam tradisi bubur peca. Setiap ibu membawa rantang dari rumah untuk diisi agar bisa disantap oleh keluarga di rumah.
Semangat kebersamaan ini pun dirasakan oleh jamaah.
Tradisi berbuka bubur peca di Masjid Shiratal Mustaqiem tak hanya tentang rasa dan aroma yang memikat. Lebih dari itu, tradisi ini menjadi simbol kebersamaan, kepedulian, dan nilai-nilai luhur Ramadhan.
Bubur peca menjadi pengingat bahwa tradisi kuliner bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang cerita, budaya, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Di tengah arus modernisasi, tradisi ini menjadi bukti bahwa nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong masih lestari di Samarinda.
Tradisi bubur peca di Masjid Shiratal Mustaqiem mengingatkan tentang pentingnya menjaga tradisi dan budaya. Tradisi ini juga menjadi contoh indah tentang kebersamaan dan kepedulian dalam masyarakat.
Bubur peca di Masjid Shiratal Mustaqiem tak hanya memanjakan lidah, tetapi juga menyentuh hati. Tradisi ini menjadi pengingat bahwa Ramadhan tak hanya tentang menahan lapar, tetapi juga tentang berbagi dan menjalin silaturahim. Bubur peca menjadi perwujudan indah dari nilai-nilai Ramadhan yang dihayati masyarakat Samarinda.
Upaya melestarikan tradisi
Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Masjid Shiratal Mustaqiem bersama dengan pengurus masjid berencana untuk mengadakan beberapa kegiatan untuk melestarikan dan mengembangkan tradisi ini. Hal ini menyadari nilai tradisi dan potensi wisata kuliner bubur peca.
“Rencananya, kami akan mengadakan event masak-masak makanan khas Samarinda, termasuk bubur peca, dengan melibatkan anak-anak muda dalam kegiatan ini, agar tradisi ini dapat terus berlanjut dan digemari oleh generasi penerus.” Ungkap Ketua Pokdarwis Majid Sihiratal Mustaqiem Mazbar Arianto Bakhtiar.
Selain itu, pokdarwis itu juga berencana untuk berkolaborasi dengan para pengusaha kuliner di Samarinda untuk menjadikan bubur peca sebagai menu andalan khas Samarinda. Dengan begitu, tradisi ini dapat terus dilestarikan dan menjadi salah satu ikon kuliner khas Samarinda