Xi'an (ANTARA) - Salah satu konten kreator asal Indonesia, Alexander William (23), mengaku senang mengikuti Forum Pengembangan Jalur Sutra Digital pada Konferensi Internet Dunia karena dapat memperluas jaringan sesama pegiat media sosial.
"Hal yang saya suka dari forum seperti ini bukan pembahasan tema atau hasil forumnya, tapi lebih sebagai wadah untuk mempertemukan dengan sesama kreator konten dari berbagai negara," kata Alexander di Xi'an, Provinsi Shaanxi, China, Selasa.
Alexander menyampaikan hal tersebut pada sela-sela acara Forum Pengembangan Jalur Sutra Digital pada Konferensi Internet Dunia yang diselenggarakan pada 15-16 April 2024. Forum ini diselenggarakan bersama oleh Pemerintah Provinsi Shaanxi dan World Internet Conference (WIC) yaitu satu badan yang berbasis di Beijing untuk mempromosikan visi China terhadap dunia maya.
Alexander yang sedang menempuh studi di jurusan "Chinese International Education" tingkat magister di Universitas Huaqiao, Xiamen, Provinsi Fujian itu mengaku tidak terlalu suka mencari topik yang sedang viral tetapi lebih ingin menunjukkan relasi dalam setiap video garapannya.
"Seperti ngobrol-ngobrol saja mengenai pengalaman kehidupan di negara masing-masing, jadi tadi kenalan dengan kreator konten dari Pakistan, Rusia, Kroasia, juga China dan kesempatan untuk ngobrol dengan mereka itu tidak setiap saat datang, apalagi pengikut mereka sudah jauh lebih banyak di China," ungkap Alexander.
Alexander William (ANTARA/Desca Lidya Natalia)
Pria asal Jakarta itu mengaku baru membuat konten di medsos pada Desember 2020 sebagai proyek bersama di kampusnya. Saat itu ada satu dosen yang meminta agar mahasiswa-mahasiswi dari luar China bisa bekerja sama untuk membuat video mengenai kehidupan di China karena Negeri Tirai Bambu itu sedang ditutup akibat pandemi.
"Jadi awalnya hanya 'sharing kehidupan di China' saja, jadi mulai buat konten soal vaksin, soal kegiatan parlemen China, semua dari sudut pandang orang asing yang ada di China, tapi ternyata dapat perhatian dari warga China," tambah Alexander.
Video-video yang ia dan teman-temannya buat kemudian disebarkan di medsos lokal China seperti "WeChat Channel" dengan nama "Haiwai xin sheng dai" yang berarti "Generasi suara baru dari luar negeri".
"Saat ini ada sekitar 120 orang sebagai orang yang menjelaskan di depan kamera mengenai suatu topik yang dibahas, video dalam Bahasa Inggris tapi ada juga yang Mandarin," ungkap Alexander.
Ia sendiri pernah mendapat penghargaan dari Provinsi Fujian sebagai salah satu kreator konten karena mengangkat topik mengenai budaya minum teh di Gunung Wuyi di perbatasan Provinsi Jiangxi dan Fujian.
Setelah sekitar 5 tahun berada di China dan memperhatikan banyak konten di media sosial, Alexander menyebut resep konten yang akan menarik banyak penonton adalah mengenai keistimewaan suatu negara yang berada di negara lain dari sudut pandang orang yang ada di negara lain tersebut.
"Contohnya kreator konten Indonesia bila mau menarik banyak penonton dari China bisa membahas A-Z kereta cepat Jakarta-Bandung atau whoosh karena orang China suka banget hal seperti itu, mereka melihat Whoosh dapat merepresentasikan negaranya di Indonesia," jelas Alexander.
Sedangkan untuk kreator konten dari China bisa membahas rasa mie instan asal Indonesia dari sudut pandang orang China mulai dari rasa, tekstur dan hal lainnya.
"Walau tampak biasa, tapi saya yakin kalau ada warga negara lain mencoba mie instan Indonesia terus dibahas jadi konten itu akan dapat 'exposure' karena rasanya beda gitu melihat hal sederhana dibahas di luar negeri orang luar," kata Alexander.
Namun khusus untuk menembus "pasar" China, Alexander menyebut, kreator konten juga perlu menguasai bahasa Mandarin dan juga memiliki akun di medsos lokal China yaitu "Xiaohongshu", "Douyin", "Bilibili" dan "Weibo".
"Tapi sebenarnya kalau sudah punya materi dan dipublikasikan di Instagram, Facebook, X dan Youtube tinggal 'diposting' dengan melengkapi bahasa Mandarin dan sudut pandang orang China jadi bisa ditampilkan juga di medsos China," ungkapnya.
Dalam upacara pembukaan forum itu, Direktur Ghana Dot Com, sebuah perusahaan penyedia informasi teknologi di Ghana, yakni Nii Quaynor, mengatakan Afrika membutuhkan dukungan dari negara lain untuk dapat menyediakan internet di benua tersebut.
"Penggunaan internet di Afrika baru 43 persen, Afrika tertinggal dibanding Eropa dan Asia dan China adalah bagian dari Asia dan bila ada yang membantu Afrika dalam menyediakan infrastruktur untuk meningkatkan konektivitas, maka Afrika dapat menjadi pasar internet besar di dunia," kata Nii Quaynor.
Quaynor menyebut tanpa keterbukaan maupun "open source" dari negara-negara lain, susah bagi pengembang lokal di Afrika untuk dapat meningkatkan penggunaan internet, sehingga Afrika membutuhkan bantuan untuk membangun jaringan, pengembangan kapasitas, infrastruktur dan masalah teknis lainnya.
Acara "World Internet Conference Digital Silk Road Development Forum" sendiri dibuat untuk mempromosikan Jalur Sutra Digital atau "Digital Silk Road" yaitu program kerja sama dari Presiden China Xi Jinping di bidang teknologi dan komunikasi kepada negara-negara anggota Belt and Road Initiative (BRI).
Sekitar 800 orang menjadi peserta forum tersebut yang berasal dari organisasi dan perusahaan asal hampir 50 negara dan wilayah, termasuk Global System for Mobile Communications Association (GSMA), Shanghai Cooperation Organization, Intel, SAP, Nokia, ZTE, AS Intel, Micron Technology, Qualcomm, operator platform e-commerce Tiongkok PDD Holdings dan Alibaba Group Holding, raksasa komputer pribadi Lenovo Group dan perusahaan asuransi Pingan Group.
Pada akhir 2022, China telah menandatangani nota kesepahaman mengenai pembangunan Jalur Sutra Digital dengan 17 negara, dan kerja sama perdagangan elektronik (e-commerce) dengan 30 negara.
Baca juga: KPU membuka peluang konten kreator jadi moderator debat Pemilu 2024
Baca juga: Menteri PPPA Bintang Puspayoga mengajak konten kreator ramaikan konten ramah anak
Sejumlah perusahaan raksasa e-commerce China seperti Alibaba dan Pinduoduo juga telah meluncurkan "platform" lintas batas, seperti Lazada dan Temu, untuk membantu lebih banyak produk China "mengglobal".
Belt and Road Inisiatiave (BRI) sendiri diluncurkan pada 2013 yang melibatkan investasi dan pembangunan infrastruktur besar-besaran China di 152 negara yang tersebar di Eropa, Asia termasuk Indonesia, Timur Tengah, Amerika Latin dan Afrika.
"Hal yang saya suka dari forum seperti ini bukan pembahasan tema atau hasil forumnya, tapi lebih sebagai wadah untuk mempertemukan dengan sesama kreator konten dari berbagai negara," kata Alexander di Xi'an, Provinsi Shaanxi, China, Selasa.
Alexander menyampaikan hal tersebut pada sela-sela acara Forum Pengembangan Jalur Sutra Digital pada Konferensi Internet Dunia yang diselenggarakan pada 15-16 April 2024. Forum ini diselenggarakan bersama oleh Pemerintah Provinsi Shaanxi dan World Internet Conference (WIC) yaitu satu badan yang berbasis di Beijing untuk mempromosikan visi China terhadap dunia maya.
Alexander yang sedang menempuh studi di jurusan "Chinese International Education" tingkat magister di Universitas Huaqiao, Xiamen, Provinsi Fujian itu mengaku tidak terlalu suka mencari topik yang sedang viral tetapi lebih ingin menunjukkan relasi dalam setiap video garapannya.
"Seperti ngobrol-ngobrol saja mengenai pengalaman kehidupan di negara masing-masing, jadi tadi kenalan dengan kreator konten dari Pakistan, Rusia, Kroasia, juga China dan kesempatan untuk ngobrol dengan mereka itu tidak setiap saat datang, apalagi pengikut mereka sudah jauh lebih banyak di China," ungkap Alexander.
Pria asal Jakarta itu mengaku baru membuat konten di medsos pada Desember 2020 sebagai proyek bersama di kampusnya. Saat itu ada satu dosen yang meminta agar mahasiswa-mahasiswi dari luar China bisa bekerja sama untuk membuat video mengenai kehidupan di China karena Negeri Tirai Bambu itu sedang ditutup akibat pandemi.
"Jadi awalnya hanya 'sharing kehidupan di China' saja, jadi mulai buat konten soal vaksin, soal kegiatan parlemen China, semua dari sudut pandang orang asing yang ada di China, tapi ternyata dapat perhatian dari warga China," tambah Alexander.
Video-video yang ia dan teman-temannya buat kemudian disebarkan di medsos lokal China seperti "WeChat Channel" dengan nama "Haiwai xin sheng dai" yang berarti "Generasi suara baru dari luar negeri".
"Saat ini ada sekitar 120 orang sebagai orang yang menjelaskan di depan kamera mengenai suatu topik yang dibahas, video dalam Bahasa Inggris tapi ada juga yang Mandarin," ungkap Alexander.
Ia sendiri pernah mendapat penghargaan dari Provinsi Fujian sebagai salah satu kreator konten karena mengangkat topik mengenai budaya minum teh di Gunung Wuyi di perbatasan Provinsi Jiangxi dan Fujian.
Setelah sekitar 5 tahun berada di China dan memperhatikan banyak konten di media sosial, Alexander menyebut resep konten yang akan menarik banyak penonton adalah mengenai keistimewaan suatu negara yang berada di negara lain dari sudut pandang orang yang ada di negara lain tersebut.
"Contohnya kreator konten Indonesia bila mau menarik banyak penonton dari China bisa membahas A-Z kereta cepat Jakarta-Bandung atau whoosh karena orang China suka banget hal seperti itu, mereka melihat Whoosh dapat merepresentasikan negaranya di Indonesia," jelas Alexander.
Sedangkan untuk kreator konten dari China bisa membahas rasa mie instan asal Indonesia dari sudut pandang orang China mulai dari rasa, tekstur dan hal lainnya.
"Walau tampak biasa, tapi saya yakin kalau ada warga negara lain mencoba mie instan Indonesia terus dibahas jadi konten itu akan dapat 'exposure' karena rasanya beda gitu melihat hal sederhana dibahas di luar negeri orang luar," kata Alexander.
Namun khusus untuk menembus "pasar" China, Alexander menyebut, kreator konten juga perlu menguasai bahasa Mandarin dan juga memiliki akun di medsos lokal China yaitu "Xiaohongshu", "Douyin", "Bilibili" dan "Weibo".
"Tapi sebenarnya kalau sudah punya materi dan dipublikasikan di Instagram, Facebook, X dan Youtube tinggal 'diposting' dengan melengkapi bahasa Mandarin dan sudut pandang orang China jadi bisa ditampilkan juga di medsos China," ungkapnya.
Dalam upacara pembukaan forum itu, Direktur Ghana Dot Com, sebuah perusahaan penyedia informasi teknologi di Ghana, yakni Nii Quaynor, mengatakan Afrika membutuhkan dukungan dari negara lain untuk dapat menyediakan internet di benua tersebut.
"Penggunaan internet di Afrika baru 43 persen, Afrika tertinggal dibanding Eropa dan Asia dan China adalah bagian dari Asia dan bila ada yang membantu Afrika dalam menyediakan infrastruktur untuk meningkatkan konektivitas, maka Afrika dapat menjadi pasar internet besar di dunia," kata Nii Quaynor.
Quaynor menyebut tanpa keterbukaan maupun "open source" dari negara-negara lain, susah bagi pengembang lokal di Afrika untuk dapat meningkatkan penggunaan internet, sehingga Afrika membutuhkan bantuan untuk membangun jaringan, pengembangan kapasitas, infrastruktur dan masalah teknis lainnya.
Acara "World Internet Conference Digital Silk Road Development Forum" sendiri dibuat untuk mempromosikan Jalur Sutra Digital atau "Digital Silk Road" yaitu program kerja sama dari Presiden China Xi Jinping di bidang teknologi dan komunikasi kepada negara-negara anggota Belt and Road Initiative (BRI).
Sekitar 800 orang menjadi peserta forum tersebut yang berasal dari organisasi dan perusahaan asal hampir 50 negara dan wilayah, termasuk Global System for Mobile Communications Association (GSMA), Shanghai Cooperation Organization, Intel, SAP, Nokia, ZTE, AS Intel, Micron Technology, Qualcomm, operator platform e-commerce Tiongkok PDD Holdings dan Alibaba Group Holding, raksasa komputer pribadi Lenovo Group dan perusahaan asuransi Pingan Group.
Pada akhir 2022, China telah menandatangani nota kesepahaman mengenai pembangunan Jalur Sutra Digital dengan 17 negara, dan kerja sama perdagangan elektronik (e-commerce) dengan 30 negara.
Baca juga: KPU membuka peluang konten kreator jadi moderator debat Pemilu 2024
Baca juga: Menteri PPPA Bintang Puspayoga mengajak konten kreator ramaikan konten ramah anak
Sejumlah perusahaan raksasa e-commerce China seperti Alibaba dan Pinduoduo juga telah meluncurkan "platform" lintas batas, seperti Lazada dan Temu, untuk membantu lebih banyak produk China "mengglobal".
Belt and Road Inisiatiave (BRI) sendiri diluncurkan pada 2013 yang melibatkan investasi dan pembangunan infrastruktur besar-besaran China di 152 negara yang tersebar di Eropa, Asia termasuk Indonesia, Timur Tengah, Amerika Latin dan Afrika.