Jakarta (ANTARA) - Fenomena nihil serangan teroris di Indonesia pada 2023 layaknya teori gunung es. Tidak muncul di permukaan bukan berarti tidak ada pergerakan di bawah permukaan atau tidak terlihat.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI mengungkapkan di bawah permukaan terdapat peningkatan penguatan sel-sel terorisme yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya jumlah pelaku yang ditangkap dan jumlah penyitaan senjata, amunisi, maupun bahan peledak.
Benar saja, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri bersama TNI sepanjang tahun 2023 mencokok 148 terduga teroris yang berasal dari kelompok Jemaah Islam Indonesia (JII) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Selain itu, di bawah permukaan terjadi pula peningkatan pengumpulan dana bagi teroris dengan menggunakan berbagai cara dan memanfaatkan beragam momentum.
Proses radikalisasi di bawah permukaan pun terlihat meningkat, dengan menyasar perempuan, anak-anak, dan remaja sebagai kelompok yang paling rentan terpapar paham radikalisme.
Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Indeks Potensi Radikalisme BNPT yang menunjukkan potensi terpapar lebih tinggi pada wanita, generasi muda, khususnya Gen Z umur 11 -- 26 tahun dan mereka yang aktif di Internet.
Penyebaran paham radikalisme kepada kelompok rentan itu dilakukan secara sistematis, masif, dan terencana dengan memanfaatkan jumlah penganut agama, memanipulasi berbagai simbol, dan atribut agama.
Radikalisme merupakan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan dan menargetkan terjadinya perubahan drastis yang diinginkan.
Biasanya, orang-orang atau kelompok yang sudah terpapar radikalisme lebih mudah menjiwai aksi terorisme sehingga radikalisme bisa dikatakan sebagai cikal bakal fase menuju terorisme.
Untuk itu dalam mengatasi terorisme, paham radikalisme yang ada pada orang atau kelompok tertentu harus diberantas terlebih dahulu.
Dalam hal tersebut, Pemerintah melalui BNPT menggiatkan program deradikalisasi untuk menetralkan pemikiran-pemikiran kelompok maupun orang yang sudah terpapar radikalisme sehingga memberikan mereka kesempatan untuk kembali ke masyarakat dengan sikap yang lebih positif.
Program deradikalisasi dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) khusus teroris serta di luar lapas.
Di dalam lapas, program deradikalisasi dijalankan terpusat di Pusat Deradikalisasi (Pusderad) BNPT melalui Lapas Khusus Klas II B Sentul.
Ibarat sebuah sekolah, Pusderad, yang didirikan pada 2017, menjadi wadah untuk mengubah pola pikir dan pola perilaku seseorang yang tadinya eksklusif menjadi inklusif, serta melengkapi mitra deradikalisasi dengan berbagai keahlian sebagai bekal untuk kembali ke masyarakat.
Kolaborasi
Dalam mencegah berkembangnya paham radikalisme di masyarakat, BNPT tidak bisa sendiri. Diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak maupun elemen masyarakat, hingga internasional.
Untuk itu bersama-sama dengan beberapa sekolah, BNPT menyelenggarakan program Sekolah Damai sebagai pendidikan dan pelatihan bagi siswa tentang bahaya radikalisme dan terorisme serta cara mengenali tanda-tanda awalnya.
BNPT juga mendorong partisipasi aktif masyarakat melalui pemberdayaan komunitas dalam upaya pencegahan radikalisme dan terorisme dengan membangun kesadaran dan pemahaman tentang nilai-nilai kebangsaan dan keragaman budaya, salah satunya dengan Desa Siapsiaga.
Dalam kerja sama internasional, BNPT RI berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum dan intelijen di negara-negara lain untuk pertukaran informasi dan kerja sama dalam mencegah pergerakan militan lintas batas.
Salah satu koordinasi yang dilakukan BNPT di internasional, yakni dilakukan dengan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan narkoba dan kejahatan (United Nations Office on Drugs and Crime/UNODC).
BNPT RI bersama UNODC telah menjalankan program STRIVE Juvenile Project yang bertujuan untuk mengatasi tantangan dalam mendukung anak-anak yang terkait dengan kelompok teroris dan ekstremis kekerasan untuk mencapai rehabilitasi dan integrasi yang efektif. Selama tiga tahun terakhir dijalankan, program tersebut berhasil melebihi target pencapaian.
Berbagai capaian dimaksud, yakni menghasilkan penelitian, melahirkan pelatih nasional dalam asesmen psikososial, menghasilkan modul pembelajaran, melaksanakan pelatihan terhadap pekerja sosial dan psikolog, menghasilkan catatan panduan pidana anak dalam konteks kontra terorisme, panduan asesmen psikososial, hingga pedoman koordinasi dalam perlindungan anak korban jaringan.
Perekrutan dan eksploitasi anak oleh kelompok teroris tidak mengenal batas negara. Oleh karena itu, kemitraan internasional sangat penting. Adapun Indonesia bekerja secara aktif dengan mitra UNODC, Uni Eropa, dan ASEAN untuk mengatasi fenomena regional dan global ini.
Dengan berbagai capaian itu, STRIVE Juvenile Project Leader Katie Blaikie menilai Indonesia, bersama dengan mitra internasionalnya, telah menunjukkan komitmen yang kuat untuk mengatasi masalah yang kompleks ini dengan hati-hati, kolaborasi, dan perencanaan strategis.
Sementara dari segi masyarakat, berbagai orang maupun kelompok tertentu juga bisa meningkatkan peran dan tanggung jawab dalam memberantas radikalisme dengan cara memberikan informasi, saran, masukan, kritik, atau dukungan kepada pihak-pihak yang berwenang atau terkait.
Media sosial
Analis terorisme Noor Huda Ismail berpendapat kegiatan penyebaran paham radikalisme di bawah permukaan juga meliputi propaganda ekstremis yang tersebar secara diam-diam melalui media sosial, perekrutan anggota baru ke dalam jaringan teroris, hingga persiapan operasional untuk melakukan serangan.
Kemajuan teknologi dan masa pandemi COVID-19 memang mendorong semakin masifnya radikalisasi daring yang melahirkan sejumlah fenomena relatif baru, seperti serangan aksi terorisme lone wolf (secara sendiri-sendiri).
Sepanjang 2023, BNPT menemukan 2.670 konten mengandung intoleransi, radikalisme, dan terorisme di media sosial. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.922 konten digital sudah diusulkan untuk diturunkan, yang sebagian besar ada di Facebook dan Instagram.
Kondisi tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Setara Institut terhadap para siswa di 5 kota besar di Indonesia dari kurun waktu 2016 -- 2023, yang menunjukkan terjadi peningkatan migrasi tingkat toleransi siswa yang memburuk dari kategori toleran menjadi intoleran pasif, dari intoleran pasif menjadi intoleran aktif, dan dari intoleran aktif menjadi terpapar.
Walaupun peningkatannya hanya satu digit, Kepala BNPT RI Komjen Pol. Rycko Amelza Dahniel menyatakan tren ideologi kekerasan di kalangan generasi penerus bangsa ini terus meningkat.
Maka dari itu, BNPT maupun kementerian lain yang terkait seperti Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo), ke depan perlu meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas secara daring yang mencurigakan dan dapat mengindikasikan radikalisasi atau perekrutan oleh jaringan teroris.
Tak berhenti sampai di situ, BNPT juga harus melakukan penindakan yang tegas terhadap individu atau kelompok yang terlibat dalam aktivitas radikalisme atau terorisme untuk memberikan penegasan sikap negara bahwa tindakan semacam itu tidak akan ditoleransi.
Berbagai langkah masif yang dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat, maupun berbagai pihak lain itu diyakini bakal memperkuat ketahanan NKRI.
Karena, paham radikalisme tak lagi dengan mudah menyasar masyarakat di Indonesia.
Editor: Achmad Zaenal M
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI mengungkapkan di bawah permukaan terdapat peningkatan penguatan sel-sel terorisme yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya jumlah pelaku yang ditangkap dan jumlah penyitaan senjata, amunisi, maupun bahan peledak.
Benar saja, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri bersama TNI sepanjang tahun 2023 mencokok 148 terduga teroris yang berasal dari kelompok Jemaah Islam Indonesia (JII) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Selain itu, di bawah permukaan terjadi pula peningkatan pengumpulan dana bagi teroris dengan menggunakan berbagai cara dan memanfaatkan beragam momentum.
Proses radikalisasi di bawah permukaan pun terlihat meningkat, dengan menyasar perempuan, anak-anak, dan remaja sebagai kelompok yang paling rentan terpapar paham radikalisme.
Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Indeks Potensi Radikalisme BNPT yang menunjukkan potensi terpapar lebih tinggi pada wanita, generasi muda, khususnya Gen Z umur 11 -- 26 tahun dan mereka yang aktif di Internet.
Penyebaran paham radikalisme kepada kelompok rentan itu dilakukan secara sistematis, masif, dan terencana dengan memanfaatkan jumlah penganut agama, memanipulasi berbagai simbol, dan atribut agama.
Radikalisme merupakan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan dan menargetkan terjadinya perubahan drastis yang diinginkan.
Biasanya, orang-orang atau kelompok yang sudah terpapar radikalisme lebih mudah menjiwai aksi terorisme sehingga radikalisme bisa dikatakan sebagai cikal bakal fase menuju terorisme.
Untuk itu dalam mengatasi terorisme, paham radikalisme yang ada pada orang atau kelompok tertentu harus diberantas terlebih dahulu.
Dalam hal tersebut, Pemerintah melalui BNPT menggiatkan program deradikalisasi untuk menetralkan pemikiran-pemikiran kelompok maupun orang yang sudah terpapar radikalisme sehingga memberikan mereka kesempatan untuk kembali ke masyarakat dengan sikap yang lebih positif.
Program deradikalisasi dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) khusus teroris serta di luar lapas.
Di dalam lapas, program deradikalisasi dijalankan terpusat di Pusat Deradikalisasi (Pusderad) BNPT melalui Lapas Khusus Klas II B Sentul.
Ibarat sebuah sekolah, Pusderad, yang didirikan pada 2017, menjadi wadah untuk mengubah pola pikir dan pola perilaku seseorang yang tadinya eksklusif menjadi inklusif, serta melengkapi mitra deradikalisasi dengan berbagai keahlian sebagai bekal untuk kembali ke masyarakat.
Kolaborasi
Dalam mencegah berkembangnya paham radikalisme di masyarakat, BNPT tidak bisa sendiri. Diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak maupun elemen masyarakat, hingga internasional.
Untuk itu bersama-sama dengan beberapa sekolah, BNPT menyelenggarakan program Sekolah Damai sebagai pendidikan dan pelatihan bagi siswa tentang bahaya radikalisme dan terorisme serta cara mengenali tanda-tanda awalnya.
BNPT juga mendorong partisipasi aktif masyarakat melalui pemberdayaan komunitas dalam upaya pencegahan radikalisme dan terorisme dengan membangun kesadaran dan pemahaman tentang nilai-nilai kebangsaan dan keragaman budaya, salah satunya dengan Desa Siapsiaga.
Dalam kerja sama internasional, BNPT RI berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum dan intelijen di negara-negara lain untuk pertukaran informasi dan kerja sama dalam mencegah pergerakan militan lintas batas.
Salah satu koordinasi yang dilakukan BNPT di internasional, yakni dilakukan dengan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan narkoba dan kejahatan (United Nations Office on Drugs and Crime/UNODC).
BNPT RI bersama UNODC telah menjalankan program STRIVE Juvenile Project yang bertujuan untuk mengatasi tantangan dalam mendukung anak-anak yang terkait dengan kelompok teroris dan ekstremis kekerasan untuk mencapai rehabilitasi dan integrasi yang efektif. Selama tiga tahun terakhir dijalankan, program tersebut berhasil melebihi target pencapaian.
Berbagai capaian dimaksud, yakni menghasilkan penelitian, melahirkan pelatih nasional dalam asesmen psikososial, menghasilkan modul pembelajaran, melaksanakan pelatihan terhadap pekerja sosial dan psikolog, menghasilkan catatan panduan pidana anak dalam konteks kontra terorisme, panduan asesmen psikososial, hingga pedoman koordinasi dalam perlindungan anak korban jaringan.
Perekrutan dan eksploitasi anak oleh kelompok teroris tidak mengenal batas negara. Oleh karena itu, kemitraan internasional sangat penting. Adapun Indonesia bekerja secara aktif dengan mitra UNODC, Uni Eropa, dan ASEAN untuk mengatasi fenomena regional dan global ini.
Dengan berbagai capaian itu, STRIVE Juvenile Project Leader Katie Blaikie menilai Indonesia, bersama dengan mitra internasionalnya, telah menunjukkan komitmen yang kuat untuk mengatasi masalah yang kompleks ini dengan hati-hati, kolaborasi, dan perencanaan strategis.
Sementara dari segi masyarakat, berbagai orang maupun kelompok tertentu juga bisa meningkatkan peran dan tanggung jawab dalam memberantas radikalisme dengan cara memberikan informasi, saran, masukan, kritik, atau dukungan kepada pihak-pihak yang berwenang atau terkait.
Media sosial
Analis terorisme Noor Huda Ismail berpendapat kegiatan penyebaran paham radikalisme di bawah permukaan juga meliputi propaganda ekstremis yang tersebar secara diam-diam melalui media sosial, perekrutan anggota baru ke dalam jaringan teroris, hingga persiapan operasional untuk melakukan serangan.
Kemajuan teknologi dan masa pandemi COVID-19 memang mendorong semakin masifnya radikalisasi daring yang melahirkan sejumlah fenomena relatif baru, seperti serangan aksi terorisme lone wolf (secara sendiri-sendiri).
Sepanjang 2023, BNPT menemukan 2.670 konten mengandung intoleransi, radikalisme, dan terorisme di media sosial. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.922 konten digital sudah diusulkan untuk diturunkan, yang sebagian besar ada di Facebook dan Instagram.
Kondisi tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Setara Institut terhadap para siswa di 5 kota besar di Indonesia dari kurun waktu 2016 -- 2023, yang menunjukkan terjadi peningkatan migrasi tingkat toleransi siswa yang memburuk dari kategori toleran menjadi intoleran pasif, dari intoleran pasif menjadi intoleran aktif, dan dari intoleran aktif menjadi terpapar.
Walaupun peningkatannya hanya satu digit, Kepala BNPT RI Komjen Pol. Rycko Amelza Dahniel menyatakan tren ideologi kekerasan di kalangan generasi penerus bangsa ini terus meningkat.
Maka dari itu, BNPT maupun kementerian lain yang terkait seperti Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo), ke depan perlu meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas secara daring yang mencurigakan dan dapat mengindikasikan radikalisasi atau perekrutan oleh jaringan teroris.
Tak berhenti sampai di situ, BNPT juga harus melakukan penindakan yang tegas terhadap individu atau kelompok yang terlibat dalam aktivitas radikalisme atau terorisme untuk memberikan penegasan sikap negara bahwa tindakan semacam itu tidak akan ditoleransi.
Berbagai langkah masif yang dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat, maupun berbagai pihak lain itu diyakini bakal memperkuat ketahanan NKRI.
Karena, paham radikalisme tak lagi dengan mudah menyasar masyarakat di Indonesia.
Editor: Achmad Zaenal M