Mataram (ANTARA) - Kepala Kejaksaan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat Ivan Jaka memastikan perkara dugaan korupsi dana kredit usaha rakyat (KUR) pada Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Kebon Roek periode 2021—2022 masuk persidangan.
"Meskipun satu tersangka masih DPO (daftar pencarian orang), dua lainnya sudah ditahan. Yang dua ini dalam waktu dekat akan kami limpahkan ke pengadilan biar segera disidangkan," kata Ivan Jaka di Mataram, Selasa.
Dua tersangka yang diagendakan masuk persidangan merupakan pejabat BRI Unit Kebon Roek berinisial SAK dan SHB. SAK sebagai kepala unit perbankan dan SHB sebagai staf perbankan.
Penyidik jaksa telah melakukan penahanan terhadap kedua tersangka dengan menitipkan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Lombok Barat.
Baca juga: Seorang tersangka korupsi dana KUR BRI Mataram masuk DPO kejaksaan
Tersangka yang berstatus DPO kejaksaan bernama Ida Ayu Wayan Kartika alias Bu Agung (44) alias Bu Agung. Jaksa secara resmi telah menerbitkan status DPO Bu Agung sejak awal Juli 2024 dengan turut menguraikan identitas lengkapnya ke publik.
Bu Agung merupakan tersangka perempuan dari pihak luar bank dengan peran mengumpulkan data calon penerima KUR. Namun, data calon penerima yang terkumpul bukan dari kalangan pelaku usaha.
Kajari Mataram mengatakan bahwa penyidik menetapkan Bu Agung masuk DPO karena tidak kunjung hadir memenuhi panggilan pemeriksaan.
Ivan menegaskan bahwa penetapan tersangka dengan turut menetapkan Bu Agung masuk DPO ini sebagai bentuk komitmen kejaksaan dalam memberikan kepastian hukum.
"Jadi, kalau sudah ada sedikitnya dua alat bukti, tidak perlu lama-lama, perkara langsung kami tingkatkan dan tetapkan tersangka. Ini bentuk komitmen kami dalam memberikan kepastian hukum," ujarnya.
Baca juga: Jaksa titip penahanan tersangka korupsi KUR BRI di Lapas Lobar
Dalam kasus ini, penyidik telah mengantongi hasil audit BPKP NTB dengan nilai kerugian Rp2,2 miliar. Adanya kerugian tersebut menjadi bukti kuat penyidik menetapkan tiga tersangka.
Dengan peran berbeda, ketiga tersangka ada dugaan mengatur pencairan dana KUR dengan mencatut data penerima yang bersih dari tunggakan pinjaman dan belum memiliki usaha.
Setelah dana KUR cair, pihak bank tidak menyalurkan kepada penerima, tetapi para tersangka menggunakan uang yang bukan haknya itu untuk kepentingan pribadi.
Modus pencairan ini kemudian terungkap setelah satuan pengawas internal (SPI) perbankan menemukan ada tunggakan pembayaran dana KUR senilai Rp6 miliar pada tahun 2021 dan 2022. Temuan itu berada di dua unit kerja wilayah Kebon Roek dan Gerung, Kabupaten Lombok Barat.
Baca juga: Kerugian kasus korupsi dana KUR BRI Gerung Lombok Barat capai Rp290 juta lebih
Pihak SPI perbankan juga telah melakukan konfirmasi terhadap para penerima dana KUR. Mereka kaget setelah mendapat penjelasan adanya tunggakan pinjaman.
Berawal dari temuan SPI perbankan, kejaksaan melakukan penyelidikan hingga pada akhirnya menetapkan SAK, SHB, dan IAWK sebagai tersangka di akhir tahun 2023.
Penyidik menetapkan tiga tersangka dari unit kerja wilayah Kebon Roek dengan menerapkan sangkaan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 dan/atau Pasal 12 huruf a, b, dan c juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU. Nomor 20 Tahun 2001.
"Meskipun satu tersangka masih DPO (daftar pencarian orang), dua lainnya sudah ditahan. Yang dua ini dalam waktu dekat akan kami limpahkan ke pengadilan biar segera disidangkan," kata Ivan Jaka di Mataram, Selasa.
Dua tersangka yang diagendakan masuk persidangan merupakan pejabat BRI Unit Kebon Roek berinisial SAK dan SHB. SAK sebagai kepala unit perbankan dan SHB sebagai staf perbankan.
Penyidik jaksa telah melakukan penahanan terhadap kedua tersangka dengan menitipkan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Lombok Barat.
Baca juga: Seorang tersangka korupsi dana KUR BRI Mataram masuk DPO kejaksaan
Tersangka yang berstatus DPO kejaksaan bernama Ida Ayu Wayan Kartika alias Bu Agung (44) alias Bu Agung. Jaksa secara resmi telah menerbitkan status DPO Bu Agung sejak awal Juli 2024 dengan turut menguraikan identitas lengkapnya ke publik.
Bu Agung merupakan tersangka perempuan dari pihak luar bank dengan peran mengumpulkan data calon penerima KUR. Namun, data calon penerima yang terkumpul bukan dari kalangan pelaku usaha.
Kajari Mataram mengatakan bahwa penyidik menetapkan Bu Agung masuk DPO karena tidak kunjung hadir memenuhi panggilan pemeriksaan.
Ivan menegaskan bahwa penetapan tersangka dengan turut menetapkan Bu Agung masuk DPO ini sebagai bentuk komitmen kejaksaan dalam memberikan kepastian hukum.
"Jadi, kalau sudah ada sedikitnya dua alat bukti, tidak perlu lama-lama, perkara langsung kami tingkatkan dan tetapkan tersangka. Ini bentuk komitmen kami dalam memberikan kepastian hukum," ujarnya.
Baca juga: Jaksa titip penahanan tersangka korupsi KUR BRI di Lapas Lobar
Dalam kasus ini, penyidik telah mengantongi hasil audit BPKP NTB dengan nilai kerugian Rp2,2 miliar. Adanya kerugian tersebut menjadi bukti kuat penyidik menetapkan tiga tersangka.
Dengan peran berbeda, ketiga tersangka ada dugaan mengatur pencairan dana KUR dengan mencatut data penerima yang bersih dari tunggakan pinjaman dan belum memiliki usaha.
Setelah dana KUR cair, pihak bank tidak menyalurkan kepada penerima, tetapi para tersangka menggunakan uang yang bukan haknya itu untuk kepentingan pribadi.
Modus pencairan ini kemudian terungkap setelah satuan pengawas internal (SPI) perbankan menemukan ada tunggakan pembayaran dana KUR senilai Rp6 miliar pada tahun 2021 dan 2022. Temuan itu berada di dua unit kerja wilayah Kebon Roek dan Gerung, Kabupaten Lombok Barat.
Baca juga: Kerugian kasus korupsi dana KUR BRI Gerung Lombok Barat capai Rp290 juta lebih
Pihak SPI perbankan juga telah melakukan konfirmasi terhadap para penerima dana KUR. Mereka kaget setelah mendapat penjelasan adanya tunggakan pinjaman.
Berawal dari temuan SPI perbankan, kejaksaan melakukan penyelidikan hingga pada akhirnya menetapkan SAK, SHB, dan IAWK sebagai tersangka di akhir tahun 2023.
Penyidik menetapkan tiga tersangka dari unit kerja wilayah Kebon Roek dengan menerapkan sangkaan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 dan/atau Pasal 12 huruf a, b, dan c juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU. Nomor 20 Tahun 2001.