Lombok Barat (ANTARA) -
Polemik sengketa lahan di Gili Sudak, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat kembali memanas. Rencana eksekusi lahan yang akan segera dilakukan oleh aparat penegak hukum telah memicu beragam reaksi, salah satunya dari kalangan akademisi.
Prof H Djumardin, pakar hukum dari Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) secara tegas mendesak agar eksekusi tetap memperhatikan kepastian hukum yang lebih jelas.
Menurutnya, prinsip utama dalam sebuah negara hukum adalah kepastian hukum.
"Hukum selalu bicara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan," tegasnya.
Namun, ia mengakui bahwa dalam praktiknya, ketiga prinsip ini seringkali sulit diterapkan secara simultan.
Dalam konteks sengketa lahan Gili Sudak, Djumardin menyoroti pentingnya menunggu putusan atas upaya perlawanan hukum yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan.
"Dong percuma proses peradilan kalau akhirnya eksekusi dilakukan tanpa menunggu putusan dari upaya hukum," ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya dua konsep dalam sengketa tanah, yaitu spesialitas dan publisitas.
Spesialitas mengacu pada kejelasan batas-batas tanah dan siapa pemilik yang sah, sedangkan publisitas berkaitan dengan pengumuman kepemilikan tersebut kepada publik.
"Makanya mengapa di sertifikat selalu di utara kalau ada jalan disebutkan, di timur kalau ada parit disebutkan. di selatan katakan berbatasan dengan tanah adat disebutkan," jelasnya.
Dalam proses peradilan, lanjut Djumardin, kedua konsep tersebut menjadi sangat krusial untuk menentukan siapa yang berhak atas tanah tersebut.
"Sebab, prinsip hukum itu lebih baik membebaskan 100 orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah," imbuhnya.
Selain masalah kepastian hukum, Djumardin juga menyoroti potensi dampak sosial dari eksekusi lahan tersebut.
Ia khawatir eksekusi dapat mengganggu kondusifitas daerah, terutama menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI dan pelaksanaan pilkada serentak.
Awanadhi Aswinabawa, salah satu pihak pelawan dalam sengketa ini, menyatakan kekecewaannya atas rencana eksekusi tersebut.
Menurutnya, upaya perlawanan hukum yang diajukan belum mendapat putusan dari pengadilan.
"Kami mengajukan partij verzert sejak Maret 2024, namun belum ada putusan hingga saat ini. Tapi tiba-tiba akan ada eksekusi," katanya.
Awanadhi juga menunjukkan surat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Lombok Barat per tanggal 10 Juli 2024, menerangkan bahwa sertifikat lahan di Gili Sudak yang menjadi objek sengketa masih aktif dan belum dilakukan pembatalan.
"Mestinya kalau lahan sengketa itu mau dieksekusi, batalkan dulu sertifikat yang dimiliki oleh pihak yang mengajukan upaya partij verzert di pengadilan," ucapnya.