Lombok Barat (Antaranews NTB) - Calon Bupati Lombok Barat HM Izzul Islam menolak hasil penetapan daftar pemilih tetap pilkada serentak tahun 2018 oleh Komisi Pemilihan Umum setempat karena diduga telah terjadi kecurangan.
"Kita juga sudah mengadukan masalah ini ke Kementerian Dalam Negeri," kata Izzul Islam, Senin.
Diakuinya, meski telah ada perubahan, selanjutnya ada koreksi data yang dilakukan pihak KPU, namun tetap saja data yang dijadikan rujukan berdasarkan yang dirilis oleh kepala desa.
Akibatnya, data itu masih saja tercantum KTP tanpa dilengkapi akta kelahiran. Parahnya, tercatat banyak penerbitan KTP justru yang diberikan adalah mereka yang masuk kategori pemilih di bawah batas usia pemilih atau anak-anak.
"Dari temuan kami, itu masih merata terjadi di Lombok Barat. Tapi, terbanyak berada di dua kecamatan, yakni Kuripan dan Sekotong," kata calon bupati yang diusung dua parpol, yakni PDIP dan PKB tersebut.
Ia menegaskan, telah melaporkan praktik kecurangan itu pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Jakarta. Selain itu, cara kerja KPU yang menvalidasi usulan penambahan pemilih melalui "check list" dari kepala desa bakal dilaporkan ke Panwaslu.
"Di data kami, di Kecamatan Sekotong itu ada kenaikan 100 pemilih setiap TPS. Ini juga sama modusnya di Kecamatan Kuripan. Bukti kami ada dan lengkap. Semuanya telah kita cek langsung di lapangan berikut pengakuan dari mereka yang masuk sebagai pemilih tambahan termasuk dari anak-anak itu," kata Izzul Islam.
Mantan anggota Komisi II DPR RI itu menjelaskan, pascamenerima salinan DPS?sebagai acuan DPT pilkada pada Maret, pihaknya melalui tim internal telah langsung melakukan penelitian data.
Selanjutnya, langkah pembandingan silang yang disesuaikan dengan nomor induk kependudukan (NIK) telah pula dilakukan.
"Hasilnya, ada perbedaan data, yakni angkanya mencapai 11 ribu NIK ganda dan sebanyak 21 ribu lebih diduga merupakan pemilih siluman alias tanpa ada dokumen yang jelas," katanya.
Sementara, Ketua Tim Pemenangan Izzul-Khudari (Zulkair), H Sardian mengatakan pihaknya juga menemukan rasio angka?kenaikan?pemilih yang terlalu signifikan pada perbandingan data DPT Pilpres tahun 2014 di Kabupaten Lombok Barat dengan DPS tahun 2018 yang diumumkan oleh KPU setempat melalui website yang diunggah.
Padahal, rasio penambahan jumlah pemilih rata-rata dalam lima tahun harus mencapai sebesar 2,5 persen dari alokasi DPT Pemilu/Pilkada/Pilpres sebelumnya.
"Karena itu, munculnya angka pengurangan jumlah pemilih, seperti yang ditunjukkan KPU, secara statistik adalah sebuah kemustahilan logika di tengah pertumbuhan jumlah penduduk suatu wilayah yang seharusnya meningkat," kata Sardian. (*)
"Kita juga sudah mengadukan masalah ini ke Kementerian Dalam Negeri," kata Izzul Islam, Senin.
Diakuinya, meski telah ada perubahan, selanjutnya ada koreksi data yang dilakukan pihak KPU, namun tetap saja data yang dijadikan rujukan berdasarkan yang dirilis oleh kepala desa.
Akibatnya, data itu masih saja tercantum KTP tanpa dilengkapi akta kelahiran. Parahnya, tercatat banyak penerbitan KTP justru yang diberikan adalah mereka yang masuk kategori pemilih di bawah batas usia pemilih atau anak-anak.
"Dari temuan kami, itu masih merata terjadi di Lombok Barat. Tapi, terbanyak berada di dua kecamatan, yakni Kuripan dan Sekotong," kata calon bupati yang diusung dua parpol, yakni PDIP dan PKB tersebut.
Ia menegaskan, telah melaporkan praktik kecurangan itu pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Jakarta. Selain itu, cara kerja KPU yang menvalidasi usulan penambahan pemilih melalui "check list" dari kepala desa bakal dilaporkan ke Panwaslu.
"Di data kami, di Kecamatan Sekotong itu ada kenaikan 100 pemilih setiap TPS. Ini juga sama modusnya di Kecamatan Kuripan. Bukti kami ada dan lengkap. Semuanya telah kita cek langsung di lapangan berikut pengakuan dari mereka yang masuk sebagai pemilih tambahan termasuk dari anak-anak itu," kata Izzul Islam.
Mantan anggota Komisi II DPR RI itu menjelaskan, pascamenerima salinan DPS?sebagai acuan DPT pilkada pada Maret, pihaknya melalui tim internal telah langsung melakukan penelitian data.
Selanjutnya, langkah pembandingan silang yang disesuaikan dengan nomor induk kependudukan (NIK) telah pula dilakukan.
"Hasilnya, ada perbedaan data, yakni angkanya mencapai 11 ribu NIK ganda dan sebanyak 21 ribu lebih diduga merupakan pemilih siluman alias tanpa ada dokumen yang jelas," katanya.
Sementara, Ketua Tim Pemenangan Izzul-Khudari (Zulkair), H Sardian mengatakan pihaknya juga menemukan rasio angka?kenaikan?pemilih yang terlalu signifikan pada perbandingan data DPT Pilpres tahun 2014 di Kabupaten Lombok Barat dengan DPS tahun 2018 yang diumumkan oleh KPU setempat melalui website yang diunggah.
Padahal, rasio penambahan jumlah pemilih rata-rata dalam lima tahun harus mencapai sebesar 2,5 persen dari alokasi DPT Pemilu/Pilkada/Pilpres sebelumnya.
"Karena itu, munculnya angka pengurangan jumlah pemilih, seperti yang ditunjukkan KPU, secara statistik adalah sebuah kemustahilan logika di tengah pertumbuhan jumlah penduduk suatu wilayah yang seharusnya meningkat," kata Sardian. (*)