Jakarta (ANTARA) - Untuk dua edisi berturut-turut China menduduki urutan kedua dalam daftar perolehan medali Olimpiade. Pada Olimpiade Paris 2024 mereka finis dengan 40 medali emas, 27 medali perak, dan 24 medali perunggu.
Amerika Serikat yang mendapatkan medali emas terakhir dari bola basket putri, juga mengumpulkan 40 medali emas, tapi mengoleksi perak dan perunggu lebih banyak, masing-masing 44 dan 42 keping, sehingga menjadi juara umum Olimpiade 2024.
AS memang menakjubkan, tapi China juga menakjubkan, bahkan lebih menarik untuk dicermati. Terakhir kali China melampaui AS dalam daftar perolehan medali Olimpiade terjadi ketika Beijing menjadi tuan rumah Olimpiade 2008.
Saat itu China mengumpulkan 100 medali yang walau kurang 12 medali dari total medali yang dikumpulkan Amerika Serikat, mereka memuncaki klasemen medali dengan 48 medali emas, dua emas lebih banyak dari yang diperoleh AS.
Itulah kali pertama negara non Eropa menjadi juara umum Olimpiade. Saat itu China dituding curang. Tapi negara ini jalan terus. Mereka konsisten menyaingi AS, yang sejak Uni Soviet runtuh selalu menjadi pengumpul medali Olimpiade terbanyak.
Bahkan dalam Olimpiade Tokyo 2020 yang diadakan setahun lebih lambat karena pandemi Covid-19, China hanya kalah satu medali emas dari AS. China mulai mengikuti Olimpiade pada 1952 di Helsinki, tapi empat tahun kemudian absen karena memprotes kebijakan "dua China" yang dirangkul Komite Olimpiade Internasional (IOC).
Protes itu berlangsung selama 20 tahun, dari Olimpiade Melbourne 1956 sampai Olimpiade Montreal 1976. Pada 1978, dua tahun setelah pemimpin China, Mao Zedong, meninggal dunia pada 1976, China meninggalkan kebijakan isolasionis dengan membuka diri kepada dunia luar.
Setahun setelah itu, China masuk kembali menjadi anggota IOC, walau bukan berarti setuju dengan pemisahan Taiwan dari China daratan yang menjadi pangkal keluarnya mereka dari IOC.
China pun mengirimkan delegasi pemantau dalam Olimpiade Musim Dingin 1980 di Lake Placid, Amerika Serikat. Tetapi, mereka turut memboikot Olimpiade (Musim Panas) Moskow 1980 sebagai protes atas invasi Uni Soviet di Afghanistan pada 1979.
Tiga fondasi prestasi olahraga China Tiga fondasi
China baru berpartisipasi penuh lagi dalam Olimpiade Los Angeles 1984, yang balas diboikot Uni Soviet dan sekutu-sekutunya. Di Los Angeles 1984, China melakukan gebrakan dengan finis urutan empat dalam daftar perolehan medali di bawah AS, Rumania, dan Jerman Barat.
Sempat terpental ke urutan 11 empat tahun kemudian dalam Olimpiade 1988 di Seoul, China stabil menjadi salah satu kekuatan raksasa Olimpiade. Mereka selalu finis di atas peringkat empat, bahkan sejak Olimpiade Sydney 2000 sampai Tokyo 2020 selalu masuk tiga besar.
Lifter China Li Wenwen merayakan keberhasilannya menjuarai angkat besi Olimpiade Paris 2024 kelas +81kg putri di South Paris Arena, Paris, Minggu (11/8/2024). ANTARA/AFP/Arun Sankar/am.
Sejak Olimpiade Athena 2004, China terus menjadi pesaing tersengit AS. Namun, dalam Olimpiade Rio 2016, mereka disalip Inggris dari dua terbaik Olimpiade. Kini, dalam Olimpiade Paris 2024, China yang berpenduduk 1,4 miliar kembali bertarung ketat dengan AS yang berpenduduk 333,3 juta, seperti terjadi tiga tahun lalu di Tokyo.
Perolehan medali emas China hanya berselisih satu keping dari yang dikumpulkan AS dalam Olimpiade Tokyo. Walau tak pernah bisa melampaui AS dalam total medali yang dikumpulkan, China semakin ketat menyaingi AS dalam perolehan medali emas.
Kini, mereka melakukan sapu bersih emas loncat indah dan tenis meja, serta menjadi juara umum beberapa cabang olahraga, termasuk bulu tangkis, menembak, dan angkat besi. Lantas, mengapa China bertambah kuat dari Olimpiade ke Olimpiade?
Bonus demografi, kemampuan ekonomi, dan kebanggaan nasional adalah tiga fondasi yang membuat China mendominasi arena demi arena olahraga. China adalah negara dengan penduduk terbanyak kedua di dunia setelah India. Mereka juga negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar kedua setelah Amerika Serikat.
Tak seperti India yang bahkan tertinggal dari Indonesia dalam arena Olimpiade, China sukses menerjemahkan bonus demografi dan pencapaian ekonomi menjadi sukses di arena olahraga, termasuk Olimpiade. Dari 10 negara berpenduduk terbanyak di dunia, hanya AS, Rusia dan China yang berhasil memanfaatkan bonus demografi.
Lebih dari sekadar medali
Tapi itu semua tak akan tercipta tanpa ada misi politik dan ideologis, berupa pesan tentang keunggulan sistem bernegara di China. China memang mewakili sistem yang berbeda dari kebanyakan negara. China adalah sedikit dari negara berideologi komunis yang masih bertahan.
Tapi tak seperti umumnya negara-negara komunis, China merangkul ekonomi pasar dan bahkan liberalisme. Ironisnya, ini membuat China bertahan ketika Uni Soviet runtuh pada 1991 dan kebanyakan rezim komunis tumbang di berbagai belahan dunia.
Misi China dalam dunia olahraga, seperti dalam sektor-sektor lain, adalah menunjukkan keunggulan sistem bernegara mereka, khususnya terhadap liberalisme Barat pimpinan Amerika Serikat.
Misi ini sendiri menjadi energi tambahan dalam bagaimana China mengoptimalkan bonus demografi dan pencapaian ekonominya yang fantastis. Sebagai salah satu adidaya paling berpengaruh selain AS, China perlu menguatkan citra dan pengaruh internasional mereka. Dan Olimpiade adalah salah satu panggung untuk menaikkan citra dan pengaruh internasional China.
China sadar betul pentas-pentas besar seperti Olimpiade adalah panggung untuk mengkomunikasikan kemajuan mereka dalam banyak hal, termasuk teknologi, infrastruktur, dan diplomasi kebudayaan, kepada dunia.
Mereka bahkan melihat Olimpiade sebagai katalisator untuk memperluas hubungan perdagangan dan membina kemitraan bisnis skala global.
Itu tak terkecuali dengan Olimpiade Paris 2024 di mana China melihat peluang-peluang bisnis perdagangan internasional, yang juga bagus untuk perusahaan-perusahaannya yang sudah mengglobal, atau perusahaan-perusahaan asing yang kebanyakan berkepentingan dengan China.
Ingat, hampir semua usaha global termasuk yang menjadi sponsor Olimpiade, menjadikan China sebagai pasar barang dan jasa yang seksi nan atraktif.
China sadar dengan insentif-insentif yang bisa didapatkan dari Olimpiade dan ajang-ajang olahraga. Tak heran, mereka serius mendorong atlet-atletnya berprestasi setinggi mungkin di arena olahraga, termasuk Olimpiade Paris 2024.
Baca juga: AS juara umum Olimpiade, Indonesia peringkat ke-39
Baca juga: Paris mengucapkan "Au Revoir" pada Olimpiade 2024
Mereka memiliki cetak biru pengembangan olahraga berorientasi hasil terbaik, tapi dengan proses yang keras dan komitmen yang kuat secara politik dan finansial.
China menggarap olahraga seserius menggarap sektor-sektor lain, karena hal ini ada kaitan dengan ambisi menjadi pemain global, pembawa kecenderungan, dan bahkan pencipta standar, yang di sisi lain bisa menunjukkan keunggulan ideologis, politik dan ekonomi sehingga dunia melihat China sebagai contoh sukses yang ideal nan lengkap.
Dalam kaitan itu pula, 40 medali emas, 27 medali perak dan 24 medali perunggu yang mereka peroleh dari Olimpiade Paris 2024 tak bisa dimaknai hanya sekadar soal medali dan olahraga. Justru, pencapaian besar dalam olahraga adalah pesan bahwa China semakin kuat di segala hal.
Amerika Serikat yang mendapatkan medali emas terakhir dari bola basket putri, juga mengumpulkan 40 medali emas, tapi mengoleksi perak dan perunggu lebih banyak, masing-masing 44 dan 42 keping, sehingga menjadi juara umum Olimpiade 2024.
AS memang menakjubkan, tapi China juga menakjubkan, bahkan lebih menarik untuk dicermati. Terakhir kali China melampaui AS dalam daftar perolehan medali Olimpiade terjadi ketika Beijing menjadi tuan rumah Olimpiade 2008.
Saat itu China mengumpulkan 100 medali yang walau kurang 12 medali dari total medali yang dikumpulkan Amerika Serikat, mereka memuncaki klasemen medali dengan 48 medali emas, dua emas lebih banyak dari yang diperoleh AS.
Itulah kali pertama negara non Eropa menjadi juara umum Olimpiade. Saat itu China dituding curang. Tapi negara ini jalan terus. Mereka konsisten menyaingi AS, yang sejak Uni Soviet runtuh selalu menjadi pengumpul medali Olimpiade terbanyak.
Bahkan dalam Olimpiade Tokyo 2020 yang diadakan setahun lebih lambat karena pandemi Covid-19, China hanya kalah satu medali emas dari AS. China mulai mengikuti Olimpiade pada 1952 di Helsinki, tapi empat tahun kemudian absen karena memprotes kebijakan "dua China" yang dirangkul Komite Olimpiade Internasional (IOC).
Protes itu berlangsung selama 20 tahun, dari Olimpiade Melbourne 1956 sampai Olimpiade Montreal 1976. Pada 1978, dua tahun setelah pemimpin China, Mao Zedong, meninggal dunia pada 1976, China meninggalkan kebijakan isolasionis dengan membuka diri kepada dunia luar.
Setahun setelah itu, China masuk kembali menjadi anggota IOC, walau bukan berarti setuju dengan pemisahan Taiwan dari China daratan yang menjadi pangkal keluarnya mereka dari IOC.
China pun mengirimkan delegasi pemantau dalam Olimpiade Musim Dingin 1980 di Lake Placid, Amerika Serikat. Tetapi, mereka turut memboikot Olimpiade (Musim Panas) Moskow 1980 sebagai protes atas invasi Uni Soviet di Afghanistan pada 1979.
Tiga fondasi prestasi olahraga China Tiga fondasi
China baru berpartisipasi penuh lagi dalam Olimpiade Los Angeles 1984, yang balas diboikot Uni Soviet dan sekutu-sekutunya. Di Los Angeles 1984, China melakukan gebrakan dengan finis urutan empat dalam daftar perolehan medali di bawah AS, Rumania, dan Jerman Barat.
Sempat terpental ke urutan 11 empat tahun kemudian dalam Olimpiade 1988 di Seoul, China stabil menjadi salah satu kekuatan raksasa Olimpiade. Mereka selalu finis di atas peringkat empat, bahkan sejak Olimpiade Sydney 2000 sampai Tokyo 2020 selalu masuk tiga besar.
Sejak Olimpiade Athena 2004, China terus menjadi pesaing tersengit AS. Namun, dalam Olimpiade Rio 2016, mereka disalip Inggris dari dua terbaik Olimpiade. Kini, dalam Olimpiade Paris 2024, China yang berpenduduk 1,4 miliar kembali bertarung ketat dengan AS yang berpenduduk 333,3 juta, seperti terjadi tiga tahun lalu di Tokyo.
Perolehan medali emas China hanya berselisih satu keping dari yang dikumpulkan AS dalam Olimpiade Tokyo. Walau tak pernah bisa melampaui AS dalam total medali yang dikumpulkan, China semakin ketat menyaingi AS dalam perolehan medali emas.
Kini, mereka melakukan sapu bersih emas loncat indah dan tenis meja, serta menjadi juara umum beberapa cabang olahraga, termasuk bulu tangkis, menembak, dan angkat besi. Lantas, mengapa China bertambah kuat dari Olimpiade ke Olimpiade?
Bonus demografi, kemampuan ekonomi, dan kebanggaan nasional adalah tiga fondasi yang membuat China mendominasi arena demi arena olahraga. China adalah negara dengan penduduk terbanyak kedua di dunia setelah India. Mereka juga negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar kedua setelah Amerika Serikat.
Tak seperti India yang bahkan tertinggal dari Indonesia dalam arena Olimpiade, China sukses menerjemahkan bonus demografi dan pencapaian ekonomi menjadi sukses di arena olahraga, termasuk Olimpiade. Dari 10 negara berpenduduk terbanyak di dunia, hanya AS, Rusia dan China yang berhasil memanfaatkan bonus demografi.
Lebih dari sekadar medali
Tapi itu semua tak akan tercipta tanpa ada misi politik dan ideologis, berupa pesan tentang keunggulan sistem bernegara di China. China memang mewakili sistem yang berbeda dari kebanyakan negara. China adalah sedikit dari negara berideologi komunis yang masih bertahan.
Tapi tak seperti umumnya negara-negara komunis, China merangkul ekonomi pasar dan bahkan liberalisme. Ironisnya, ini membuat China bertahan ketika Uni Soviet runtuh pada 1991 dan kebanyakan rezim komunis tumbang di berbagai belahan dunia.
Misi China dalam dunia olahraga, seperti dalam sektor-sektor lain, adalah menunjukkan keunggulan sistem bernegara mereka, khususnya terhadap liberalisme Barat pimpinan Amerika Serikat.
Misi ini sendiri menjadi energi tambahan dalam bagaimana China mengoptimalkan bonus demografi dan pencapaian ekonominya yang fantastis. Sebagai salah satu adidaya paling berpengaruh selain AS, China perlu menguatkan citra dan pengaruh internasional mereka. Dan Olimpiade adalah salah satu panggung untuk menaikkan citra dan pengaruh internasional China.
China sadar betul pentas-pentas besar seperti Olimpiade adalah panggung untuk mengkomunikasikan kemajuan mereka dalam banyak hal, termasuk teknologi, infrastruktur, dan diplomasi kebudayaan, kepada dunia.
Mereka bahkan melihat Olimpiade sebagai katalisator untuk memperluas hubungan perdagangan dan membina kemitraan bisnis skala global.
Itu tak terkecuali dengan Olimpiade Paris 2024 di mana China melihat peluang-peluang bisnis perdagangan internasional, yang juga bagus untuk perusahaan-perusahaannya yang sudah mengglobal, atau perusahaan-perusahaan asing yang kebanyakan berkepentingan dengan China.
Ingat, hampir semua usaha global termasuk yang menjadi sponsor Olimpiade, menjadikan China sebagai pasar barang dan jasa yang seksi nan atraktif.
China sadar dengan insentif-insentif yang bisa didapatkan dari Olimpiade dan ajang-ajang olahraga. Tak heran, mereka serius mendorong atlet-atletnya berprestasi setinggi mungkin di arena olahraga, termasuk Olimpiade Paris 2024.
Baca juga: AS juara umum Olimpiade, Indonesia peringkat ke-39
Baca juga: Paris mengucapkan "Au Revoir" pada Olimpiade 2024
Mereka memiliki cetak biru pengembangan olahraga berorientasi hasil terbaik, tapi dengan proses yang keras dan komitmen yang kuat secara politik dan finansial.
China menggarap olahraga seserius menggarap sektor-sektor lain, karena hal ini ada kaitan dengan ambisi menjadi pemain global, pembawa kecenderungan, dan bahkan pencipta standar, yang di sisi lain bisa menunjukkan keunggulan ideologis, politik dan ekonomi sehingga dunia melihat China sebagai contoh sukses yang ideal nan lengkap.
Dalam kaitan itu pula, 40 medali emas, 27 medali perak dan 24 medali perunggu yang mereka peroleh dari Olimpiade Paris 2024 tak bisa dimaknai hanya sekadar soal medali dan olahraga. Justru, pencapaian besar dalam olahraga adalah pesan bahwa China semakin kuat di segala hal.