Moskow (ANTARA) - Para ilmuwan mengembangkan sebuah alat AI yang disebut kecerdasan buatan nukleus (AINU) yang mampu membedakan sel abnormal dari sel normal, sehingga dapat mendeteksi kanker dan berbagai penyakit menular, kata para peneliti dalam sebuah artikel di jurnal Nature Machine Intelligence, Selasa.
"Metode kami dapat digunakan untuk mengidentifikasi sel yang terinfeksi virus dalam darah atau jaringan pada tahap yang sangat awal setelah infeksi, dengan aplikasi penting untuk imunologi dan biologi virus.
Terakhir (dan yang terpenting, menurut pendapat kami), alat tersebut dapat mengidentifikasi sel kanker (dan mungkin sel metastasis) di antara sel ganas dari spesimen manusia," tulis artikel tersebut.
Baca juga: Ilmuwan: Waduk air bawah tanah raksasa ditemukan di Mars
Baca juga: Ilmuwan di Jepang berhasil biakkan babi transplantasi organ manusia
Disebutkan pula bahwa alat itu akan mempercepat diagnostik dan terapi dalam pengobatan regeneratif, virologi serta biologi kanker. Riset pengembangan alat AI itu dilakukan oleh tim ilmuwan asal Spanyol dan China.
Namun demikian, para peneliti mengakui bahwa masih ada keterbatasan sebelum teknologi tersebut siap untuk dilakukan ujicoba atau dimanfaatkan dalam pengaturan klinis, lapor portal berita Infosalus.
Sumber: Sputnik-OANA
"Metode kami dapat digunakan untuk mengidentifikasi sel yang terinfeksi virus dalam darah atau jaringan pada tahap yang sangat awal setelah infeksi, dengan aplikasi penting untuk imunologi dan biologi virus.
Terakhir (dan yang terpenting, menurut pendapat kami), alat tersebut dapat mengidentifikasi sel kanker (dan mungkin sel metastasis) di antara sel ganas dari spesimen manusia," tulis artikel tersebut.
Baca juga: Ilmuwan: Waduk air bawah tanah raksasa ditemukan di Mars
Baca juga: Ilmuwan di Jepang berhasil biakkan babi transplantasi organ manusia
Disebutkan pula bahwa alat itu akan mempercepat diagnostik dan terapi dalam pengobatan regeneratif, virologi serta biologi kanker. Riset pengembangan alat AI itu dilakukan oleh tim ilmuwan asal Spanyol dan China.
Namun demikian, para peneliti mengakui bahwa masih ada keterbatasan sebelum teknologi tersebut siap untuk dilakukan ujicoba atau dimanfaatkan dalam pengaturan klinis, lapor portal berita Infosalus.
Sumber: Sputnik-OANA