Mataram (Antaranews NTB) - Pemerintah Kabupaten Lombok Utara menggelar Ffestival "Sangkep Beleq" bekerja sama dengan Somasi Nusa tenggara Barat dalam upaya melestarikan, memperkenalkan dan mempertahankan keasrian alam dan kebudayaan masyaraat hukum adat.

Humas dan Protokol Kabupatane Lombok Utara (KLU) melalui siaran pers yang diterima di Mataram, Rabu, menyebutkan festival tersebut berlangsung selama dua hari 17-18 Juli 2018 di Desa Senaru, Kecamatan Bayan.

Acara Sangkep Beleq, dihadiri Kadis Kebudayaan dan Pariwisata H Muhammad SPd, Perwakilan OPD KLU, unsur Somasi NTB dan KLU, Tokoh Adat, Tokoh Agama dan tamu undangan lainnya.

Ketua Pelaksana Festival Sangkep Beleq Raden Sawinggih, menyatakan bangga karena hadir tiga unsur mulai dari Pemekel, Kiai Adat Bayan, Tuaq Lokaq. Tiga unsur yang mewakili masyarakat adat, sebagai penyokong dan pelestari adat Bayan.

"Festival ini sudah dilaksanakan dua kali. Yang pertama mengangkat tema tentang pentingnya tanaman bambu. Sedangkan festival kali ini, sebagai tindak lanjut dari isu kompleks tentang adat, tantangan global dan adanya geopark rinjani yang di dalamnya terdapat situs-situs sejarah," katanya.

Oleh karena itu, katanya, festival ini dihajatkan untuk dapat menakar pengaruh global agar alam dan budaya tetap lestari. Untuk menajamkan upaya pelestarian adat dan budaya, maka dalam proses festival ini dilakukan sangkep beleq masyarakat adat.

Dikatakannya, sebagai bentuk promosi kebudayaan, pada malam hari dilakukan pertunjukan budaya, adat dan tradisi yang ada di Bayan. Raden Sawinggih menjelaskan adat dan budaya sebagai momentum persatuan masyarakat adat dan paratokoh adat.

Sementara itu Direktur Somasi NTB Ahyar Supriadi SH  mengapresiasi budaya dan adat yang ada di Bayan sebagai satu kesatuan wilayah adat yang ada di Kecamatan Bayan.

"Kami mengangkat tema pola hubungan sosial antara manusia dan sumber daya alam, di KLU bisa beriring secara berkelanjutan. Inilah yang menjadi pembeda antara Lombok Utara dengan kabupaten lain yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Tantangan adat dan budaya, kata dia, seperti arus globalisasi yaitu tentang kemajuan teknologi yang membuat tak ada jarak. Dampak negatif teknologi komunikasi yang berlebihan misalnya, disinyalir menghambat proses silaturrahim dan tradisi betabik yang terkikis antara masyarakat adat.

Namun yang patut disyukuri, katanya, arus teknologi komunikasi tak melunturkan masyarakat untuk menjaga dan melestarikan adat.

"Kita harus mengakui, masyarakat adat masih lemah pada pendokumentasian potensi dan situs-situs budaya dan adat. Secara perlahan, Somasi bersama tokoh adat mulai mendokumentasi. Hasilnya, telah ada video dan foto situs-situs budaya," ujarnyaa.

Untuk memperkuat tradisi adat dan budaya Bayan, Somasi NTB bersama pemerintah daerah menyusun Raperda Pengakuan Masyarakat Adat.

"Tahapan penyusunan raperda saat ini masih pada proses penggodokan draf menjadi perda yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) Kabupaten Lombok Utara. Perda tersebut penting, agar terdapat pengakuan dari negara tentang keberadaan masyarakat adat sehingga negara memberikan perhatian dan dukungan kuat dan terlestarikan," katanya.

Melalui Sangkep Beleq, diharapkan dapat merumuskan masalah dan solusi agar masyarakat adat dapat memperkuat dan melestarikan adat dan budaya, disamping memunculkan keseimbangan hubungan sosial antara masyarakat adat, budaya, dan alam.

Sementara itu, Kabid Sosial Budaya- Bappeda KLU Amir DH menyampaikan bahwa Bappeda KLU mendukung kegiatan masyarakat, apalagi menyangkut tentang masyasrakat adat.

"Kami memandang budaya dan adat sebagai karakteristik wilayah hukum adat yang mesti lestari, ditumbuhkembangkan. Masyarakat hukum adat dapat memfilter pengaruh arus globalisasi dan teknologi yang pesat," katanya.

Kadis Budpar KLU H Muhammad SPd mengatakan pihaknya mendorong disegerakannya Perda Pengakuan Masyarakat Adat, tinggal menunggu laju persetujuan dari DPRD untuk mematangkan draf raperda menjadi perda.

"Dinas Pariwisata berencana menempatkan kegiatan Pekan Kebudayaan di Kecamatan Bayan sebagai agenda tahunan. Pembacaan tembang pengiling-iling sarat makna tentang tasawuf. Nilai yang terkandung tersebut, jika benar-benar dilakukan maka memunculkan keseimbangan antara masyarakat adat, budaya dan alam," ujarnya.

Oleh karena itu, kata dia, Disbudpar KLU mendukung upaya dan kegiatan penguatan dan pelestarian budaya dan masyasrakat adat, sehingga ke depan terbuka jalinan kerjasama dengan masyarakat adat dan Somasi serta pihak terkait, dalam penyelenggaraan festival tahun-tahun mendatang.

Selanjutnya dijelaskan Kadispar, paratokoh dan pemerhati adat dan budaya, perlu menularkan dan menuturkan bahasa, adat dan budaya kepada generasi muda.

"Saya mengapresiasi Somasi yang telah menginisiasi dan memfasilitasi terbentuk dan proses terselenggaranya sekolah adat. Mesti optimal memanfaatkan sekolah adat sebagai ruang bagi masyarakat dan generasi penerus pelestari adat dan budaya. Pelestari alam yang dapat bermanfaat pada kehidupan sosial, ekonomi masyarakat," katanya.

Kadispar secara resmi membuka festival adat Bayan yang ditandai dengan dilakukannya adat Minangin, yakni proses memisahkan padi dari tangkainya yang menimbulkan irama, irama yang keluar dari  "Rantok" (lesung perahu) yang sudah diisi hasil pertanian berupa tangkai padi yang berbuah.

Secara filosofis, ini bermakna penyemangat dalam bekerja. Minangin ini dilakukan oleh 3 hingga 5 orang disesuaikan dengan besar atau kecilnya ukuran Rantok.(*) 

Pewarta : Masnun
Editor : Masnun
Copyright © ANTARA 2024