Jakarta (ANTARA) - Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Sjamsul Hadi menyebut pentingnya peningkatan konsumsi pangan lokal untuk menghapus ketergantungan masyarakat terhadap beras dan tepung.

"Sebagai contoh, masyarakat di daerah timur bisa mengonsumsi sagu atau sorgum seperti leluhur mereka, tidak harus ikut-ikutan selalu makan beras seperti masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa pun punya sumber karbohidrat selain beras seperti singkong, jagung, dan umbi-umbian lainnya," katanya dalam diskusi Forum Bumi di Jakarta, Kamis.

Ia menjelaskan, dampak negatif yang dirasakan akibat pergeseran pola konsumsi ke beras dan terigu yakni meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap pangan dari impor. Selain itu, masyarakat lokal di pulau-pulau kecil juga harus membayar beras lebih mahal.

"Sebagai contoh, menurut data Badan Pangan Nasional pada 2023, harga eceran beras premium di Jawa adalah sekitar Rp15 ribu per kilogram, tetapi harga beras yang sama itu sudah menjadi Rp17 ribu sampai Rp20 ribu per kilogram di tiga wilayah kepulauan, yakni Nusa Tenggara Timur, Wakatobi, dan Mentawai," ujar dia.

Menurut Sjamsul, sistem pangan Indonesia harus berbasis pada keberagaman Nusantara, termasuk sumber hayati dan budaya pangan di tanah air yang melimpah, di mana masyarakat lokal di masing-masing daerah memiliki kebudayaan dan sumber pangan lokal masing-masing yang harus dilestarikan untuk menjaga keragaman pangan nasional.

Ia juga menyayangkan adanya anggapan bias dari masyarakat Indonesia bahwa makanan pokok harus nasi atau terbuat dari beras. Berdasarkan data historis sejak tahun 1954, kebutuhan beras sebagai sumber karbohidrat di Indonesia yang semula 53,5 persen, pada tahun 2017 naik menjadi 74,6 persen.

Baca juga: Kerja sama Bulog-Perbadi perkuat produksi beras lokal

Selain itu, kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap gandum (bahan tepung terigu) sebagai sumber karbohidrat juga meningkat pesat, dari 5 persen pada tahun 1954 menjadi 25,4 persen pada tahun 2017, dan semakin meningkat menjadi 28 persen pada 2022.

"Sebenarnya Indonesia ini sangat kaya sekali, terdapat 72 varietas sumber karbohidrat, dan juga kacang-kacangan mencapai 100 varietas dan juga 450 varietas buah-buahan. Nah, ini sebenarnya adalah momen untuk membudayakan kembali, untuk kembali ke pangan lokal," jelas Sjamsul.

Baca juga: Sosiolog sebut perlu sinergi OPD bangkitkan minat konsumsi pangan lokal

Forum Bumi kedua digelar oleh Yayasan KEHATI bersama National Geographic Indonesia dengan tema "Bagaimana Masa Depan Ketahanan dan Keanekaragaman Pangan Indonesia?" yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya memanfaatkan pangan lokal di daerah masing-masing.
 

 

Pewarta : Lintang Budiyanti Prameswari
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024