New York (Antaranews NTB) - Minyak berjangka naik untuk sesi kedua berturut-turut pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB) setelah penurunan tajam minggu ini karena pengurangan cadangan bahan bakar AS dan kemungkinan pemotongan produksi OPEC membantu mendukung harga.
Laporan yang dilansir Reuters menyebutkan minyak mentah Brent berjangka naik 50 sen AS menjadi menetap di 66,62 dolar AS per barel.
Minyak mentah AS berjangka, West Texas Intermediate (WTI), naik 21 sen AS menjadi ditutup di 56,46 dolar AS per barel.
Pada Selasa (13/11) kontrak berjangka AS menandai kerugian satu hari paling curam mereka dalam lebih dari tiga tahun, karena kekhawatiran yang sedang berlangsung tentang melemahnya permintaan global dan kelebihan pasokan. WTI juga membukukan rekor penurunan ke-12 berturut-turut.
Data Badan Informasi Energi AS menunjukkan persediaan minyak mentah melonjak 10,3 juta barel pekan lalu, kenaikan mingguan terbesar sejak Februari 2017. Analis dalam jajak pendapat Reuters telah memperkirakan peningkatan 3,2 juta barel.
Tetapi, stok bensin turun 1,4 juta barel, sementara stok distilat turun 3,6 juta barel, data EIA menunjukkan.
Sementara peningkatan minyak mentah yang lebih besar dari perkiraan, penurunan pasokan produk minyak olahan membantu harga-harga melambung, kata Analis di Price Futures Group, Phil Flyn di Chicago. "Produk-produk pasti mendukung kami sekarang."
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), yang dipimpin oleh Arab Saudi, sedang mempertimbangkan pemotongan hingga 1,4 juta barel per hari (bph) tahun depan untuk menghindari peningkatan dalam persediaan global yang mendorong harga minyak jatuh antara 2014 dan 2016.
"Harga minyak mengabaikan data (EIA) sejauh ini," kata Analis Komoditas Commerzbank, Carsten Fritsch. "Satu penjelasan bisa jadi bahwa pengurangan produksi besar oleh OPEC menjadi lebih mungkin."
Sebelumnya pada hari itu, sumber-sumber Rusia mengatakan kepada Reuters bahwa Rusia ingin tetap keluar dari pemotongan produksi minyak yang disebut-sebut oleh beberapa mitranya dalam perjanjian pasokan yang dipimpin OPEC.
Kepala perusahaan minyak negara Libya NOC, mengatakan dalam sebuah pernyataannya pada Kamis (15/11) bahwa penting bagi OPEC dan produsen non-OPEC untuk bekerja sama menjaga stabilitas pasar minyak.
Badan Energi Internasional (IEA) dan OPEC minggu ini memperingatkan surplus yang cukup besar setidaknya di paruh pertama tahun 2019, dan mungkin di luar itu, mengingat laju pertumbuhan produksi non-OPEC dan permintaan yang lebih lambat di konsumen terbesar seperti China dan India.
Baca juga: Harga minyak kembali naik, OPEC bakal pangkas produksi
Harga minyak telah kehilangan sekitar seperempat dari nilainya dalam hanya enam minggu, tertekan oleh perlambatan ekonomi global dan melonjaknya produksi minyak mentah yang dipimpin oleh AS. Produksi minyak mentah AS naik menjadi 11,7 juta barel per hari, rekor tertinggi, menurut data EIA pada Kamis (15/11).
"Penyuling-penyuling dan konsumen Asia yang kami ajak bicara menyebutkan kekhawatiran awal dari perlambatan permintaan," kata Presiden Mercatus Energy Advisors, Mike Corley.
Bank AS Morgan Stanley mengatakan pada Rabu (14/11) bahwa ekonomi China "kondisinya memburuk secara material" pada kuartal ketiga, sementara analis di Capital Economics mengatakan "prospek ekonomi jangka pendek China masih tetap suram."
China adalah importir minyak terbesar dunia dan konsumen minyak mentah terbesar kedua di dunia.
Laporan yang dilansir Reuters menyebutkan minyak mentah Brent berjangka naik 50 sen AS menjadi menetap di 66,62 dolar AS per barel.
Minyak mentah AS berjangka, West Texas Intermediate (WTI), naik 21 sen AS menjadi ditutup di 56,46 dolar AS per barel.
Pada Selasa (13/11) kontrak berjangka AS menandai kerugian satu hari paling curam mereka dalam lebih dari tiga tahun, karena kekhawatiran yang sedang berlangsung tentang melemahnya permintaan global dan kelebihan pasokan. WTI juga membukukan rekor penurunan ke-12 berturut-turut.
Data Badan Informasi Energi AS menunjukkan persediaan minyak mentah melonjak 10,3 juta barel pekan lalu, kenaikan mingguan terbesar sejak Februari 2017. Analis dalam jajak pendapat Reuters telah memperkirakan peningkatan 3,2 juta barel.
Tetapi, stok bensin turun 1,4 juta barel, sementara stok distilat turun 3,6 juta barel, data EIA menunjukkan.
Sementara peningkatan minyak mentah yang lebih besar dari perkiraan, penurunan pasokan produk minyak olahan membantu harga-harga melambung, kata Analis di Price Futures Group, Phil Flyn di Chicago. "Produk-produk pasti mendukung kami sekarang."
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), yang dipimpin oleh Arab Saudi, sedang mempertimbangkan pemotongan hingga 1,4 juta barel per hari (bph) tahun depan untuk menghindari peningkatan dalam persediaan global yang mendorong harga minyak jatuh antara 2014 dan 2016.
"Harga minyak mengabaikan data (EIA) sejauh ini," kata Analis Komoditas Commerzbank, Carsten Fritsch. "Satu penjelasan bisa jadi bahwa pengurangan produksi besar oleh OPEC menjadi lebih mungkin."
Sebelumnya pada hari itu, sumber-sumber Rusia mengatakan kepada Reuters bahwa Rusia ingin tetap keluar dari pemotongan produksi minyak yang disebut-sebut oleh beberapa mitranya dalam perjanjian pasokan yang dipimpin OPEC.
Kepala perusahaan minyak negara Libya NOC, mengatakan dalam sebuah pernyataannya pada Kamis (15/11) bahwa penting bagi OPEC dan produsen non-OPEC untuk bekerja sama menjaga stabilitas pasar minyak.
Badan Energi Internasional (IEA) dan OPEC minggu ini memperingatkan surplus yang cukup besar setidaknya di paruh pertama tahun 2019, dan mungkin di luar itu, mengingat laju pertumbuhan produksi non-OPEC dan permintaan yang lebih lambat di konsumen terbesar seperti China dan India.
Baca juga: Harga minyak kembali naik, OPEC bakal pangkas produksi
Harga minyak telah kehilangan sekitar seperempat dari nilainya dalam hanya enam minggu, tertekan oleh perlambatan ekonomi global dan melonjaknya produksi minyak mentah yang dipimpin oleh AS. Produksi minyak mentah AS naik menjadi 11,7 juta barel per hari, rekor tertinggi, menurut data EIA pada Kamis (15/11).
"Penyuling-penyuling dan konsumen Asia yang kami ajak bicara menyebutkan kekhawatiran awal dari perlambatan permintaan," kata Presiden Mercatus Energy Advisors, Mike Corley.
Bank AS Morgan Stanley mengatakan pada Rabu (14/11) bahwa ekonomi China "kondisinya memburuk secara material" pada kuartal ketiga, sementara analis di Capital Economics mengatakan "prospek ekonomi jangka pendek China masih tetap suram."
China adalah importir minyak terbesar dunia dan konsumen minyak mentah terbesar kedua di dunia.