Jajarta (ANTARA) - Hari Pahlawan yang diperingati setiap tanggal 10 November merupakan salah satu hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Tanggal ini dipilih untuk menghormati para pejuang yang telah berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam Pertempuran Surabaya pada tahun 1945.
Asal-usul peringatan Hari Pahlawan berawal dari pertempuran heroik di Surabaya, ketika tentara dan milisi pro-kemerdekaan Indonesia berhadapan dengan pasukan Britania Raya atau pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Inggris dan Belanda (NICA).Salah satu tokoh yang terkenal dalam peristiwa ini adalah Bung Tomo, seorang pemuda yang melalui siaran radio membakar semangat rakyat untuk terus melawan penjajah. Lalu, bagaimana sejarah panjang dan tujuan dari peringatan Hari Pahlawan setiap 10 November? Berikut ulasannya.
Asal-usul Hari Pahlawan 10 November
Asal-usul Hari Pahlawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pahlawan merupakan seseorang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam memperjuangkan kebenaran, atau seorang pejuang yang gagah dan berani.
Artinya, menjadi seorang pahlawan bukanlah hal yang mustahil bagi siapa pun. Setiap individu yang berjuang untuk membela kebenaran memiliki peluang untuk dianggap sebagai pahlawan.
Dalam konteks negara dan kebangsaan, gelar pahlawan diberikan kepada mereka yang memiliki jasa besar dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara. Seorang pahlawan bertindak atas dasar cinta pada tanah air dan pengorbanan untuk negeri tempat ia berpijak.
Banyak orang mungkin belum mengetahui alasan Hari Pahlawan diperingati setiap 10 November. Tanggal ini dipilih untuk mengenang pertempuran bersejarah di Surabaya pada 10 November 1945. Melalui Keputusan Presiden (Kepres) No. 316 Tahun 1959, pemerintah Indonesia juga menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Pahlawan.
Sejarah singkat Hari Pahlawan 10 November
Sejarah singkat Hari Pahlawan 10 November 1945 bermula dari pertempuran di Surabaya, yang terjadi akibat kedatangan pasukan sekutu, terdiri dari tentara Inggris dan Belanda (NICA), ke Kota Surabaya pada 25 Oktober 1945. Kedatangan sekutu awalnya bertujuan untuk mengamankan para tawanan perang dan melucuti senjata tentara Jepang.
Pada 27 Oktober 1945, NICA yang dipimpin Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sother Mallaby memasuki wilayah Surabaya dan langsung mendirikan pos pertahanan. Pasukan Sekutu yang didominasi tentara Inggris menyerbu penjara dan membebaskan tawanan perang yang ditahan oleh pihak Indonesia.
Mereka juga memerintahkan masyarakat Indonesia untuk menyerahkan senjata. Namun, perintah tersebut ditolak tegas oleh rakyat Indonesia. Pada 28 Oktober 1945, pasukan Indonesia yang dipimpin Bung Tomo melancarkan serangan ke pos-pos pertahanan Sekutu, dan berhasil merebut sejumlah bagian titik penting Surabaya.
Meskipun gencatan senjata telah disepakati pada 29 Oktober, bentrokan bersenjata tetap terjadi antara warga Surabaya dan pasukan Inggris. Puncak pertempuran ini ditandai dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby pada 30 Oktober 1945, yang memicu kemarahan pihak Inggris.
Pada pagi 10 November, tentara Inggris melancarkan serangan besar. Pasukan dan milisi Indonesia memberikan perlawanan sengit, sehingga Inggris merespons dengan mengeluarkan ultimatum. Ultimatum tersebut disampaikan oleh Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh, yang menggantikan posisi Mallaby.
Jenderal Eric Carden menuntut Indonesia untuk menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan terhadap pasukan Inggris. Jika tuntutan tersebut tidak dipatuhi, tentara AFNEI dan administrasi NICA mengancam akan menggempur Kota Surabaya dari darat, laut, dan udara.
Ultimatum tersebut tidak digubris oleh para pemimpin perjuangan, arek-arek Surabaya, dan seluruh rakyat, sehingga Inggris melancarkan serangan besar-besaran ke Kota Surabaya dari berbagai arah. Mereka menggunakan kekuatan darat, laut, dan udara, yang memicu pecahnya pertempuran terbesar di Surabaya pada 10 November 1945.
Salah satu tokoh yang memiliki peran besar dalam membangkitkan semangat perlawanan rakyat Surabaya dalam pertempuran ini adalah Bung Tomo. Ia menginspirasi melalui siaran Radio Pemberontakan milik Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI).
Selain Bung Tomo, terdapat juga tokoh-tokoh berpengaruh lainnya yang turut menggerakkan rakyat Surabaya pada masa itu, beberapa di antaranya berasal dari kalangan agama, seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah, dan kyai-kyai pesantren lainnya. Mereka juga mengerahkan santri-santri dan masyarakat sipil untuk bergabung dalam milisi perlawanan.
Banyak pejuang yang gugur dan banyak pula warga yang menjadi korban dalam pertempuran tersebut. Kondisi ini menyebabkan Kota Surabaya dikenang sebagai Kota Pahlawan, sebagai penghormatan atas perjuangan dan pengorbanan besar yang terjadi di sana.
Tujuan diperingati Hari Pahlawan 10 November
Berdasarkan Kepres No. 316 Tahun 1959, peringatan peristiwa 10 November 1945 sebagai Hari Pahlawan setiap tahun menjadi momen untuk memperkuat ingatan kolektif bangsa. Pahlawan menjadi teladan di berbagai tingkatan dan aktivitas masyarakat, yang pada gilirannya menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air.
Semangat pembangunan bangsa dan negara tercermin dalam upaya mewujudkan Asta Cita, dengan fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia secara berkelanjutan untuk menjaga dan memajukan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.
Upaya ini dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sembari menghadapi tantangan perkembangan global. Langkah tersebut terlihat dalam berbagai aspek kehidupan, seperti sosial, ekonomi, budaya, dan politik, baik di tingkat nasional maupun komunitas.
Semangat pahlawan dalam membangun bangsa dan negara akan mewujudkan masyarakat adil dan makmur, baik secara material maupun spiritual, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.