Melihat bangunan yang berdindingkan anyaman bambu dan beratap bilah-bilah bambu sertaber landaskan batu kali yang tersusun di sebelah kanan Jalan Labuan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat dari arah Mataram, secara sekilas bukanlah masjid dan hanya bangunan tradisional setempat.
Bangunan itu Masjid Kuno Bayan Beleq yang didirikan pada abad ke-17, dan bangunan itulah yang menjadi awal dari masuknya agama Islam di Kecamatan Bayan yang lebih dikenal masyarakat adat Bayan.
Tepat di seberang jalan sedikit ke atas, terdapat pula Kampung Bayan Timur dan Kampung Bayan Barat yang bentuk bangunan hampir serupa dengan Masjid Kuno Bayan Beleq. Hanya atapnya yang berbeda seperti terbuat dari ilalang serta satu kampung yang dipagari bambu itu terdapat beruga mirip bale-bale dan lumbung padi.
Kesan keharmonisan dengan alam sangat kental terasa terlebih lagi dengan kondisi geografisnya yang berada di kaki Gunung Rinjani. Diibaratkan triangulasi yang saling berkaitan, tuhan-alam-manusia.
Masyarakat adat Bayan selama ini melawan stigma buruk dari masyarakat umumnya, yakni Islam wetu telu (waktu tiga) yakni Islam yang hanya menjalankan tiga waktu salat saja. Pandangan negatif itu harus disandang sejak zaman penjajahan Belanda sampai sekarang.
Padahal konsepsi wetu telu sesuai keyakinan warga bukanlah seperti pandangan umat Islam lainnya, yakni lebih berkaitan keselarasan manusia dalam menjaga atau mencintai alam sekitarnya.
"Wetu telu itu diartikan tumbuh, bertelur dan lahir, jadi bukan salat tiga waktu. Itu tidak benar," kata tokoh pemuda adat Bayan di Desa Batu Grantung, Raden Kertamaji.
Dijabarkannya dari kata tumbuh, tumbuh berkaitan dengan tetumbuhan seperti pohon atau hutan, pertanian sampai bunga-bungaan.
Bertelur, simbol bertelur itu ayam yang mewakili semua binatang lainnya. "Bertelur itu untuk binatang," katanya.
Lahir tertuju kepada manusia yang diawali dengan kelahiran. "Jadi wetu telu itu hubungan manusia dengan alam dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Semua jadi kesatuan," katanya.
Karena itu, dirinya membantah keras dengan adanya anggapan dari umat Islam lainnya bahwa mereka penganut Islam menyimpang. "Tidak benar anggapan orang itu, yang jelas kami ini adalah penganut `wetu lima`," katanya.
Wetu lima sama dengan umat Islam lainnya menjalankan shalat lima waktu seperti penganut agama Islam lainnya. Bahkan ada juga masyarakat adat Bayan yang berangkat naik haji serta menjadi marbot, pengelola masjid.
Keselarasan dengan alam lainnya, saat masyarakat adat Bayan dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, salah satu ritualnya dengan melakukan doa sebelum pelaksanan memasak di rumah adat.
Dengan menggunakan beruga, beruga itu di langit-langit dipasang kain berwarna-warni sebagai simbol alam semesta dan potongan-potongan kain berwarna putih dan ujungnya hitam seperti terbakar simbol awan.
Serta bunga sebagai perwujudan dari bintang. Setengah bangunan beruga itu, di tutup kain kafan mengelilingi bale-bale tersebut yang berarti sebagai bumi.
"Ini mengingatkan manusia di bumi akan adanya kematian," kata pemangku adat Bayan Desa Batu Grantung, Raden Nyakrawasih.
Kerajaan Islam
Bagi Raden Nyakrawasih, memercayai cerita dari leluhurnya bahwa dahulunya terdapat Kerajaan Islam Bayan yang istananya berada di dekat Masjid Kuno Bayan Beleq yang dipimpin Datu Slam.
Kemudian terdapat Kampung Bayan Timur dan Kampung Bayan Barat. Kampung Bayan Timur merupakan simbol dari akhirat sedangkan Kampung Bayan Barat sebagai duniawi.
Karena itu, Kampung Bayan Timur sebagai akhirat dijadikan tempat menyimpan piagam atau catatan sesungguhnya masyarakat adat Bayan, yang terbuat dari daun lontar dan kulit serta tidak bisa sembarangan orang membacanya.
"Asal mula kami ini ada di dalam daun lontar dan kulit sapi," katanya.
Kunci dari semuanya, kata dia, sebagai umat Islam kita harus selalu mengingat Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir.
Ia menegaskan kembali banyak orang yang salah pandangan terhadap masyarakat adat Bayan. "Yang jelas kami ini adalah wetu lima, saya menjalankan shalat lima waktu," kata kakek berusia 74 tahun itu.
Siapa yang menyebarkan Islam di Bayan?. Alfons van Der Kraan, dosen jurusan Sejarah Ekonomi Universitas Murdoch di Perth, Australia melalui bukunya berjudul "Lombok, Penaklukan, Penjajahan dan Keterbelakangan 1870-1940" mengutip Badad Lombok.
Disebutkan, Susuhunan Ratu Giri (Sunan Giri) memerintahkan supaya keyakinan yang baru itu dibawa ke pulau-pulau itu. Dilembu Mangku Rat dikirim dengan sebuah pasukan bersenjata ke Banjarmasin, Datu Bandan dikirim ke Makassar, Tidore, Seram, dan Galea.
Dan seorang putra Susuhunan sendiri, Pangeran Prapen ke Bali, Lombok dan Sumbawa. Prapen berlayar pertama-tama ke Lombok, dimana dengan kekerasan ia mengubah keyakinan rakyat untuk memeluk agama Islam. Setelah melaksanakan ini, ia melanjutkan pelayaran ke Sumbawa dan Bima.
Akan tetapi, selama kepergian Prapen terutama karena para wanita masih terus menganut keyakinan penyembah berhala, sebagian besar rakyat Lombok kembali ke penyembahan berhala itu. Setelah kemenangan-kemenangan di Sumbawa dan Bima, Prapen kembali dan dibantu oleh Raden dari Sumliya dan Raden dari Salut (Sasak).
Ia (Sunan Prapen) menyusun gerakan baru yang pada waktu ini berhasil. Sebagian penduduk lari ke pegunungan, sebagian lagi tunduk dan beralih keyakinan dan masuk Islam dan sebagian lainnya hanya ditaklukan.
Kemudian Prapen meninggalkan Raden dari Sumuliya dan Raden Salut untuk bertanggung jawab mempertahankan Islam di daerah itu dan berpindah ke Bali, dimana ia mulai perundingan-perundingan (yang tidak berhasil) dengan Dewa Agung dari Klungkung.
Meski pemangku adat Bayan di Batu Grantung, tidak mau secara tegas mengisahkan siapa yang menyebarkan Islam di Bayan dan bersikukuh semua keterangan asal muasal mereka ada di dalam daun lontar yang tidak sembarangan bisa dibaca.
Maka sesuai babad Lombok, bisa dikatakan penyebar agama Islam di Bayan, yakni Sunan Prapen yang merupakan putra dari Sunan Giri pada abad ke-16. Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1478.
Bangunan itu Masjid Kuno Bayan Beleq yang didirikan pada abad ke-17, dan bangunan itulah yang menjadi awal dari masuknya agama Islam di Kecamatan Bayan yang lebih dikenal masyarakat adat Bayan.
Tepat di seberang jalan sedikit ke atas, terdapat pula Kampung Bayan Timur dan Kampung Bayan Barat yang bentuk bangunan hampir serupa dengan Masjid Kuno Bayan Beleq. Hanya atapnya yang berbeda seperti terbuat dari ilalang serta satu kampung yang dipagari bambu itu terdapat beruga mirip bale-bale dan lumbung padi.
Kesan keharmonisan dengan alam sangat kental terasa terlebih lagi dengan kondisi geografisnya yang berada di kaki Gunung Rinjani. Diibaratkan triangulasi yang saling berkaitan, tuhan-alam-manusia.
Masyarakat adat Bayan selama ini melawan stigma buruk dari masyarakat umumnya, yakni Islam wetu telu (waktu tiga) yakni Islam yang hanya menjalankan tiga waktu salat saja. Pandangan negatif itu harus disandang sejak zaman penjajahan Belanda sampai sekarang.
Padahal konsepsi wetu telu sesuai keyakinan warga bukanlah seperti pandangan umat Islam lainnya, yakni lebih berkaitan keselarasan manusia dalam menjaga atau mencintai alam sekitarnya.
"Wetu telu itu diartikan tumbuh, bertelur dan lahir, jadi bukan salat tiga waktu. Itu tidak benar," kata tokoh pemuda adat Bayan di Desa Batu Grantung, Raden Kertamaji.
Dijabarkannya dari kata tumbuh, tumbuh berkaitan dengan tetumbuhan seperti pohon atau hutan, pertanian sampai bunga-bungaan.
Bertelur, simbol bertelur itu ayam yang mewakili semua binatang lainnya. "Bertelur itu untuk binatang," katanya.
Lahir tertuju kepada manusia yang diawali dengan kelahiran. "Jadi wetu telu itu hubungan manusia dengan alam dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Semua jadi kesatuan," katanya.
Karena itu, dirinya membantah keras dengan adanya anggapan dari umat Islam lainnya bahwa mereka penganut Islam menyimpang. "Tidak benar anggapan orang itu, yang jelas kami ini adalah penganut `wetu lima`," katanya.
Wetu lima sama dengan umat Islam lainnya menjalankan shalat lima waktu seperti penganut agama Islam lainnya. Bahkan ada juga masyarakat adat Bayan yang berangkat naik haji serta menjadi marbot, pengelola masjid.
Keselarasan dengan alam lainnya, saat masyarakat adat Bayan dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, salah satu ritualnya dengan melakukan doa sebelum pelaksanan memasak di rumah adat.
Dengan menggunakan beruga, beruga itu di langit-langit dipasang kain berwarna-warni sebagai simbol alam semesta dan potongan-potongan kain berwarna putih dan ujungnya hitam seperti terbakar simbol awan.
Serta bunga sebagai perwujudan dari bintang. Setengah bangunan beruga itu, di tutup kain kafan mengelilingi bale-bale tersebut yang berarti sebagai bumi.
"Ini mengingatkan manusia di bumi akan adanya kematian," kata pemangku adat Bayan Desa Batu Grantung, Raden Nyakrawasih.
Kerajaan Islam
Bagi Raden Nyakrawasih, memercayai cerita dari leluhurnya bahwa dahulunya terdapat Kerajaan Islam Bayan yang istananya berada di dekat Masjid Kuno Bayan Beleq yang dipimpin Datu Slam.
Kemudian terdapat Kampung Bayan Timur dan Kampung Bayan Barat. Kampung Bayan Timur merupakan simbol dari akhirat sedangkan Kampung Bayan Barat sebagai duniawi.
Karena itu, Kampung Bayan Timur sebagai akhirat dijadikan tempat menyimpan piagam atau catatan sesungguhnya masyarakat adat Bayan, yang terbuat dari daun lontar dan kulit serta tidak bisa sembarangan orang membacanya.
"Asal mula kami ini ada di dalam daun lontar dan kulit sapi," katanya.
Kunci dari semuanya, kata dia, sebagai umat Islam kita harus selalu mengingat Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir.
Ia menegaskan kembali banyak orang yang salah pandangan terhadap masyarakat adat Bayan. "Yang jelas kami ini adalah wetu lima, saya menjalankan shalat lima waktu," kata kakek berusia 74 tahun itu.
Siapa yang menyebarkan Islam di Bayan?. Alfons van Der Kraan, dosen jurusan Sejarah Ekonomi Universitas Murdoch di Perth, Australia melalui bukunya berjudul "Lombok, Penaklukan, Penjajahan dan Keterbelakangan 1870-1940" mengutip Badad Lombok.
Disebutkan, Susuhunan Ratu Giri (Sunan Giri) memerintahkan supaya keyakinan yang baru itu dibawa ke pulau-pulau itu. Dilembu Mangku Rat dikirim dengan sebuah pasukan bersenjata ke Banjarmasin, Datu Bandan dikirim ke Makassar, Tidore, Seram, dan Galea.
Dan seorang putra Susuhunan sendiri, Pangeran Prapen ke Bali, Lombok dan Sumbawa. Prapen berlayar pertama-tama ke Lombok, dimana dengan kekerasan ia mengubah keyakinan rakyat untuk memeluk agama Islam. Setelah melaksanakan ini, ia melanjutkan pelayaran ke Sumbawa dan Bima.
Akan tetapi, selama kepergian Prapen terutama karena para wanita masih terus menganut keyakinan penyembah berhala, sebagian besar rakyat Lombok kembali ke penyembahan berhala itu. Setelah kemenangan-kemenangan di Sumbawa dan Bima, Prapen kembali dan dibantu oleh Raden dari Sumliya dan Raden dari Salut (Sasak).
Ia (Sunan Prapen) menyusun gerakan baru yang pada waktu ini berhasil. Sebagian penduduk lari ke pegunungan, sebagian lagi tunduk dan beralih keyakinan dan masuk Islam dan sebagian lainnya hanya ditaklukan.
Kemudian Prapen meninggalkan Raden dari Sumuliya dan Raden Salut untuk bertanggung jawab mempertahankan Islam di daerah itu dan berpindah ke Bali, dimana ia mulai perundingan-perundingan (yang tidak berhasil) dengan Dewa Agung dari Klungkung.
Meski pemangku adat Bayan di Batu Grantung, tidak mau secara tegas mengisahkan siapa yang menyebarkan Islam di Bayan dan bersikukuh semua keterangan asal muasal mereka ada di dalam daun lontar yang tidak sembarangan bisa dibaca.
Maka sesuai babad Lombok, bisa dikatakan penyebar agama Islam di Bayan, yakni Sunan Prapen yang merupakan putra dari Sunan Giri pada abad ke-16. Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1478.