Mataram (ANTARA) - Pada tahun 2019, Indonesia menginisiasi konsep “Indonesia Emas 2045”. Konsep Indonesia emas bertujuan untuk mencapai Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2045. Gaungan Indonesia emas 2045 tidak terlepas dari visi-misi Indonesia dalam mencapai Pembangunan jangka Panjang sesuai dengan cita-cita Indonesia menuju 100 tahun kemerdekaanya.
Presiden Indonesia yakni Jokowi menyampaikan tiga hal pokok dalam mencapai visi Indonesia emas 2045 yakni:1) Stabilitas bangsa dan negara harus terjaga. 2) Keberlanjutan dan kesinambungan dalam memimpin. 3) Sumber Daya Manusia yang mumpuni. Dalam point ketiga, di Indonesia, SDM dan pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan yang sangat erat. Hal ini mengingat bahwa untuk mencapai SDM yang mumpuni, maka diperlukan pemberdayaan Masyarakat yang mumpuni juga. Pemberdayaan Masyarakat meliputi berbagai aspek terutama pada pemberdayaan perempuan.
Pemberdayaan Perempuan merupakan salah satu elemen penting dari Indonesia emas 2045 untuk mencapai kesetaraan gender yang berkelanjutan. Adapun kesetaraan gender bagi perempuan harus mencakup berbagai bidang yakni akses terhadap Pendidikan dan Kesehatan, perlindungan hukum dan sosial serta partisipasi Perempuan dalam ekonomi dan politik.
Di era globalisasi, keterwakilan Perempuan pada bidang politik menjadi isu yang sangat penting dibicarakan. Hal ini mengingat bahwasanya Perempuan di politik menjadi representasi terhadap perspektif kesetaraan gender terutama di Indonesia. Pasca reformasi, keberadaan perempuan dalam politik dan pengambilan Keputusan di publik mulai terlihat. Hal ini terbukti dari terciptanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang kemudian di revisi menjadi Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 pasal 8 ayat 5 yang mengatakan bahwa parpol dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.
Adanya kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik dan memastikan bahwa suara mereka didengar dalam proses pengambilan keputusan di legislatif. Dari data di atas, pada kenyataanya jumlah perempuan setidaknya harus mencapai 30% dalam kursi parlemen. Meskipun begitu,
Angka ini dominan tidak tercapai dalam beberapa kasus seperti pada Pemilu 2019, jumlah perempuan yang telah terpilih menjadi anggota DPR RI hanya menyentuh angka 20,5% atau setara dengan 118 perempuan dari jumlah total 575 kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kemudian, pada pemilu 2024, keterwakilan perempuan hanya meningkat 1,6 % yakni hanya menembus angka 22,1 % atau setara dengan 128 perempuan dari total 580 kursi DPR.
Sedikitnya kenaikan terhadap keterwakilan Perempuan dibidang politik menjadi masalah yang sangat krusial. Hal ini dikarenakan apabila keterwakilan perempuan sulit naik, maka kesetaraan gender pada Indonesia emas 2045 sulit dicapai. Disisi lain, sulitnya kenaikan keterwakilan perempuan di politik disebabkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah pandangan masyarakat terhadap kepemimpinan perempuan yang masih terikat pada peran dan tugas perempuan sebagai ibu rumah tangga, budaya patriarki, kuranganya dukungan dari partai politik, sikap gender yang muncul pada era orde lama yang lebih memberikan dominan kepada laki-laki dan tatanan baru perempuan dipandang dalam politik masih sangat dangkal serta kurangnya kepercayaan terhadap keterwakilan Perempuan di politik menyebabkan kurang diberi tugas-tugas sekunder.
Pro dan Kontra 30% Keterwakilan Perempuan di Bidang Politik
Keterwakilan Perempuan dalam bidang politik menuai perspektif pro dan kontra. Dari sisi pro menyatakan, pertama, bahwa memasukkan suara perempuan ke dalam politik merupakan elemen penting dalam perjuangan melindungi hak dan kepentingan Perempuan. Oleh karena itu, perempuan memerlukan perhatian khusus, terutama mengingat adanya ruang untuk menyuarakan hak-hak politiknya. Kedua, suara perempuan dalam politik juga akan memberikan warna berbeda dalam pengambilan keputusan, karena perempuan akan memiliki kualitas yang lebih feminin dalam proses pengambilan keputusan.
Sebaliknya, memperjuangkan hak- hak politik perempuan sangatlah tidak mudah, hal ini karena dari sisi kontra menyatakan bahwa pertama, dalam pengambilan keputusan perempuan kerap menggunakan perasaan pada saat membuat dan memutuskan kebijakan. Hal ini ditakutkan bahwa ketika Perempuan sedang merasa tidak baik, maka emosionalnya akan semakin meningkat yang akan menyebabkan terjadinya pembuatan kebijakan dari emosional. Kedua, perspektif Masyarakat mengenai sterotip gender.
Perspektif Masyarakat yang lebih melihat Perempuan sebagai ibu rumah tangga membuat terjadinya ketidakpercayaan dalam memilih Perempuan sebagai pemimpin di parlemen. Hal tersebut akan memicu terjadi kurangnya dukungan terhadap Perempuan. Ketiga, Perempuan di pandang sebagai pemanis bukan pemimpin di bidang politik. Panggung Perempuan dianggap sebagai pemanis dikarenakan bahwasanya Perempuan selalu dikaitkan dengan membuat kebijakan menggunakan perasaan dan otomatis kebijakan yang di suarakan oleh perempuan tidak akan berjalan mulus. Sehingga menimbulkan pandangan Perempuan hanya sebagai pemanis di bidang politik, tanpa banyak memberi impact terhadap kebijakan public.
Sudahkan 30 % Keterwakilan Perempuan di Politik Tecapai?
Keterwakilan Perempuan di politik memang memiliki perspektif yang berbeda dari setiap individu. Adapun perspektif penulis terhadap 30% keterwakilan Perempuan apakah sudah terrealisasi atau belum terletak pada pengimplementasiannya. Memang telah dibuatkan undang-undang untuk mencapai keterwakilan Perempuan di bidang politik. Akan tetapi di lapangannya tidak sesuai dengan kebijakannya. Adapun factor-faktor yang dilihat penulis mengapa masih sulit mengimplementasi keterwakilan Perempuan di politik yakni pertama, kurangnya sosialisasi peran penting perempuan di bidang politik. Hal pertama yang harus dilakukan ketika ingin melihat perempuan bisa eksis di bidang parlemen Indonesia, hal utama yang harus dilakukan yakni melakukan sosialisasi bahwa perempuan dan laki-laki itu setara dalam bidang sosial seperti politik.
Adanya sosialisasi terhadap perempuan dalam berbagai bidang mampu membuat perspektif masyarakat semakin terbuka. Kedua, seterotip gender yang berlebihan. Seterotip gender seringkali menggambarkan perempuan sebagai sosok yang lemah, pasif, dan terbatas pada peran tertentu, hal inilah yang memicu budaya patriarki di Indonesia masih merajalela.
Dalam dunia politik, menyuarakan 30% keterwakilan perempuan harus dilakukan, hal ini sesuai dengan Undang-undang yang telah dibuat. Adapun cara merealisasikan keterwakilan perempuan di politik menurut penulis yakni pertama, melatih kepemimpinan perempuan. Hal yang lain yakni melatih kepemimpinan perempuan dibidang politik agar bisa menghadapi tantangan-tantangan politik dan menyelenggarakan program pelatihan kepemimpinan bagi para perempuan Indonesia.
Kedua, melakukan dekonstruksi citra perempuan, pentingnya dekonstruksi terhadap citra Perempuan dibidang politik terutama memberikan citra baik mengenai terhadap keberadaan Perempuan yang penting dibidang politik. Selain itu, adanya dekonstruksi citra akan membawa Dampak positif karena Perempuan sudah bisa meruntuhkan struktur konseptual yang membatasi pemikiran tentang Perempuan hanya di rumah. Ketiga, melakukan kritik terhadap streotip gender. Seterotip gender seringkali menggambarkan perempuan sebagai sosok yang lemah, pasif, dan terbatas pada peran tertentu, dan stereotip tersebut harus dikritik dengan cara menunjukkan bahwa perempuan mempunyai kemampuan yang sama terutama dalam pengambilan kebijakan di politik.
Kempat, yakni melakukan pemberdayaan terutama di dalam Pendidikan mengenai politik terhadap Perempuan. Perempuan harus diberi wewenang dan kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri terutama dalam bidang politik. Apabila sterotip negatif mengenai Perempuan dikritik, maka Masyarakat lebih melek dengan kehadiran dan keterwakilan Perempuan dibidang politik
Indonesia emas 2045 merupakan cita-cita terbesar bagi negara Indonesia. Untuk mewujudkannya diperlukan strategi yakni pemberdayaan perempuan dan penentuan pemimpin parlemen berdasarkan pengalaman dan kompetensinya di bidang politik, pemerintahan serta bagaimana cara melayani masyarakatnya bukan berdasarkan gendernya. Pada opini ini, perspektif penulis terhadap 30% Keterwakilan perempuan di politk sangat setuju untuk di lakukan. Hal ini karena penulis melihat dampak positif terutama dalam pengambilan kebijakan yang lebih beragam dan berwarna, ditambah dengan pendidikan tingkat tinggi bagi perempuan terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini terbukti dari data Badan Pusat Statistik tahun 2023 dimana Pendidikan tinggi terhadap perempaun telah mencapai angka sebesar 33, 87% sedangkan laki-laki hanya mencapai angka 29, 12%.
Data di atas telah menujukan tingkat pendidikan tinggi yang dominan dipegang oleh perempuan. Dominan Pendidikan tinggi yang dipegang perempuan menjadi fondasi yang kuat dalam pengambilan kebijakan. Hal ini di kuatkan dengan perspektif masyarakat, apabila seseorang terutama perempuan mengenyam pendidikan tinggi, maka perspektifnya terhadap Perempuan berpendidikan sangat tinggi juga. Untuk mendukung terus tingkat pendidikan pada perempuan maka perlu dilakukan pemberdayaan perempuan guna mencapai Indonesia emas 2045.
Pemerintah harus terus memberikan perlindungan bagi perempuan melalui memberikan fasilitas Pendidikan yang layak sebagai wadah untuk memberdayakan perempuan dan terus ikut andil dalam mempromosikan kesetaraan gender di semua bidang terutama dalam kursi parlemen. Apabila pemberdayaan perempuan diatas terus dipromosi dan terealisasikan, maka Indonesia emas akan bisa tercapai. Sebaliknya, apabila pemberdayaan terhadap perempuan tidak ada dukungan melalui promosi, maka sulit terealisasikan 30% keterwakilan perempuan di bidang politik sesuai dari cita-cita emas Indonesia 2045. Oleh karena itu, cara-cara pandang penulis diatas diharapkan mampu merealisasikan 30% Keterwakilan Perempuan di politik untuk mencapai Indonesia emas 2045 dan kesetaraan gender berkelanjutan.
*) Penulis adalah mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional (HI) Universitas Mataram (Unram)
Presiden Indonesia yakni Jokowi menyampaikan tiga hal pokok dalam mencapai visi Indonesia emas 2045 yakni:1) Stabilitas bangsa dan negara harus terjaga. 2) Keberlanjutan dan kesinambungan dalam memimpin. 3) Sumber Daya Manusia yang mumpuni. Dalam point ketiga, di Indonesia, SDM dan pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan yang sangat erat. Hal ini mengingat bahwa untuk mencapai SDM yang mumpuni, maka diperlukan pemberdayaan Masyarakat yang mumpuni juga. Pemberdayaan Masyarakat meliputi berbagai aspek terutama pada pemberdayaan perempuan.
Pemberdayaan Perempuan merupakan salah satu elemen penting dari Indonesia emas 2045 untuk mencapai kesetaraan gender yang berkelanjutan. Adapun kesetaraan gender bagi perempuan harus mencakup berbagai bidang yakni akses terhadap Pendidikan dan Kesehatan, perlindungan hukum dan sosial serta partisipasi Perempuan dalam ekonomi dan politik.
Di era globalisasi, keterwakilan Perempuan pada bidang politik menjadi isu yang sangat penting dibicarakan. Hal ini mengingat bahwasanya Perempuan di politik menjadi representasi terhadap perspektif kesetaraan gender terutama di Indonesia. Pasca reformasi, keberadaan perempuan dalam politik dan pengambilan Keputusan di publik mulai terlihat. Hal ini terbukti dari terciptanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang kemudian di revisi menjadi Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 pasal 8 ayat 5 yang mengatakan bahwa parpol dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.
Adanya kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik dan memastikan bahwa suara mereka didengar dalam proses pengambilan keputusan di legislatif. Dari data di atas, pada kenyataanya jumlah perempuan setidaknya harus mencapai 30% dalam kursi parlemen. Meskipun begitu,
Angka ini dominan tidak tercapai dalam beberapa kasus seperti pada Pemilu 2019, jumlah perempuan yang telah terpilih menjadi anggota DPR RI hanya menyentuh angka 20,5% atau setara dengan 118 perempuan dari jumlah total 575 kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kemudian, pada pemilu 2024, keterwakilan perempuan hanya meningkat 1,6 % yakni hanya menembus angka 22,1 % atau setara dengan 128 perempuan dari total 580 kursi DPR.
Sedikitnya kenaikan terhadap keterwakilan Perempuan dibidang politik menjadi masalah yang sangat krusial. Hal ini dikarenakan apabila keterwakilan perempuan sulit naik, maka kesetaraan gender pada Indonesia emas 2045 sulit dicapai. Disisi lain, sulitnya kenaikan keterwakilan perempuan di politik disebabkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah pandangan masyarakat terhadap kepemimpinan perempuan yang masih terikat pada peran dan tugas perempuan sebagai ibu rumah tangga, budaya patriarki, kuranganya dukungan dari partai politik, sikap gender yang muncul pada era orde lama yang lebih memberikan dominan kepada laki-laki dan tatanan baru perempuan dipandang dalam politik masih sangat dangkal serta kurangnya kepercayaan terhadap keterwakilan Perempuan di politik menyebabkan kurang diberi tugas-tugas sekunder.
Pro dan Kontra 30% Keterwakilan Perempuan di Bidang Politik
Keterwakilan Perempuan dalam bidang politik menuai perspektif pro dan kontra. Dari sisi pro menyatakan, pertama, bahwa memasukkan suara perempuan ke dalam politik merupakan elemen penting dalam perjuangan melindungi hak dan kepentingan Perempuan. Oleh karena itu, perempuan memerlukan perhatian khusus, terutama mengingat adanya ruang untuk menyuarakan hak-hak politiknya. Kedua, suara perempuan dalam politik juga akan memberikan warna berbeda dalam pengambilan keputusan, karena perempuan akan memiliki kualitas yang lebih feminin dalam proses pengambilan keputusan.
Sebaliknya, memperjuangkan hak- hak politik perempuan sangatlah tidak mudah, hal ini karena dari sisi kontra menyatakan bahwa pertama, dalam pengambilan keputusan perempuan kerap menggunakan perasaan pada saat membuat dan memutuskan kebijakan. Hal ini ditakutkan bahwa ketika Perempuan sedang merasa tidak baik, maka emosionalnya akan semakin meningkat yang akan menyebabkan terjadinya pembuatan kebijakan dari emosional. Kedua, perspektif Masyarakat mengenai sterotip gender.
Perspektif Masyarakat yang lebih melihat Perempuan sebagai ibu rumah tangga membuat terjadinya ketidakpercayaan dalam memilih Perempuan sebagai pemimpin di parlemen. Hal tersebut akan memicu terjadi kurangnya dukungan terhadap Perempuan. Ketiga, Perempuan di pandang sebagai pemanis bukan pemimpin di bidang politik. Panggung Perempuan dianggap sebagai pemanis dikarenakan bahwasanya Perempuan selalu dikaitkan dengan membuat kebijakan menggunakan perasaan dan otomatis kebijakan yang di suarakan oleh perempuan tidak akan berjalan mulus. Sehingga menimbulkan pandangan Perempuan hanya sebagai pemanis di bidang politik, tanpa banyak memberi impact terhadap kebijakan public.
Sudahkan 30 % Keterwakilan Perempuan di Politik Tecapai?
Keterwakilan Perempuan di politik memang memiliki perspektif yang berbeda dari setiap individu. Adapun perspektif penulis terhadap 30% keterwakilan Perempuan apakah sudah terrealisasi atau belum terletak pada pengimplementasiannya. Memang telah dibuatkan undang-undang untuk mencapai keterwakilan Perempuan di bidang politik. Akan tetapi di lapangannya tidak sesuai dengan kebijakannya. Adapun factor-faktor yang dilihat penulis mengapa masih sulit mengimplementasi keterwakilan Perempuan di politik yakni pertama, kurangnya sosialisasi peran penting perempuan di bidang politik. Hal pertama yang harus dilakukan ketika ingin melihat perempuan bisa eksis di bidang parlemen Indonesia, hal utama yang harus dilakukan yakni melakukan sosialisasi bahwa perempuan dan laki-laki itu setara dalam bidang sosial seperti politik.
Adanya sosialisasi terhadap perempuan dalam berbagai bidang mampu membuat perspektif masyarakat semakin terbuka. Kedua, seterotip gender yang berlebihan. Seterotip gender seringkali menggambarkan perempuan sebagai sosok yang lemah, pasif, dan terbatas pada peran tertentu, hal inilah yang memicu budaya patriarki di Indonesia masih merajalela.
Dalam dunia politik, menyuarakan 30% keterwakilan perempuan harus dilakukan, hal ini sesuai dengan Undang-undang yang telah dibuat. Adapun cara merealisasikan keterwakilan perempuan di politik menurut penulis yakni pertama, melatih kepemimpinan perempuan. Hal yang lain yakni melatih kepemimpinan perempuan dibidang politik agar bisa menghadapi tantangan-tantangan politik dan menyelenggarakan program pelatihan kepemimpinan bagi para perempuan Indonesia.
Kedua, melakukan dekonstruksi citra perempuan, pentingnya dekonstruksi terhadap citra Perempuan dibidang politik terutama memberikan citra baik mengenai terhadap keberadaan Perempuan yang penting dibidang politik. Selain itu, adanya dekonstruksi citra akan membawa Dampak positif karena Perempuan sudah bisa meruntuhkan struktur konseptual yang membatasi pemikiran tentang Perempuan hanya di rumah. Ketiga, melakukan kritik terhadap streotip gender. Seterotip gender seringkali menggambarkan perempuan sebagai sosok yang lemah, pasif, dan terbatas pada peran tertentu, dan stereotip tersebut harus dikritik dengan cara menunjukkan bahwa perempuan mempunyai kemampuan yang sama terutama dalam pengambilan kebijakan di politik.
Kempat, yakni melakukan pemberdayaan terutama di dalam Pendidikan mengenai politik terhadap Perempuan. Perempuan harus diberi wewenang dan kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri terutama dalam bidang politik. Apabila sterotip negatif mengenai Perempuan dikritik, maka Masyarakat lebih melek dengan kehadiran dan keterwakilan Perempuan dibidang politik
Indonesia emas 2045 merupakan cita-cita terbesar bagi negara Indonesia. Untuk mewujudkannya diperlukan strategi yakni pemberdayaan perempuan dan penentuan pemimpin parlemen berdasarkan pengalaman dan kompetensinya di bidang politik, pemerintahan serta bagaimana cara melayani masyarakatnya bukan berdasarkan gendernya. Pada opini ini, perspektif penulis terhadap 30% Keterwakilan perempuan di politk sangat setuju untuk di lakukan. Hal ini karena penulis melihat dampak positif terutama dalam pengambilan kebijakan yang lebih beragam dan berwarna, ditambah dengan pendidikan tingkat tinggi bagi perempuan terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini terbukti dari data Badan Pusat Statistik tahun 2023 dimana Pendidikan tinggi terhadap perempaun telah mencapai angka sebesar 33, 87% sedangkan laki-laki hanya mencapai angka 29, 12%.
Data di atas telah menujukan tingkat pendidikan tinggi yang dominan dipegang oleh perempuan. Dominan Pendidikan tinggi yang dipegang perempuan menjadi fondasi yang kuat dalam pengambilan kebijakan. Hal ini di kuatkan dengan perspektif masyarakat, apabila seseorang terutama perempuan mengenyam pendidikan tinggi, maka perspektifnya terhadap Perempuan berpendidikan sangat tinggi juga. Untuk mendukung terus tingkat pendidikan pada perempuan maka perlu dilakukan pemberdayaan perempuan guna mencapai Indonesia emas 2045.
Pemerintah harus terus memberikan perlindungan bagi perempuan melalui memberikan fasilitas Pendidikan yang layak sebagai wadah untuk memberdayakan perempuan dan terus ikut andil dalam mempromosikan kesetaraan gender di semua bidang terutama dalam kursi parlemen. Apabila pemberdayaan perempuan diatas terus dipromosi dan terealisasikan, maka Indonesia emas akan bisa tercapai. Sebaliknya, apabila pemberdayaan terhadap perempuan tidak ada dukungan melalui promosi, maka sulit terealisasikan 30% keterwakilan perempuan di bidang politik sesuai dari cita-cita emas Indonesia 2045. Oleh karena itu, cara-cara pandang penulis diatas diharapkan mampu merealisasikan 30% Keterwakilan Perempuan di politik untuk mencapai Indonesia emas 2045 dan kesetaraan gender berkelanjutan.
*) Penulis adalah mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional (HI) Universitas Mataram (Unram)