Jakarta (ANTARA) - Direktur Yayasan Manuwani Lia Andriyani menilai bahwa pekerja seks rentan menjadi korban femisida maupun korban kekerasan berbasis gender karena adanya stigma yang dilekatkan pada pekerja seks.

"Segala cap buruk terhadap pekerja seks sehingga menjadikan adanya diskriminasi. Pekerja seks pun rentan menjadi korban kekerasan berbasis gender, bahkan menjadi korban femisida," kata Lia Andriyani dalam media briefing Komnas Perempuan bertajuk "Femisida di Indonesia Bukan Pembunuhan Biasa", di Jakarta, Selasa.

Manuwani adalah yayasan atau komunitas yang beranggotakan para perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks, perempuan yang bekerja di tempat hiburan, panti pijat, jalanan, maupun pekerja seks yang berbasis online.

Lia Andriyani mengkritik kebijakan yang tidak berpihak dan mengkriminalisasi perempuan pekerja seks. "Beribu cara dilakukan oleh pemerintah untuk menghalangi bahkan menutup tempat mereka (lokalisasi). Prostitusi itu tidak hanya ada di lokalisasi, bisa dilakukan di mana saja," katanya.

Padahal menurut dia, perempuan menjadi pekerja seks lantaran mereka terdesak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

"Karena urusannya perut, kebutuhan keluarga, kebutuhan anak. Karena dia tulang punggung keluarga, single parent, menghidupi dan menyekolahkan anak. Dia ingin anaknya lulus sarjana, hidupnya enak. Tetapi tidak ada yang membicarakan, memberitakan bagaimana sebenarnya kehidupan kami," kata Lia Andriyani.

Sejumlah kasus kekerasan seksual berujung femisida tercatat menimpa pekerja seks, salah satunya seorang perempuan pekerja seks berinisial RA (23) dibunuh oleh pria pelanggannya bernama Amrin Al-Rasyid Pane (20) di sebuah rumah kos yang disewa pelaku di Kabupaten Badung, Bali, pada 3 Mei dini hari.

Pada 2015, seorang pekerja seks berinisial T dibunuh oleh pelanggannya di rumah kos korban di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Pelaku nekad membunuh lantaran korban mengatakan badan pelaku bau.

Baca juga: Komnas ingatkan perempuan tetap kritis "princess treatment"

Peraturan hukum di Indonesia belum mendefinisikan mengenai femisida dan penanganan kasus femisida.

Selain itu, alih-alih menggunakan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kasus-kasus pembunuhan perempuan dan anak perempuan masih ditangani dengan menggunakan UU KUHP dan atau UU Perlindungan Anak.

Baca juga: Penting peran pimpinan kampus lindungi Satgas PPKS

Komnas Perempuan menggelar rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan untuk mengajak semua pihak bersama-sama mencegah, menghapus, dan menangani kekerasan terhadap perempuan.

Setiap tahun, kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan berlangsung dari 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.

 


 


Pewarta : Anita Permata Dewi
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024