Jakarta (ANTARA) - Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Meski berbagai upaya telah dilakukan, banyak kasus tetap terjadi, termasuk di tempat kerja.
Berdasar catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2023, terdapat 57,6 persen atau 1.127 bentuk kasus kekerasan seksual dari total 1.956 bentuk kasus kekerasan di ranah publik, termasuk di dalamnya eksploitasi seksual, yang terjadi di dunia kerja dan lembaga pendidikan.
Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) juga menunjukkan bahwa perempuan dengan status bekerja mengalami prevalensi kekerasan fisik dan/atau seksual yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan tidak bekerja.
Prevalensi kekerasan fisik dan/atau seksual yang dilakukan oleh pasangan dan/atau selain pasangan selama hidup terhadap perempuan usia 15--64 tahun yang bekerja tercatat sebesar 25,6 persen, sedangkan pada perempuan yang tidak bekerja sebesar 22,7 persen.
Di beberapa tempat kerja, tekanan terhadap perempuan tidak hanya berupa stigma sosial, tetapi terkadang juga kekerasan dalam berbagai bentuk, mulai dari pelecehan seksual, ancaman, intimidasi, hingga penggajian yang tidak setara.
Kekerasan di tempat kerja sering kali bersifat seperti fenomena gunung es, tidak terlihat di permukaan. Sebagian besar kasus tidak terungkap karena korban merasa takut melapor atau tidak mendapatkan dukungan yang memadai. Stigma dan penyalahgunaan kekuasaan membuat perempuan rentan menjadi korban tanpa mampu membela diri.
Kasus-kasus yang muncul ke permukaan menunjukkan pola penyalahgunaan kekuasaan oleh pelaku. Misalnya, kasus pada Oktober 2024 ketika pemilik perusahaan animasi dengan inisial CL diduga melakukan kekerasan fisik terhadap karyawannya. Pelaku dengan mudah menghindari jeratan hukum meski korban melapor.
Adapun kasus lainnya adalah dari survei internal yang dilakukan di Central Intelligence Agency (CIA) mengungkapkan bahwa hampir sepertiga dari karyawan CIA telah melaporkan bahwa mereka pernah mengalami kekerasan berupa kekerasan seksual yang tidak pantas di tempat kerjanya, setidaknya sekali selama karier mereka. Hal tersebut terjadi karena adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh pimpinan sehingga para korban tidak berani bersuara.
Contoh lainnya adalah kasus di Bali pada Oktober 2023 ketika seorang pria memerkosa rekan kerja perempuannya karena merasa sakit hati setelah cintanya ditolak. Kasus ini tidak hanya meninggalkan trauma mendalam bagi korban tetapi juga menyoroti betapa rentannya perempuan dalam lingkungan kerja.
Ironisnya, bahkan aparat penegak hukum tidak luput dari kasus serupa. Pada September 2023, seorang Polwan di Sulawesi Utara melaporkan pelecehan seksual oleh atasannya, seorang kapolres. Kasus ini menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat digunakan untuk melemahkan posisi perempuan, bahkan di institusi yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat.
Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial yang masih lemah dalam melindungi perempuan. Ketimpangan kekuasaan, kurangnya mekanisme pengawasan, dan stigma sosial terhadap korban menjadi faktor utama yang memungkinkan kekerasan terjadi.
Kekerasan di tempat kerja, misalnya, sering kali terjadi karena lemahnya sistem pelaporan dan perlindungan bagi korban. Banyak perempuan yang menjadi korban memilih diam karena khawatir akan dampak buruk terhadap karier mereka atau karena proses hukum yang tidak ramah terhadap korban. Selain itu, lingkungan kerja yang tidak memiliki kebijakan tegas terhadap kekerasan dan pelecehan juga memperburuk situasi ini.
Pemerintah sebenarnya telah memiliki landasan hukum untuk melindungi perempuan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Berdasarkan Pasal 12 UU TPKS tersebut, pelaku eksploitasi seksual dapat dipidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau pidana denda paling banyak satu miliar rupiah. Pelaku individual dalam posisi atasan dapat diberi tambahan sepertiga pidana.
Tindak pidana juga dapat dijatuhkan kepada perusahaan. Selain itu, Pemerintah juga sudah mewajibkan perusahaan untuk menjamin lingkungan kerja yang aman dari kekerasan seksual seperti yang tercantum dalam Pasal 86 UU Ketenagakerjaan, yakni perusahaan perlu memastikan jaminan hak pekerja bebas dari kekerasan seksual yang merupakan perlakuan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia.
Meski demikian, dalam praktiknya, banyak kasus yang berlarut-larut dan tidak memihak korban. Pada akhirnya, banyak korban kekerasan yang tidak berani melapor karena merasa tidak mendapatkan perlindungan yang cukup. Kekurangan dalam sistem ini memberikan ruang bagi pelaku untuk lolos dari jeratan hukum dan melanjutkan tindakannya.
Kasus-kasus kekerasan yang tidak tertangani ini tidak hanya melukai individu korban tetapi juga menciptakan efek domino bagi lingkungan kerja. Ketidakpercayaan terhadap sistem hukum dan lemahnya perlindungan membuat banyak perempuan enggan bersuara sehingga memperkuat siklus kekerasan yang terus berulang.
Perlu rekonstruksi sistemik
Untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan, terutama di tempat kerja, diperlukan rekonstruksi sistemik yang mencakup penguatan kebijakan, peningkatan kesadaran, dan penegakan hukum yang tegas. Sistem pelaporan dan penanganan kasus kekerasan harus dirancang agar lebih ramah korban, termasuk perlindungan bagi pelapor dari intimidasi atau ancaman.
Pemerintah juga perlu memastikan bahwa setiap institusi kerja memiliki kebijakan yang jelas dan tegas terhadap kekerasan seksual. Ini termasuk membentuk tim independen untuk menangani laporan kekerasan, menyediakan pelatihan kepada karyawan tentang pencegahan kekerasan, serta menciptakan lingkungan kerja yang aman dan inklusif.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat tentang bahaya kekerasan terhadap perempuan perlu ditingkatkan. Kampanye publik yang menghapuskan mitos-mitos tentang korban kekerasan dapat membantu mendorong korban untuk berani melapor.
Baca juga: Polda NTB diminta terapkan UU TPKS dalam kasus Agus Buntung
Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah serius yang tidak dapat diatasi hanya dengan pendekatan parsial. Masalah ini membutuhkan perubahan menyeluruh yang melibatkan seluruh elemen masyarakat: Pemerintah, institusi kerja, organisasi masyarakat sipil, dan individu.
Dengan memperkuat sistem perlindungan, menegakkan hukum dengan tegas, dan membangun kesadaran kolektif, kita dapat menciptakan ruang yang lebih aman bagi perempuan, khususnya di tempat kerja.
Baca juga: Komnas suarakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan
Mengakhiri kekerasan terhadap perempuan bukan hanya soal melindungi hak individu, melainkan juga mencerminkan komitmen kita sebagai bangsa untuk membangun masyarakat yang adil, bermartabat, dan beradab.
*) Suci Ayu Lestari dan Lili Retnosari merupakan Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS)