Bima (ANTARA) - Putusan dengan Nomor 62/PPU-XXII/2024 yang dibacakan Mahkamah Konstitusi  (MK) pada sidang pengucapan putusan tanggal 2 Januari 2025 itu secara sah telah menghapus keberlakuan presidential threshold yang tadinya mewajibkan adanya ambang batas perolehan suara di parlemen minimal 20 persen yang harus dimiliki partai politik untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden pada Pemilu.

Pengaturan presidential threshold 20 persen sendiri diatur dalam UU Nomor 7 tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi UU, Pasal 222.

MK sendiri tidak membatalkan UU Pemilu secara keseluruhan, tetapi membatalkan pasal yang ada di dalamnya tentang pengaturan presidential threshold 20 persen sehingga pasal tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat (not legally binding). 

Bidang hikmah PC IMM Cabang Bima menganggap bahwa dihapusnya presidential threshold 20 persen tersebut tidak boleh dimaknai secara harfiah, karena dalam putusan tersebut MK menganggap bahwa presidential threshold nya yang inkonstitusional dan bukan sekadar nilai prosentasenya, tapi karena MK menilai ini bertentangan dengan prinsip moralitas, rasionalitas serta keadilan intolerable, sehingga dalam perevisian UU Pemilu nanti Legislator tidak boleh melawan atau mengatur lain yang bertentangan dengan putusan MK.

Di Indonesia, terdapat dua lembaga yang berwenang penuh untuk melakukan pengubahan/revisi undang-undang yaitu DPR dan Presiden. Secara teoretis, DPR memiliki wewenang untuk mengubah UU, atau biasa disebut sebagai legislatif preview/political preview, serta Presiden juga memiliki wewenang untuk merevisi UU dengan mengeluarkan Perppu, kewenangan Presiden dalam mengubah UU di sebut sebagai eksekutif preview.

Walaupun mengubah/revisi UU adalah wewenang DPR dan Presiden, tapi putusan MK juga tentunya memiliki kekuatan mengikat (final & binding) serta berlaku umum (erga omnes), yang membuatnya harus menjadi bahan pertimbangan dan pedoman bagi Legislator dalam melakukan revisi terhadap UU, karena di satu sisi putusan ini sifatnya bukanlah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) sehingga tentunya putusan ini tidak serta merta bisa langsung di praktikkan dalam penyelenggaraan Pemilu kedepan. Jadi, putusan MK tersebut harus dianulir menjadi ketentuan yang dimuat dalam UU. 

Bidang Hikmah PC IMM Cabang Bima juga menganggap bahwa revisi UU Pemilu kali ini terbilang sangat urgent, karena kalau dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara yang menggunakan sistem presidensial, Indonesia adalah satu-satunya negara yang di dalamnya menggunakan ketentuan presidential threshold

Tidak hanya di Asia Tenggara, Indonesia juga tergolong berbeda dengan negara-negara lainnya seperti Amerika Serikat, Peru, dan Columbia, yang mana negara-negara tersebut tidak menggunakan sistem presidential threshold. Meskipun demikian, penyelenggaraan pemerintahan daripada negara-negara tersebut tergolong stabil. 

Bahkan beberapa pakar hukum, tokoh, serta guru besar Hukum Tata Negara seperti Jimly Asshiddiqie, Fadli Zon,  Hamdan Zoelva, Bivitri Susanti, hingga Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Haedar Natsir, juga berpendapat kontra terhadap ketentuan presidential threshold 20 persen dalam UU Pemilu tersebut lantaran terbilang cukup tidak demokratis.

Maka dengan ini PC IMM Cabang Bima mendukung penuh pihak terkait untuk sesegera mungkin melakukan revisi UU Pemilu dalam menghapus ketentuan presidential threshold 20 persen sesuai dengan amanat putusan MK Nomor 62/PPU-XXII/2024.

*) Penulis adalah Sekretaris Bidang Hikmah PC Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Bima


Pewarta : Walid Alfian *)
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025