Semarang (ANTARA) - RM Margono Djojohadikusumo sering kali hanya diingat sebagai pendiri Bank Negara Indonesia atau ketua Dewan Pertimbangan Agung yang pertama. Bahkan, belakangan namanya kembali menjadi perbincangan karena Prabowo Subianto, cucunya, kini menjabat sebagai Presiden RI ke-8. Namun, sedikit yang memahami sosok Margono secara lebih mendalam, terutama mengenai pemikirannya dan bagaimana warisan gagasannya dapat berpengaruh terhadap kebijakan Presiden Prabowo Subianto dalam membangun bangsa.
R.M. Margono Djojohadikusumo lahir pada 16 Mei 1894 di Desa Bodas, Karangjati, Purbalingga. Beliau adalah cucu buyut dari Raden Tumenggung Banyakwide (Kertanegara IV), seorang pengikut setia Pangeran Diponegoro, serta putra Raden Tumenggung Mangkuprodjo (Hendrokusumo), seorang Asisten Wedana di Rembang, Purbalingga.
Sebagai anak seorang pejabat kolonial, Margono kecil sering diajak ayahnya berkeliling desa untuk meninjau irigasi, perbaikan jalan, sawah, hingga gudang-gudang kopi bekas tanam paksa. Pengalaman ini membuatnya memiliki pemahaman yang mendalam mengenai kehidupan masyarakat desa, seperti yang pernah ia ungkapkan:
"Sejak saya masih kanak-kanak, saya sudah biasa dengan kehidupan di pedesaan. Kehidupan rakyat desa yang khas menarik, sederhana, ramah tamah, suka menolong, lekas puas dan juga mengenal kesusahan serta kebutuhan mereka. Kehidupan dan kerja saya terus-menerus dibaktikan kepada pembangunan daerah pedesaan, rural and land development seperti lazimnya disebut dewasa ini." (Margono, 1963)
Margono tidak pernah menganggap dirinya sebagai bagian dari kaum priyayi yang eksklusif. Ia bahkan menolak sikap aristokrat yang sering merendahkan kelas sosial di bawahnya, dengan menegaskan:
"Saya berasal dari keluarga aristokrat Jawa yang miskin. Ketika saya menggunakan kata aristokrat, itu bukan karena kesombongan atau untuk memberi diri saya lebih banyak martabat. Justru sebaliknya! Saya tidak terlalu menghormati kaum aristokrat, baik yang lama maupun yang baru, karena mereka sering bersikap merendahkan terhadap apa yang mereka anggap sebagai kelas bawah dalam masyarakat." (Margono, 1963)
Meski RM Margono mengenyam pendidikan barat seperti ELS dan OSVIA, pendidikan moral yang diterima dari kedua orang tuanya berisi nilai-nilai Islam yang kuat. Diwaktu muda ayahnya lebih memilih pendidikan madrasah ala pesantren dibandingkan sekolah Eropa. Prinsip ini menanamkan pemahaman mendalam pada Margono tentang pentingnya berbagi dengan sesama. Ayahnya sering mengajarkan:
"Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang (Allah Kang Rohman Rohim) menciptakan kita di dunia ini sebagai tunas dan manifestasinya. Apa yang dianugerahkan-Nya kepada kita, harus kita berikan pula kepada orang-orang yang jauh lebih miskin daripada kita, dalam keadaan bagaimana jua pun."(Margono, 1963)
Oleh karenanya bagi Margono kehidupan seorang manusia harus mampu berbagi kepada manusia lainnya. Terlebih apabila ia mendapatkan kenikmatan hidup yang lebih baik dibandingkan manusia lainnya. Hal ini lah yang kelak ia turunkan kepada anak cucunya sebagai sebuah prinsip yg apabila diterjemahkan dalam konsepsi barat bernama "Noblesse Oblige". "Noblesse Oblige" sendiri merupakan sebuah ungkapan dari bahasa Prancis. Secara harfiah, ungkapan ini bermakna 'kewajiban bangsawan'.
Kata bangsawan di sini tidak selalu merujuk pada darah biru, tapi juga bisa diartikan sebagai status sosial yang dimiliki oleh orang-orang kaya atau konglomerat di masa modern. Yang dimaksud kewajiban di sini adalah tanggung jawab sosial atas kekayaan yang dimiliki oleh konglomerat. Mereka bukan hanya mendapatkan hak istimewa atas harta yang dimiliki, tapi juga memiliki tanggung jawab untuk berperilaku sesuatu aturan moral dan sosial. Selain itu, mereka yang punya kekayaan berlimpah diharapkan bisa berbuat baik pada orang-orang kurang mampu.
Seorang Margono pun sering menyebut dirinya sebagai "Bangsawan Miskin," yang menjadi cerminan dari simpatinya terhadap nasib rakyat yang pada saat itu terpinggirkan, terutama mereka yang derajatnya berada di bawah kelompok bangsa asing seperti Belanda, Tionghoa, dan Arab. Pandangan ini juga diperkuat oleh cucu-cucunya sendiri, seperti Hashim Djojohadikusumo dan Prabowo Subianto, yang mengungkapkan bahwa Margono adalah sosok yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial.
Hashim Djojohadikusumo mengungkapkan, "My brother and I, we both have aristocratic titles, but that being said, we’re both very conscious of social justice. One of the things I always remember our grandfather saying, you know there’s a term in French, noblesse oblige... with one’s status comes responsibility. And my brother feels that and so do I. You know that’s something we inherited from our grandfather and the family history." (Hashim, 2009)
Prabowo Subianto pun menegaskan hal serupa, "I don’t need a job ... noblesse oblige, the French would call it. It is an obligation for me. I have the capacity. I am financially independent. God has given me a lot of advantages. So I think I have now to work for my people, if they want me to work. If not, I will go back to my horses and my goats." (Prabowo,2009)
Kedua pernyataan tersebut mencerminkan nilai-nilai tradisi keluarga yang mengedepankan pelayanan dan tanggung jawab sebagai bentuk pengabdian yang tulus sesuai dengan status sosial yang diwariskan oleh leluhur mereka.
Dedikasi Margono untuk Ekonomi Kerakyatan
Margono memiliki perhatian khusus terhadap nasib petani desa dan rakyat kecil, terutama karena maraknya eksploitasi oleh lintah darat dan rentenir yang merajalela di pedesaan. Dedikasinya untuk membangun ekonomi desa terlihat dari upayanya mengembangkan koperasi, bank desa, dan lumbung desa melalui AVB (Algemeene Volkskrediet Bank), yang kelak menjadi inspirasi dalam pendirian koperasi di Indonesia.
Sebagai instruktur koperasi Hindia Belanda pada akhir 1940-an, Margono menulis buku "Sepoeloeh Tahoen Penerangan tentang Koperasi oleh Pemerintah 1930-1940", yang mengulas sejarah koperasi di Hindia Belanda, kebijakan pemerintah, serta perkembangan koperasi hingga tahun 1940. Buku ini mencerminkan pemahamannya yang mendalam mengenai konsep dan teori koperasi modern.
Sebagai praktisi dan seseorang yang malang melintang di dunia kredit dan koperasi, Margono tidak hanya membuat kebijakan dari atas, tetapi juga turun langsung ke desa-desa, mengamati keadaan ekonomi petani, dan memberikan penyuluhan teknis. Hal ini menjadikannya sebagai salah satu pelopor gerakan koperasi di Indonesia dan layak disebut sebagai "Bapak Koperasi".
Pemikiran Margono tentang pemberdayaan ekonomi desa relevan dengan potensi besar yang dimiliki oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) saat ini. Dengan pengelolaan yang baik, BUMDes dapat menjadi pilar utama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa melalui usaha berbasis lokal seperti pertanian, perikanan, pariwisata, dan kerajinan tangan.
Namun, salah satu tantangan utama dalam pengembangan ekonomi desa adalah pengelolaan dana desa yang masih sering disalahgunakan atau kurang efektif. Untuk itu, penting adanya transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana desa, sebagaimana prinsip yang diajarkan Margono dalam konsep koperasi: ekonomi harus dikelola dari, oleh, dan untuk masyarakat dengan bantuan dari pemerintah.
Dengan pemanfaatan dana desa yang tepat, desa-desa di Indonesia dapat menjadi lebih mandiri secara ekonomi. Pemberdayaan petani, UMKM, serta program pelatihan keterampilan berbasis komunitas perlu menjadi prioritas agar masyarakat desa memiliki daya saing dan tidak hanya menjadi objek kebijakan, tetapi juga pelaku utama dalam pembangunan ekonomi mereka sendiri.
Warisan Pemikiran Margono dalam Pembangunan Ekonomi
Pandangan RM Margono Djojohadikusumo tentang koperasi dan ekonomi kerakyatan terdokumentasi dalam berbagai tulisan dan laporan yang disusunnya selama bertahun-tahun. Salah satu karyanya yang monumental adalah buku "Sepoeloeh Tahoen Penerangan tentang Koperasi oleh Pemerintah 1930-1940", yang merangkum sejarah dan perkembangan koperasi di Hindia Belanda serta kebijakan pemerintah terkait.
Tak heran, kiprahnya dalam membangun ekonomi berbasis kolektivitas membuatnya dihormati sebagai Bapak Koperasi sebuah gelar yang lahir dari pengakuan akademisi dan ekonom terkemuka. Pengakuan atas peran Margono sebagai Bapak Koperasi tidak datang begitu saja. Salah satu tokoh yang menegaskan hal ini adalah Dawam Rahardjo, seorang ekonom berpengaruh yang juga menjabat sebagai pimpinan LP3ES dan direktur majalah Prisma. Dawam menegaskan hal tersebut dalam pengantar buku Kredit Rakyat di Masa Depresi, karya Soemitro Djojohadikusumo, yang diterbitkan LP3ES pada tahun 1989.
Selain itu, Ir. Teko Sumodiwirjo, seorang pejabat tinggi di bidang koperasi sejak era kolonial Belanda hingga pasca-kemerdekaan, juga memberikan kesaksian serupa. Menurutnya, Margono bukan hanya seorang pejabat yang memahami teori koperasi, tetapi juga seorang praktisi yang terjun langsung ke lapangan, berdialog dengan petani, dan mengembangkan berbagai model koperasi untuk membantu masyarakat desa.
Dalam konteks kepemimpinan Prabowo Subianto, gagasan ekonomi kerakyatan Margono dapat menjadi landasan dalam membangun kebijakan ekonomi yang berbasis pada kemandirian desa. Kebijakan yang pro-rakyat dan berbasis koperasi bisa menjadi solusi dalam menghadapi ketimpangan ekonomi di Indonesia, terutama di sektor pertanian dan UMKM.
Warisan pemikiran Margono tidak hanya relevan dalam konteks sejarah, tetapi juga dalam kebijakan ekonomi masa kini. Model ekonomi berbasis koperasi dan desa yang diperjuangkan Margono dapat menjadi strategi efektif dalam menciptakan kemandirian ekonomi nasional, serta mengurangi ketergantungan pada sistem kapitalisme global yang sering kali tidak berpihak pada rakyat kecil.
Dengan demikian, memahami pemikiran RM Margono Djojohadikusumo bukan hanya sekadar mengenang sejarah, tetapi juga sebagai inspirasi bagi generasi pemimpin saat ini untuk menerapkan ekonomi yang berbasis keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
*) Penulis adalah CEO Sygma Research and Consulting, Mahasiswa Doktoral Universitas Diponegoro