Mataram (ANTARA) - Di tengah lautan keresahan rakyat, ketika ribuan buruh kehilangan pekerjaan, dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) tak kunjung reda, muncul satu pertanyaan besar: kemana perginya janji 9 juta lapangan kerja yang diklaim akan tercipta lewat hilirisasi ala Gibran?
Retorika “hilirisasi” yang digaungkan dengan lantang selama kampanye oleh Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden terpilih 2024, semula terdengar meyakinkan. Hilirisasi dikemas sebagai mantra industrialisasi baru Indonesia.
Ia bukan lagi sekadar menjual bahan mentah, tapi mengolah sumber daya alam menjadi barang jadi, menciptakan nilai tambah, dan konon membuka jutaan lapangan kerja.
Satu tahun pasca pemilu, janji itu mulai terasa seperti ilusi. Di media massa dan sosial, deretan kabar PHK massal dari berbagai sektor menjadi pemandangan rutin, disusul dengan angka pengangguran di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran bertambah sekitar 83 ribu orang. Angka ini menambah tingkat pengangguran 1,11 persen dibanding Februari 2024.
Di sinilah ketimpangan antara retorika kebijakan dan realitas lapangan mulai tampak. Hilirisasi bukan hanya soal membangun pabrik-pabrik pemurnian nikel atau kawasan industri baru.
Hilirisasi seharusnya terintegrasi dengan sistem pendidikan, pelatihan tenaga kerja, insentif industri, infrastruktur, dan perlindungan tenaga kerja. Namun apa yang terjadi?
Alih-alih menciptakan ekosistem kerja yang sehat, pemerintah lebih sering terjebak pada pembangunan fisik dan pemenuhan target angka makro, bukan kualitas hidup masyarakat. Pabrik-pabrik smelter nikel memang dibangun di Sulawesi dan Maluku, namun siapa yang mengoperasikan mesin-mesin itu?
Ironisnya, sebagian besar tenaga kerja teknis dan manajerial diisi oleh tenaga kerja asing, sementara warga lokal hanya mendapat posisi sebagai buruh kasar dengan upah rendah.
Belum lagi praktik hilirisasi yang berfokus pada komoditas tambang seperti nikel dan bauksit kerap mengabaikan aspek keberlanjutan dan lingkungan hidup. Di Morowali, misalnya, polusi dari kawasan industri menjadi keluhan serius masyarakat. Apakah ini bentuk “kemajuan” yang dijanjikan oleh hilirisasi?
Sementara itu, UMKM—yang selama ini menjadi penyangga utama lapangan kerja informal—tidak pernah mendapat tempat dalam wacana hilirisasi Gibran. Padahal justru dari sektor inilah mayoritas rakyat Indonesia menggantungkan hidupnya. Di saat daya beli masyarakat menurun dan harga bahan baku naik, mereka dibiarkan berjuang sendiri. Hilirisasi yang menjanjikan kemakmuran justru terasa asing bagi mereka.
Secara politis, Gibran memang masih dalam bayang-bayang kekuasaan ayahnya, mantan Presiden Joko Widodo. Hilirisasi adalah proyek warisan, dan Gibran hanya menjadi juru kampanye yang lebih muda dan atraktif. Namun politik tidak bisa hanya dijalankan dengan citra dan janji manis. Rakyat butuh pekerjaan nyata, bukan mimpi tentang lapangan kerja yang belum jelas wujudnya.
Yang luput dari narasi Gibran adalah bahwa hilirisasi bukanlah solusi tunggal untuk pengangguran. Ia butuh prasyarat: sistem pendidikan vokasi yang adaptif, insentif fiskal yang tepat, regulasi ketenagakerjaan yang melindungi hak buruh, dan infrastruktur digital yang menjangkau desa. Tanpa itu semua, hilirisasi hanya akan menjadi proyek industrialisasi separuh hati yang lebih menguntungkan pemodal besar ketimbang rakyat kecil.
Tak heran jika kekecewaan mulai terasa. Sebagian masyarakat merasa dibohongi, sebagian lain sudah apatis. Di pasar, di jalanan, di pabrik, dan di ruang-ruang kelas yang sepi lowongan, suara kekecewaan itu pelan tapi nyata.
Orang-orang yang percaya pada janji “9 juta lapangan kerja” kini mulai bertanya-tanya: “Apakah kami hanya dijadikan alat untuk memenangkan suara?”
Waktunya pemimpin berhenti bermain kata. Gibran dan pemerintah baru harus menjawab tantangan ini dengan aksi nyata. Bukan sekadar meresmikan pabrik, melainkan memastikan siapa yang bekerja di dalamnya. Bukan hanya bangga dengan ekspor nikel olahan, melainkan memastikan hasilnya dirasakan rakyat.
Jika tidak, maka hilirisasi ala Gibran akan dikenang sebagai satu lagi proyek ambisius yang gagal menjawab keresahan rakyat. Janji 9 juta lapangan kerja akan menjadi angka kosong dalam buku sejarah politik Indonesia—dan rakyat akan kembali mencari harapan baru di tengah reruntuhan janji yang tak ditepati.
*) Penulis adalah penggiat demokrasi Indonesia.