Mataram (ANTARA) - Resensi buku: Fortress Farming, Jeff Neilson, 306 halaman (plus index), ISBN: 9781501780943, cetakan pertama, Mei 2025, Cornell University Press, AS
Kopi merupakan komoditi internasional. Mata rantai perdagangan kopi sudah dikenal sejak beberapa abad silam. Pada masa kolonial, beberapa pengusaha kopi Belanda datang lalu memonopoli perdagangan kopi. Mereka langsung berkomunikasi dengan petani kopi, mengambil kopi yang telah dipanen, lalu membawa kopi itu ke seantero Eropa dan dijual dengan harga tinggi.
Makelar kopi seperti yang digambarkan novel beken ''Max Havelaar'' karya Multatuli sudah menjadi pemandangan umum pada abad ke-19 di negeri khatulistiwa ini. Ketika era kolonial usai, praktek monopoli perdagangan kopi masih tetap berjalan. Hanya berganti aktor saja. Para pengusaha lokal mulai mengambil peran dalam rantai penyuplai kopi dari tangan petani kopi sampai ke perusahaan pengolah biji kopi atau ke jaringan kedai sohor.
Meski monopoli dan tengkulak yang beredar terus berkeliaran, namun untuk melihat dampak pertanian kopi bagi para petani kopi, ternyata membutuhkan kajian lapangan mendalam. Apalagi jika pertanyaan-pertanyaan yang timbul berkisar pada strategi defensif pertanian kopi ketika negara sejak lama menggaungkan transisi agraria demi memberi kesejahteraan dan kemakmuran pada petani. Studi Neilson ini justru memperlihatkan, bahwa negara-negara yang mengalami industrialisasi lanjut mungkin tidak akan pernah mengalami transisi agraria yang sempurna.
Uraiann dalam buku ini diawali dengan kisah nestapa petani kopi Toraja akibat praktek para tengkulak yang bergentayangan saat musim panen kopi. Mereka mengambil kopi yang telah dikumpulkan petani, lalu kopi dijual ke pengumpul lokal atau langsung dikirim ke pabrik yang telah mendominasi perdagangan kopi lokal. Alur perdagangan seperti ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun.
Ujung dari alur itu adalah pengguna komoditas kopi. Seperti sebuah pabrik yang dimiliki oleh perusahaan kopi Jepang yang telah beroperasi di Toraja sejak tahun 1970-an. Yang lainnya, dikenal secara lokal sebagai KUD (Koperasi Unit Desa), yang memiliki hubungan pasokan yang erat dengan Starbucks dan telah meluncurkan program keberlanjutan korporatnya, yang disebut //CAFE Practices//, di desa-desa ini.
Berbeda dengan beberapa bagian lainnya di Indonesia, rantai pasokan di Toraja relatif pendek karena petani menjual produk berkualitas tinggi hampir langsung ke pasar kopi spesial internasional. Akibatnya, harga dari kebun jauh lebih tinggi di lokasi pemetikan dibandingkan, misalnya, dengan yang ada di Intercontinental Exchange (ICE) di New York. Untuk mengetahui alur rantai pasokan kopi, penulis terjun langsung ke lapangan. Ia cukup lama berada di Tondok Buntu, Toraja.
Tondok Buntu terletak di jantung jalur kopi Toraja Utara. Terdapat sebuah pasar lokal yang terkenal di Sapan. Setiap enam hari sekali digelar penawaran kopi dan disebut banyak orang sebagai pemasok kopi berkualitas terbaik di Sulawesi. Namun, meskipun terhubung langsung ke pasar kopi dunia, dan pengaruh hulu dari perusahaan kopi internasional, kehidupan penduduk desa ternyata tak terpengaruh kekuatan-kekuatan internasional ini.
Sebanyak 32 rumah tangga yang tinggal di Tondok Buntu pada tahun 2018 memiliki akses ke kebun kopi. Dengan ukuran bervariasi dari seratus pohon hingga beberapa ribu pohon (tidak ada rumah tangga yang mengelola lebih dari dua hektar, atau hampir lima acre). Nyaris semua informan riset lapangan awalnya melaporkan bahwa kopi adalah sumber pendapatan terpenting mereka.
Warga desa menjelaskan bagaimana kerabat mereka yang tinggal di pinggiran dataran tinggi secara teratur mengirimkan uang untuk kebutuhan sehari-hari rumah tangga dan untuk berpartisipasi upacara adat. Dan ini memiliki nilai yang jauh lebih besar daripada hasil penjualan kopi. Selain itu, tidak semua lahan kopi sedang dibudidayakan secara aktif.
Penanaman baru antara dua puluh hingga lima puluh pohon ditemukan dekat desa. Gulma dibersihkan dengan tangan atau disemprot dengan herbisida. Sebaliknya, tidak banyak terlihat tanda pemeliharaan tanaman intensif. Pemangkasan jarang terjadi, dan pupuk yang dibeli di toko belum diterapkan selama bertahun-tahun di banyak pertanian.
Secara keseluruhan, kehadiran tenaga kerja dan modal dijaga seminimal mungkin. Sedangkan buah kopi dipanen oleh siapa saja yang bersedia yang berasal dari dalam rumah tangga yang luas itu. Dan mereka yang bekerja terlihat seringkali wanita tua dan anak-anak. Upah jarang dibayarkan untuk pekerjaan terkait kopi di Tondok Buntu.
Bagi banyak rumah tangga petani kopi di Indonesia dalam riset buku ini, pertanian kini menjadi kegiatan ekonomi biasa. Sekadar memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga, tetapi jarang memberi jalan keluar dari kemiskinan melalui proses akumulasi. Meskipun pada saat yang sama, ikatan dengan lahan pertanian tidak terputus sepenuhnya. Fakta inilah yang disebut oleh penulis sebagai konsep ''Benteng Pertanian'' (Fortress Farming).
Konsep itu menunjukkan strategi penghidupan di mana rumah tangga mempertahankan akses ke lahan pertanian sebagai strategi defensif untuk meningkatkan daya tahan penghidupan. Sambil secara aktif memanfaatkan aliran sumber daya dari luar lanskap pedesaan. Strategi semacam itu ditandai dengan mempertahankan akses ke lahan pertanian sebagai jaring pengaman bagi penghidupan. Mendiversifikasi sumber pendapatan dan aliran pendapatan non-pertanian di tingkat rumah tangga.
Pun menjalani praktik pertanian yang meminimalkan investasi modal dan tenaga kerja. Alih-alih memaksimalkan hasil serta mempertahankan keterikatan berbasis tempat terhadap tanah sebagai tempat perlindungan budaya dalam konteks masyarakat yang sedang berubah cepat. Keberadaan strategi mata pencaharian defensif seperti benteng pertanian itu seharusnya tidak mengurangi keberagaman strategi yang dijalankan oleh individu dan rumah tangga yang berbeda berdasarkan kondisi spesifik mereka.
Berdasar observasi serta evaluasi terbaru mengenai perubahan agraria kontemporer di seluruh Indonesia memperlihatkan poin mendasar. Bahwa berbagai skenario perubahan agraria masih sulit untuk digeneralisasi. Penulis buku ini juga telah bertemu dengan orang Indonesia yang berinvestasi dalam hortikultura bernilai tinggi, jeruk, kelapa sawit, dan bahkan kopi dengan niat untuk mengakumulasi kekayaan melalui kegiatan ini, dan beberapa di antaranya bahkan telah berhasil. Pertanian padi berproduktivitas tinggi juga bisa menguntungkan, mengingat kondisi yang tepat dan dukungan infrastruktur yang memadai.
Petani kecil Indonesia memang antusias telah mengadopsi bagaimana cara menghasilkan produk pertanian untuk diekspor selama masa ledakan komoditas. Ekspor ini mengurangi kemiskinan bagi sebagian orang. Akan tetapi, pertanian yang memaksimalkan keuntungan (apalagi dalam situasi di mana tanah dan tenaga kerja sepenuhnya diperdagangkan) bukanlah satu-satunya cara di mana rumah tangga pedesaan bertahan hidup. Itu jauh dari kenyataan, bahkan mungkin bukan yang paling luas yang terjadi di pedesaan-pedesaan di Indonesia saat ini.
Ala kulli hal, dalam skenario benteng pertanian, pertanian sering kali menghasilkan beberapa makanan untuk rumah tangga (dengan produksi beras yang umum dalam studi kasus ini). Sedangkan penanaman komoditas menawarkan aliran pendapatan yang relatif stabil, meskipun tidak selalu sangat menguntungkan guna meningkatkan kebutuhan lainnya. Observasi penulis buku ini memang menghasilkan kajian rinci, tajam dan kritis, sehingga mengungkap kotak pandora situasi pertanian di Indonesia saat ini.*
Dibalik daya tahan pertanian kopi Toraja
Resensi buku: Fortress Farming, Jeff Neilson, 306 halaman (plus index), ISBN: 9781501780943, cetakan pertama, Mei 2025, Cornell University Press, AS (ANTARA/HO-Rosdiansyah)
Resensi buku: Fortress Farming, Jeff Neilson, 306 halaman (plus index), ISBN: 9781501780943, cetakan pertama, Mei 2025, Cornell University Press, AS (ANTARA/HO-Rosdiansyah)