Mataram (ANTARA) - Setiap tahun umat Islam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Perayaan ini bukan sekadar ritual seremonial yang diwarnai gema shalawat dan syair-syair pujian, melainkan momen untuk kembali merenungkan keteladanan beliau dalam menjalani kehidupan. Nabi Muhammad diutus bukan hanya sebagai rasul, tetapi juga sebagai suri teladan dalam bersikap: penuh kelembutan, kesabaran, dan cinta kasih terhadap sesama.

Peringatan Maulid tahun ini terasa memiliki makna yang lebih mendalam di tengah situasi sosial di Nusa Tenggara Barat. Akhir Agustus lalu, aksi demonstrasi berujung anarkis di Mataram telah meninggalkan luka kolektif. Gedung DPRD NTB, simbol demokrasi daerah, porak poranda dibakar massa. Dokumen hilang, aset hancur, bahkan ruang aspirasi rakyat seakan runtuh bersamaan dengan kobaran api. Aspirasi yang seharusnya disampaikan dengan damai berubah menjadi amarah yang merusak.

Peristiwa itu menunjukkan betapa rapuhnya komunikasi politik antara masyarakat dan wakilnya. Ketika dialog tidak menemukan ruang, suara berubah menjadi teriakan, dan teriakan melahirkan kerusuhan. Padahal, Al-Qur’an dengan tegas menuntun: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (QS. Ali Imran [3]:159). Ayat ini menegaskan bahwa kelembutan dan empati adalah kunci dalam merawat kebersamaan.

Spirit yang sama ditegaskan dalam QS. Asy-Syura [42]:38: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” Musyawarah adalah inti dari demokrasi, jalan yang mengedepankan keterbukaan dan penghormatan. Jika nilai ini dijalankan, tidak ada ruang bagi kekerasan untuk mengambil alih.

Momentum Maulid Nabi seharusnya menjadi refleksi bersama masyarakat NTB. Bahwa jalan perubahan bukanlah dengan meluluhlantakkan simbol demokrasi, melainkan dengan memperkuat komunikasi, memperluas ruang dialog, dan mengedepankan akhlak mulia. Nabi telah memberi teladan dalam menghadapi penentangan dan kritik. Beliau tidak membalas cacian dengan amarah, melainkan dengan doa dan sikap penuh kesabaran. Itulah jalan sejati membangun peradaban.

NTB membutuhkan energi sosial yang positif. Konflik hanya akan meninggalkan luka, sementara kelembutan melahirkan persatuan. Para pemimpin daerah harus belajar dari teladan Nabi dengan lebih membuka ruang aspirasi dan meneguhkan keberpihakan pada rakyat kecil. Sementara itu, masyarakat pun perlu menyalurkan kritik secara santun, bukan dengan amarah yang justru merugikan diri sendiri.

Api yang membakar Gedung DPRD NTB harus dipadamkan dengan api semangat baru: semangat memperbaiki komunikasi, semangat memperkuat musyawarah, dan semangat menjaga kedamaian. Momentum Maulid Nabi adalah pengingat bahwa Islam datang membawa rahmat bagi semesta, bukan luka.

Jika nilai itu benar-benar dihidupkan, NTB akan tetap menjadi rumah damai bagi semua warganya, tempat aspirasi tumbuh subur tanpa harus meruntuhkan tatanan sosial. Itulah makna sejati dari merayakan Maulid Nabi: menahan amarah, menyuburkan damai.


Pewarta : Abdul Hakim
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025