Mataram (ANTARA) - Guru Besar Tetap Fakultas Kehutanan dan Lingkungan dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE) IPB University, Prof Dr Ir Ricky Avenzora, M.Sc.F.Trop memberikan kritik kepada pemerintah bahwa Indonesia yang memiliki mega potensi ekowisata di seluruh Nusantara, ternyata tidak masuk dalam program unggulan Kabinet Merah Putih pemerintahaan Presiden Prabowo Subianto.
"Saat ini pariwisata tidak masuk dalam program unggulan Kabinet Merah Putih," katanya dalam keterangan yang diterima, Minggu (21/9/2025) saat Sidang Terbuka Orasi Ilmiah Guru Besar IPB di Auditorium Andi Hakim Nasution (AHN), Kampus IPB Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu. Demikian keterangan pers diterima Antara NTB, Minggu (21/9).
Mengusung tema "Retrospeksi Akademis 35 Tahun Pembangunan Ekowisata di Indonesia", dalam sidang yang dipimpin Rektor IPB University, Prof Dr Arif Satria didampingi pimpinan Dewan Guru Besar IPB, ia memaparkan mega potensi ekowisata di Indonesia itu berupa "bio potentials", "geo-potentials", "cultural potentials" serta "marine & coastal potentials".
"Jumlahnya sangat berlimpah dalam hal jenis, jumlah, kualitas, maupun sebaran lokasi geografisnya, yang umumnya masuk dalam kategori 'golden distance'," katanya.
Ia memaparkan data di mana luas daratan Indonesia mencapai 1.919.440 km², dan dihuni oleh 1.340 etnis yang kaya akan adat serta budaya, serta 718 bahasa yang unik serta "distinc" satu sama lain.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki lebih 17.508 pulau, 99.093 km garis pantai dan 6.400.000 km2 luas lautan. Meskipun negara tropis, tapi ada salju abadi di Puncak Cartenz. Ada Coral Triangle di wilayah Indonesia Timur (Sulawesi, Maluku dan Papua).
Ada puluhan volkano, fenomena "blue fire" di Gunung Ijen, ratusan air terjun yang magis, serta puluhan "Tongkonan" di Toraja dan ratusan Rumah Gadang di Ranah Minang yang berusia lebih dari 200 tahun.
Sejak 1980 hingga kini, Indonesia juga telah memiliki 57 Taman Nasional (TN) dan 12 Geopark. Namun, setelah lebih dari 50 tahun mengapa hingga kini belum ada 1 pun TN/Geopark yang telah diposisikan sebagai "subject/center of development", juga tidak pernah berhasil tumbuh secara signifikan sebagai suatu objek atau destinasi ekowisata yang bisa menjadi role model dalam pembangunan regional.
Karena itu, Ricky Avenzora memberikan pertanyaan kritis mengapa, untuk waktu puluhan tahun capaian wisatawan manca negara (Wisman) Indonesia selalu kalah dengan capaian negara-negara tetangga.
Pertanyaan selanjutnya, yakni dengan kelebihan dan kelimpahan mega potensi dimaksud, kenapa pariwisata justru tak masuk dalam program unggulan Kabinet Merah Putih pemerintahaan Presiden Prabowo Subianto.
"Proses retrospeksi menunjukkan bahwa ada persoalan serius dalam ruang akademis, dalam aspek birokrasi dan kebijakan, serta dalam dinamika sosial," katanya.
Tidak Komprehensif
Disebutkannya bahwa pendidikan kepariwisataan yang selama puluhan tahun hanya berkembang dalam skema vokasional telah menyebabkan kompetensi keilmuan menjadi tidak komprehensif dan juga sangat tidak memadai untuk mengelola mega potensi sumber daya wisata di Indonesia.
Demikian pula dengan aspek pendidikan yang hanya terkonsentrasi pada "travel management" dan "accommodation management" telah cenderung menghasilkan pemikiran masuk dalam kategori "a priory mindset".
Ia menyatakan bahwa meskipun ada segelintir insan pariwisata Indonesia yang melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana, maka komptensinya pun tidak terbentuk secara utuh karena terbatasnya jumlah satuan kredit semester (SKS) yang mereka ambil selama mengikuti studi pascasarjana.
Diungkapkannya juga bahwa lemahnya kompetensi pendidikan juga menjadikan buruknya kinerja kolaboratif dalam birokrasi dan kebijakan.
Contoh terburuk dapat dilihat pada struktur logika perencanaan pada Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) 2011-2025 yang diundangkan melalui PP.50/2011, yaitu 50 Destinasi Pariwisata Nasional (DPN), 88 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dan 222 Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) yang bersifat hierarkikal satu sama lain.
"Bisa dibayangkan waktu dan biaya yang harus dihabiskan guna menyusun 360 Dokumen Perencanaan yang bersifat hierarkikal tersebut?," katanya,
Selain itu, menurut dia, kerapuhan kinerja birokrasi kepariwisataan juga tampak pada berbagai tataran mulai dari pusat hingga daerah.
Ia menyebutkan bahw selama ini, Kementerian Pariwisata dan Dinas Pariwisata ibarat telah menjadi "panglima yang tidak memiliki kejelasan medan perang", yang cenderung hanya menghabiskan anggaran APBN/APBD untuk aspek promosi. Itupun, tidak pernah diukur efektifitasnya.
Padahal, ada kebutuhan pembangunan "the power places" dan "the power of programs" yang hampir tidak pernah disentuh sama sekali. Semua itu diperburuk oleh hadirnya dinamika pergantian kepemimpinan yang selalu membawa implikasi "discontinued policy" dan "discontinued budgeting".
Walhasil, sesuai perjalanan waktu, banyak destinasi wisata di Indonesia yang perlahan tapi pasti malah jadi terperangkap dalam dinamika masalah lingkungan, masalah sosial maupun ketidakadilan dan kesenjangan redistribusi manfaat ekonomi pariwisata.
Naifnya, semua persoalan itu malah banyak yang disebabkan oleh buruknya berbagai kebijakan pemerintah, baik karena kekeliruan orientasi politik maupun karena rendahnya kompetensi akademis yang menjadi latar belakang pengambilan keputusan.
Hal itu dengan mudah dapat dilihat dari berbagai penegakan hukum lingkungan yang beraroma "abuse of political power", maupun dari penerapan "over multiple levy" yang terjadi mulai dari pusat hingga daerah.
Ricky juga memberikan catatan bahwa industri pariwisata secara signifikan juga telah menjadi tempat tumbuh berbagai penyakit sosial yang sangat krusial, mulai dari peredaran NAPZA, kejahatan lintas negara serta kejahatan seksual.
Ia merujuk laporn Badan Narkotika Nasional/BNN (2022) yang melaporkan tentang semakin maraknya kejahatan NAPZA di berbagai destinasi wisata. Sedangkan Warniman et al. (2025) mengindikasi tentang terus meningkatkan penyebaran penyakit menular seksual di destinasi wisata.
"Tourism reengineering" Total Catatan kritis atas kondisi dimaksud, kata dia, maka insan pariwisata Indonesia harus segera melakukan "tourism reengineering" secara total.
Ada 10 usulan yang disampaikannya, yakni: Akademisi kepariwisataan perlu segera bersatu untuk melakukan "academic reengineering" secara total,baik dalam struktur bidang keilmuan, kurikulum dan implementasinya.
Rekreasi dan pariwisata tidak boleh lagi hanya didefinisikan sebagai perjalanan untuk "being free" atau "a freedom of regimen", melainkan harus dimaknai sebagai perjalanan yang berkesadaran Ilahiah untuk mencari dan membangun kehakikian jati diri agar bisa menjadi individu dan masyarakat yang bermanfaat bagi semesta alam, yang disebut sebagai ekowisata.
Perjalanan Ilahiah tersebut setidaknya harus dituangkan dalam 7 misi utama, yaitu guna menemukan kehakikian jati diri, membentuk silaturahmi, mengelaborasi ilmu penge-tahuan, membangun kesejahteraan, menegakkan ketawa-kalan, merasakan kebahagiaan dan mendapatkan ridha Ilahi.
Pemerintah perlu mengubah paradigma pembangunan pariwisata dari skema pembangunan infrastruktur dan fasilitas untuk turis menjadi skema pembangunan semua sendi kehidupan bagi masyarakat lokal.
Baca juga: Tim Kementrans dari IPB dan Unpad ekspedisi di wilayah NTB
Insan kepariwisataan perlu mengubah paradigma "hospitality for tourist" menjadi "reciprocal hospitality for all" atau bisa disebut Ilahiah Hospitality (silaturahmi). Peranan sektor swasta perlu ditingkatkan dan diarahkan untuk bisa menjadi inkubator bisnis bagi terbentuknya bisnis komunal (communal business) kepariwisataan di tengah masyarakat lokal.
Sektor swasta perlu diberi kepastian ekosistem berusaha sesuai dengan sifat bisnis "slow-yieldinG", serta diberi keadilan beban finansial usaha; baik dalam hal pajak maupun retribusi yang harus ditanggung pengusaha, maupun berbagai retribusi yang harus ditanggung pengunjung.
Himpunan Lembaga Pendidikan Tinggi Pariwisata Indonesia (Hilkdiktipari) perlu mengembangkan dan memperkokoh kompetensi serta eksistensi sarjana kepariwisatan; tidak cukup lagi hanya menjadi pemasok "blue collar hotelier".
Secara nasional, "Tourism Development Flagship" tidak saja perlu diperkokoh dari sekedar jargon "Wonderful Indonesia", melainkan harus dipertajam dan diefektifkan elalui penguatan nomenklatur ekowisata sebagai nomenklatur tunggal, misalnya "The Ilahiah Ecotourism of Indonesia".
Baca juga: IPB telah kembangkan produk-produk dari kelapa sawit
Untuk semua itu, eksistensi dan tupoksi Kementerian Pariwisata perlu lebih ditata dan diperkokoh dalam segala aspek dan bidang, baik SDM, struktur organisasi, maupun alokasi anggaran. Atas kemajuan Internet of Things (IoT) atau "Internet Untuk Segala", maka paradigma "the power of promotion" harus diubah menjadi gerakan "the power of places" dan "the power of programs".
Selain Ricky Avenzora, orasi juga disampaikan tiga guru besar lainnya, yakni Prof Dr Ir Abdjad Asih Nawangsih, M.Si, Guru Besar Tetap Fakultas Pertanian dari Departemen Proteksi Tanaman (PTN) yang memaparkan ringkasan singkat bertema "Peran dan Pemanfaatan Bakteri Aktinomiset untuk Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman dalam Mendukung Pertanian Berkelanjutan".
Lalu, Prof Dr Ir I Wayan Budiastra, M.Agr, Guru Besar Tetap Fakultas Teknologi Pertanian dari Departemen Teknik Mesin dan Biosistem (TMB) dengan tema "Pengembangan Teknik Evaluasi Mutu Secara Non-Destruktif dan Pengolahan Hasil untuk Peningkatan Produktivitas dan Mutu Hasil Pertanian".
Kemudian, Prof Dr Ir Lilik Noor Yuliati, M.F.S.A, Guru Besar Tetap Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK) yang mengusung tema "Peran Nudging dan Media Sosial dalam Pembentukan Perilaku Konsumsi Berkelanjutan pada Generasi Z".