Mataram (ANTARA) - Setiap hari, Kota Mataram menghasilkan sekitar 240 ton sampah. Angka itu terlihat kecil dibanding Jakarta yang mencapai 7.000 ton atau Surabaya 1.500 ton. Namun, bagi kota dengan keterbatasan lahan pembuangan dan kapasitas pengolahan, volume itu sudah menjadi persoalan serius. 

Sistem klasik kumpul–angkut–buang yang masih diandalkan membuat TPA Kebon Kongok kerap penuh. Akibatnya, tumpukan sampah di TPS Sandubaya pernah menggunung hingga ribuan ton, memunculkan bau busuk dan protes warga.

Di tengah krisis tersebut, insinerator muncul sebagai harapan baru. Teknologi ini disebut mampu memangkas volume sampah secara drastis, menyisakan hanya 2–3 persen residu. Bahkan menghasilkan energi listrik. 

Jepang dan Singapura telah lama mengandalkannya. Beberapa kota di Indonesia, seperti Surabaya dan Bekasi, juga mulai mencoba, meski tak lepas dari kendala biaya dan kontroversi lingkungan.

Mataram sendiri baru memulai uji coba insinerator hibah dari Korea Selatan pada 2025. Hasilnya tampak mengesankan: dari 3–5 ton sampah yang dibakar, hanya tersisa 9–10 kilogram abu. Residu itu bahkan sedang diuji untuk diolah menjadi batako. 

Pemerintah kota menargetkan tiga unit insinerator berkapasitas 10 ton per hari beroperasi penuh di TPST Sandubaya. Ditambah kapasitas TPST modern yang mampu menangani 50 ton per hari, pembuangan ke TPA diharapkan bisa ditekan signifikan.

Namun, optimisme itu tidak datang tanpa tanda tanya besar. Insinerator membutuhkan daya listrik sangat besar, hingga 33.000 watt untuk satu unit. Pemerintah harus menambah daya lewat PLN dengan biaya operasional tambahan sekitar Rp30 juta. 

Selain itu, dibutuhkan minimal enam operator untuk tiga unit, sementara jumlah tenaga kebersihan di lapangan justru semakin menipis. Tanpa kesiapan teknis dan SDM, insinerator rawan hanya menjadi mesin mahal yang tidak berfungsi optimal.

Kritik lain juga muncul dari sisi lingkungan. Insinerator tidak bisa menelan semua jenis sampah. Limbah medis, logam berat, atau bahan beracun tetap berbahaya jika langsung dibakar. 

Pemilahan dari hulu menjadi mutlak, dan ini masih lemah di tingkat rumah tangga. Uji emisi juga wajib dilakukan secara rutin untuk memastikan gas buang sesuai baku mutu. Tanpa pemantauan ketat, risiko polusi udara justru bisa menjadi ancaman baru.

Biaya pengadaan menjadi persoalan berikutnya. Satu unit insinerator bisa mencapai Rp3,5 miliar. Jika rencana setiap kecamatan memiliki insinerator diwujudkan, beban APBD tentu sangat berat. Tanpa dukungan dana pusat atau kerja sama swasta, ambisi ini hanya akan menambah daftar proyek berbiaya tinggi tanpa keberlanjutan.

Karena itu, insinerator sebaiknya diposisikan hanya sebagai salah satu instrumen. Konsep ekonomi sirkular harus tetap menjadi arah utama. Sampah organik diolah menjadi pupuk atau pakan maggot, plastik diproses menjadi batako, dan residu akhir baru dibakar di insinerator. Dengan kombinasi ini, TPA tidak lagi menjadi gunungan sampah, melainkan tempat residu minimal yang aman.

Teknologi hanyalah alat. Masa depan pengelolaan sampah tetap bergantung pada keberanian kebijakan dan kesadaran warga dalam memilah sejak dari rumah. Insinerator memang memberi secercah harapan, tetapi jika diperlakukan sebagai “mesin ajaib”, ia hanya akan menunda masalah. Transformasi menuju kota bersih hanya mungkin terwujud bila teknologi, regulasi, dan partisipasi publik berjalan seiring.

Baca juga: Tajuk - Kamar kosong di tengah euforia MotoGP: NTB bersiap atau tertinggal?
Baca juga: Tajuk -Luka senyap di balik seragam: Kisah pilu Brigadir Esco
Baca juga: Tajuk - Ketika langit diam: Ujian kekeringan di Lape, Sumbawa
Baca juga: Tajuk - Bagaimana NTB menjaga euforia MotoGP dari risiko sepi penonton?"
Baca juga: Tajuk - Integritas pejabat NTB diuji: Dari mikrofon terbang hingga mantan terpidana di kursi strategis


Pewarta : Abdul Hakim
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025