Mataram (ANTARA) - Kabut tipis bergelayut di lereng Sembalun saat pagi baru merekah. Dari kejauhan, barisan pendaki tampak menapaki jalur setapak menuju Pelawangan, tempat di mana langit dan danau seolah bertemu dalam bingkai keindahan abadi.
Di balik panorama yang mempesona itu, Gunung Rinjani menyimpan kisah lain yang bercerita tentang manusia yang ingin menaklukkan alam dan tentang alam yang menuntut untuk dihormati.
Kini, pendakian menuju Gunung Rinjani bukan hanya soal keberanian dan stamina, tetapi juga soal kesiapan menghadapi perubahan kebijakan.
Mulai 3 November 2025, tarif tiket masuk ke kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) resmi naik.
Kenaikan ini menandai babak baru dalam tata kelola wisata alam NTB yang diharapkan lebih profesional, aman, dan berkelanjutan.
Kebijakan baru itu lahir dari Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 17 Tahun 2025 yang mengatur kelas tiket wisata alam di Indonesia.
Di Rinjani, pendaki lokal kini harus merogoh kocek antara Rp20.000 hingga Rp75.000 per hari, tergantung kelas jalur dan hari kunjungan. Sementara wisatawan mancanegara membayar antara Rp150.000 hingga Rp250.000 per hari.
Kenaikan tarif tentu menuai beragam reaksi. Sebagian pendaki menganggapnya memberatkan, sebagian lain melihatnya sebagai wajar selama diikuti peningkatan layanan dan keselamatan.
Di titik ini, esensi kebijakan menjadi jelas, yakni bahwa tarif hanyalah angka jika tidak berbanding lurus dengan kualitas tata kelola.
Gunung Rinjani bukan sekadar objek wisata, melainkan kawasan konservasi dengan ekosistem kompleks.
Setiap pijakan pendaki menyentuh ruang yang rentan, di mana kelalaian kecil bisa berdampak besar bagi keselamatan manusia maupun kelestarian alam.
Karena itu, tarif yang naik seharusnya menjadi kompensasi atas perbaikan sistem mulai dari jalur pendakian, kesiapan pemandu, hingga standar keamanan.
Sejak kasus jatuhnya pendaki asal Brasil dan beberapa turis asing pada pertengahan 2025, pemerintah bergerak cepat memperbaiki tata kelola.
Jalur-jalur curam seperti Pelawangan, Sembalun dan Torean dibenahi, trap bebatuan dipapas agar menyerupai tangga alami, tali tambang dan besi pengaman dipasang di titik berisiko tinggi.
Bagi yang pernah mendaki Rinjani, perubahan ini bukan sekadar kosmetik. Ia adalah bentuk tanggung jawab negara terhadap keselamatan warganya.
Keselamatan
Kenaikan tarif pendakian semestinya menjadi momentum memperkuat sistem keselamatan. Bukan rahasia, Rinjani menyimpan risiko besar, yakni medan ekstrem, cuaca tak menentu, dan jumlah pendaki yang terus meningkat.
Data Balai TNGR mencatat lebih dari 36.500 pendaki menapaki Rinjani hingga pertengahan 2025, lebih dari separuhnya wisatawan mancanegara.
Tingginya minat wisatawan adalah potensi ekonomi, tetapi juga tantangan besar. Setiap tahun, selalu ada laporan pendaki terluka, tersesat, atau bahkan kehilangan nyawa.
Situasi ini menjadi alarm bagi tata kelola keselamatan yang sempat longgar. Maka, lahirlah SOP Pendakian Rinjani 2025, sebuah panduan teknis baru yang menekankan disiplin, kesehatan, dan rasio pendamping.
Dalam SOP itu, setiap pendaki diwajibkan memiliki surat sehat terbaru, mengikuti safety briefing, dan bagi pemula, harus didampingi pemandu berpengalaman.
Rasio satu pemandu untuk lima pendaki serta kewajiban porter membawa perlengkapan standar adalah aturan yang tak bisa ditawar. Pendaki di bawah usia 17 tahun pun harus mendapat izin orang tua dan pendampingan khusus.
Di sisi lain, sertifikasi bagi 371 pemandu dan porter lokal terus dikejar. Mereka bukan sekadar pengantar tamu menuju puncak, tetapi garda terdepan penyelamatan.
Dalam banyak kasus, justru para porterlah yang pertama turun tangan ketika terjadi insiden di lapangan, bahkan sebelum tim SAR tiba. Karena itu, pelatihan keselamatan vertikal yang digelar pemerintah bersama Basarnas menjadi investasi manusia yang tak kalah penting dari investasi fisik.
Dengan sistem baru ini, Gunung Rinjani diharapkan bukan lagi hanya indah dipandang, tapi juga aman dijelajahi.
Pendakian yang dikelola dengan standar keselamatan tinggi akan menumbuhkan kepercayaan publik dan memperkuat posisi NTB sebagai destinasi wisata petualangan berkelas dunia.
Bijak
Namun, kenaikan tarif tak boleh berhenti pada sisi komersial atau administratif. Ia harus menjadi bagian dari paradigma baru dalam pariwisata berbasis konservasi dan edukasi. Rinjani bukan taman bermain, melainkan ruang belajar tentang keseimbangan antara manusia dan alam.
Pemerintah daerah bersama Balai TNGR dan komunitas lokal kini berupaya menghadirkan sistem pendakian yang transparan dan adaptif. Melalui aplikasi eRinjani, seluruh proses reservasi, kuota, dan pembayaran dilakukan secara daring. Sistem ini tak hanya menekan praktik pendakian ilegal, tetapi juga memastikan daya dukung gunung tidak terlampaui.
Langkah serupa diterapkan di wisata non-pendakian, seperti air terjun Jeruk Manis dan Otak Kokok Joben, yang mulai menggunakan sistem tiket digital. Digitalisasi ini bagian dari tata kelola cerdas yang mendukung transparansi pendapatan, pemantauan kunjungan, hingga mitigasi risiko.
Selain itu, pemetaan jalur baru seperti Aik Berik di Lombok Tengah membuka peluang pemerataan ekonomi. Jalur ini tak hanya memperluas akses wisata, tapi juga melibatkan masyarakat lokal sebagai pemandu, porter, dan penyedia jasa logistik.
Dengan demikian, kenaikan tarif bisa berdampak langsung pada kesejahteraan warga sekitar, bukan hanya pada kas negara.
Kebijakan lain yang tak kalah penting adalah penerapan regulasi lokal di Sembalun, yang mewajibkan setiap pendaki beristirahat dan menjalani pemeriksaan kesehatan sebelum naik.
Aturan ini tampak sederhana, tapi signifikan dalam mencegah kecelakaan akibat kelelahan ekstrem, terutama bagi wisatawan asing yang baru tiba dan langsung mendaki tanpa penyesuaian fisik terhadap ketinggian.
Pendekatan yang memadukan regulasi pusat dan kearifan lokal inilah yang menjadi kunci keberlanjutan Rinjani. Gunung ini bukan hanya milik pemerintah, tapi juga milik masyarakat yang hidup di sekitarnya.
Dalam tradisi warga Sasak, Rinjani adalah ruang sakral, tempat manusia menghormati alam dan leluhur. Nilai-nilai seperti inilah yang seharusnya menjadi jiwa dari setiap kebijakan pendakian.
Mendidik
Dalam konteks yang lebih luas, tarif baru seharusnya dimaknai sebagai kontribusi untuk konservasi dan pendidikan publik.
Setiap rupiah yang dibayar pendaki sebaiknya kembali ke gunung, yakni untuk perawatan jalur, pengelolaan sampah, pelatihan porter, serta riset ekologi dan mitigasi bencana.
Gunung Rinjani adalah laboratorium alam yang kaya pelajaran. Di sini, orang bisa belajar tentang ekosistem tropis, tentang kerendahan hati di hadapan alam, dan tentang tanggung jawab menjaga warisan bumi.
Jika tata kelolanya tepat, pendakian bisa menjadi pengalaman transformasi, bukan sekadar aktivitas rekreasi.
Ke depan, evaluasi terhadap implementasi tarif baru harus dilakukan secara berkala. Transparansi penggunaan dana perlu ditingkatkan agar publik melihat hasil nyata dari biaya yang dibayarkan.
Pemerintah juga perlu membuka ruang partisipasi bagi komunitas pendaki, lembaga konservasi, dan masyarakat sekitar dalam merumuskan kebijakan lanjutan.
Karena sejatinya, menjaga Rinjani bukan tugas satu lembaga, melainkan tanggung jawab bersama. Di ketinggian 3.726 meter itu, setiap pendaki berdiri di atas sejarah, budaya, dan keindahan yang diwariskan lintas generasi.
Maka, tak berlebihan jika kenaikan tarif kali ini diiringi tekad baru untuk menjaga Rinjani sebagai gunung yang tidak hanya indah, tapi juga aman dan beradab.
Rinjani adalah cermin. Dari puncaknya, manusia belajar bahwa kebesaran alam seharusnya membuat kita semakin rendah hati. Kenaikan tarif hanyalah bagian kecil dari upaya besar menjaga gunung tetap lestari dan manusia tetap selamat.
Karena pada akhirnya, mendaki Rinjani bukan sekadar menaklukkan puncak, tetapi menaklukkan diri sendiri agar lebih sadar, lebih bijak, dan lebih peduli.
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Kenaikan tarif dan ujian tata kelola Rinjani