Mataram (ANTARA) - Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Nusa Tenggara Barat (NTB) kembali menjadi sorotan. 

Dalam beberapa bulan terakhir, aparat penegak hukum mencatat peningkatan signifikan, dengan pelaku berasal dari berbagai latar mulai ayah kandung, guru ngaji, tetangga, bahkan aparatur sipil negara (ASN). 

Fakta ini mengguncang kesadaran publik tentang betapa rapuhnya ruang aman bagi anak di daerah yang dikenal religius dan berbudaya kuat.

Di balik angka-angka kasus yang diberitakan, tersembunyi trauma mendalam dan masa depan anak-anak yang hancur sebelum sempat berkembang. 

Kekerasan seksual terhadap anak bukan sekadar tindak pidana, melainkan pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan dan moral sosial. 

Ketika anak kehilangan rasa aman di rumah dan sekolah, maka yang terancam bukan hanya generasi muda, tetapi juga masa depan peradaban masyarakat itu sendiri.

Langkah tegas aparat hukum di NTB patut diapresiasi. Beberapa pelaku telah dijatuhi hukuman berat, hingga 14 tahun penjara, lengkap dengan denda dan restitusi bagi korban. 

Penerapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Undang-Undang Perlindungan Anak menegaskan kehadiran negara di sisi mereka yang paling lemah. 

Kejaksaan di Lombok Tengah bahkan menolak perdamaian antara pelaku dan korban karena kejahatan ini tidak boleh diselesaikan di luar pengadilan.

Namun, penegakan hukum saja tidak cukup. Korban sering kali berasal dari keluarga miskin yang tidak memahami hak-hak hukumnya. 

Tekanan sosial membuat mereka bungkam, terlebih ketika pelaku adalah orang dekat atau berpengaruh. 

Karena itu, dibutuhkan kolaborasi lintas sektor mulai pemerintah daerah, lembaga perlindungan anak, sekolah, tokoh agama, dan masyarakat untuk memastikan korban memperoleh keadilan dan pemulihan menyeluruh.

Perlindungan anak tidak boleh berhenti pada proses hukum. Akar persoalan terletak pada lemahnya sistem sosial dan pendidikan karakter. 

Anak-anak tumbuh di lingkungan yang belum sepenuhnya memahami batas tubuh dan interaksi pribadi. Pendidikan seksualitas yang sesuai usia masih dianggap tabu, sementara pengawasan keluarga longgar. 

Di sinilah pentingnya membangun sistem deteksi dini di sekolah, puskesmas, dan komunitas lokal agar kasus bisa dicegah sejak dini.

Teknologi dapat menjadi alat bantu penting. Layanan pelaporan digital yang mudah, cepat, dan rahasia bisa memutus rantai diam di kalangan korban. 

Di sisi lain, ulama dan tokoh adat memiliki peran strategis dalam mengubah paradigma sosial bahwa kekerasan seksual bukan aib keluarga yang harus disembunyikan, melainkan kejahatan yang wajib dilawan bersama.

Kasus rudapaksa terhadap anak di Lombok adalah cermin kegagalan kolektif dalam melindungi generasi penerus. Ia mengingatkan bahwa keadilan tidak cukup ditegakkan di ruang sidang, tetapi juga harus hidup dalam kesadaran sosial. 

Ketika anak-anak dapat tumbuh tanpa takut dan masyarakat berani menolak budaya diam, barulah kita bisa menyebut bahwa hukum benar-benar berpihak pada kemanusiaan.

Sebab dalam setiap wajah kecil yang terluka, tersimpan harapan tentang masa depan yang lebih beradab. Dan tugas kita adalah memastikan harapan itu tidak mati di tangan mereka yang kehilangan nurani.

Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Debu dan jejak integritas di lintasan motocross
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Samota di tikungan integritas
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menyelamatkan gili dari sengketa
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Superhub Bali-NTB-NTT, Dari wacana ke aksi
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Ketika Mandalika melahirkan juara
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Kenaikan tarif dan ujian tata kelola Rinjani
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Museum NTB, Menenun masa lalu dan masa depan


Pewarta : Abdul Hakim
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025