Mataram (ANTARA) - Musim hujan kembali menguji kesiapan daerah dalam menghadapi bencana. Genangan yang melanda sejumlah wilayah di Bima dan Dompu pada awal November 2025 menjadi pengingat betapa persoalan banjir masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah daerah di Nusa Tenggara Barat dan Indonesia pada umumnya.
Fenomena ini menegaskan bahwa banjir bukan semata urusan cuaca ekstrem, melainkan cerminan lemahnya tata kelola lingkungan dan infrastruktur air yang belum tertata baik.
Setiap tahun, narasi yang sama berulang, yakni curah hujan tinggi, drainase tersumbat, sungai menyempit, dan alih fungsi lahan tanpa kendali.
Di wilayah yang topografinya didominasi perbukitan dan memiliki banyak daerah aliran sungai seperti Bima dan Dompu, waktu tanggap terhadap potensi banjir sangat singkat.
Begitu hujan turun deras di hulu tanpa sistem pengendali air yang memadai, limpasan air segera menghantam permukiman warga di hilir.
Pemerintah daerah memang bergerak cepat dalam fase tanggap darurat. Petugas BPBD bersama TNI, Polri, dan masyarakat turun langsung melakukan asesmen, membersihkan lumpur, serta memulihkan jalur transportasi yang terputus.
Respons ini patut diapresiasi, namun ketangkasan di lapangan tak serta merta menandakan kesiapan dalam mitigasi jangka panjang. Dalam banyak kasus, strategi pencegahan justru tertinggal jauh di belakang penanganan darurat.
Mitigasi mestinya menjadi tulang punggung kebijakan kebencanaan daerah. Pemerintah perlu memperkuat fungsi hidrologi kawasan dengan penghijauan di hulu, memperlebar saluran drainase, serta memastikan daerah aliran sungai berfungsi sebagaimana mestinya.
Penegakan aturan tata ruang juga mendesak dilakukan agar pembangunan di tepi sungai dan daerah rawan banjir tidak lagi dibiarkan. Setiap izin yang dikeluarkan pemerintah daerah semestinya memperhitungkan daya dukung lingkungan, bukan semata dorongan investasi.
Kesiapsiagaan masyarakat pun harus dibangun secara sistematis. Pelatihan evakuasi, simulasi bencana, dan pendidikan kebencanaan di sekolah dapat menumbuhkan kesadaran kolektif sejak dini.
Program “siaga banjir” di tingkat desa atau kelurahan bisa menjadi garda terdepan ketika curah hujan tinggi datang tiba-tiba. Pemerintah daerah tidak dapat bekerja sendiri; masyarakat dan dunia usaha perlu menjadi bagian dari sistem mitigasi.
Dari sisi kebijakan fiskal, paradigma penanganan bencana juga perlu bergeser. Selama ini, anggaran lebih banyak terserap untuk tanggap darurat ketimbang pencegahan.
Padahal, setiap rupiah yang dialokasikan untuk mitigasi bisa menghemat berkali lipat biaya pemulihan pascabencana. Rencana pembangunan daerah (RPJMD) dan APBD harus memuat prioritas yang jelas tentang pengendalian banjir, bukan sekadar penanganan setelah genangan terjadi.
Banjir di Bima dan Dompu seharusnya menjadi momentum refleksi bersama bahwa bencana bukan takdir yang tak bisa dihindari.
Dengan tata ruang yang tertib, pengelolaan air yang baik, serta sinergi lintas sektor, risiko banjir bisa ditekan secara signifikan.
Pemerintah daerah memiliki posisi strategis untuk menggerakkan semua elemen: dari kebijakan di atas meja hingga gotong royong di lapangan.
Tantangannya kini bukan sekadar mengevakuasi warga ketika air sudah datang, tetapi memastikan air itu memiliki jalur yang aman sebelum menggenangi rumah-rumah.
Ketika pemerintah dan masyarakat mampu membangun sistem yang berpihak pada keselamatan dan keberlanjutan lingkungan, maka setiap tetes hujan tidak lagi menjadi ancaman, melainkan berkah bagi kehidupan.
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - NTB dan ujian kemandirian fiskal di tahun sulit 2026
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Pahlawan dari Tanah Samparaja
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Tangis anak di Bumi Seribu Masjid
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Debu dan jejak integritas di lintasan motocross
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Samota di tikungan integritas
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menyelamatkan gili dari sengketa
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Superhub Bali-NTB-NTT, Dari wacana ke aksi