Mataram (ANTARA) - Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (NTB) memaparkan hasil kajian budaya tentang alat musik Gula Gending yang dipakai untuk menjajakan dagangan arum manis khas Pulau Lombok.
"Gula Gending mengandung pendidikan moral, etika, serta keagamaan," kata Pamong Budaya Madya Museum NTB Bunyamin dalam seminar hasil kajian koleksi museum tentang alat musik Gula Gending di Aula Samalas Museum NTB, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu.
Pada 2024, Gula Gending mendapatkan pengakuan status Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) nasional dan menjadi identitas bagi masyarakat yang mendiami Pulau Lombok.
Bunyamin menuturkan arum manis yang berbentuk seperti gula rambut ada di Indonesia, terkhusus Lamongan dan Malang. Sedangkan, rombong yang disebut alat musik Gula Gending berasal dari Desa Kembang Kerang atau Kembang Dava di Kecamatan Aikmel, Lombok Timur, NTB.
Baca juga: Museum NTB menggelar lokakarya merawat keris bersama tiga museum Australia
Berdasarkan catatan sejarah, permen kapas atau manisan serat gula sudah ada sejak abad ke-15 di Italia. Jajan manis itu dibuat secara modern di Amerika sejak tahun 1879 oleh William James Morrison dan John C. Wharton.
Menurut Bunyamin, Gula Gending adalah warisan budaya yang sarat dengan peran sosial dan budaya hingga pendidikan. Nilai-nilai budaya dalam Gula Gending, seperti kesabaran, kebersamaan atau gotong royong, dan nilai pendidikan menunjukkan bahwa itulah identitas masyarakat suku Sasak.
Dari aspek nilai filosofi, Gula Gending mengajarkan proses kreativitas dan inovasi karena lembaran besi tahan karat diubah menjadi alat sederhana berupa tempat menyimpan arum manis sekaligus sebagai instrumen alat musik.
Pedagang mempraktikan ritme ketukan musik Gula Gending di Aula Samalas Museum NTB, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu (3/12/2025). ANTARA/Sugiharto Purnama
Musik Gula Gending tetap dipertahankan sebagai seni jalanan tradisional yang eksis sampai saat ini. Gula Gending telah diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat Lombok sejak tahun 1980-an.
Baca juga: Museum desa jadi motor ekonomi kreatif di NTB
Museum NTB mengungkapkan Gula Gending saat ini menghadapi tantangan besar lantaran generasi muda tidak tertarik untuk menekuni profesi sebagai penjual Gula Gending.
Kegiatan pelestarian harus dilakukan secara masif baik oleh masyarakat pendukung budaya, pemerintah, maupun lembaga-lembaga yang peduli terhadap warisan budaya Gula Gending.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram Jamaluddin menyampaikan mayoritas penjual Gula Gending adalah manusia yang taat beribadah. Hal itulah yang membuat kenapa penjual Gula Gending berani berdagang ke daerah lain, seperti Sulawesi, Jawa, bahkan Nusa Tenggara Timur.
"Penjual Gula Gending taat beribadah. Jumat mereka tidak berjualan. Saat azan, mereka selalu istirahat dan shalat di masjid. Mereka juga taat kepada tokoh agama," kata Jamaluddin.
Lebih lanjut ia menyampaikan pelestarian Gula Gending tidak cukup hanya menjaga tradisi, tetapi harus dihidupkan kembali melalui ekonomi berkelanjutan, seni budaya, kuliner tradisional, dan inovasi kreatif.
"Dengan begitu, Gula Gending menjadi warisan hidup yang memberi manfaat nyata bagi masyarakat Lombok Timur sekaligus mempertahankan identitas budaya Sasak," pungkas Jamaluddin.
Baca juga: Museum NTB raih penghargaan Museum Inspiratif 2025 dalam ajang IMA
Baca juga: Museum NTB dan AGSA jalin kerja sama kebudayaan