Mataram (ANTARA) - Pagi menjelang siang saya tiba di depan wisma Taman Budaya NTB dengan dugaan sederhana, sebuah lokakarya dramaturgi biasanya tak lebih dari kegiatan teknis yang berisi teori dan latihan. Namun, selama tiga hari penuh, dari tanggal 10 hingga 12 Desember 2025 itu berubah menjadi laboratorium pencarian bentuk.
Para peserta Lokakarya Dramaturgi Pengembangan Teater, bagian dari Program Sayap Festival Teater Indonesia (FTI) 2025 itu diajak oleh Joned Suryatmoko untuk membongkar ulang cara mereka memahami panggung.
Di tempat inilah pertanyaan tentang bagaimana teater NTB bergerak ke masa depan, di tengah rumusan Perda Pemajuan Kebudayaan dan rencana pembentukan OPD Kebudayaan itu mendapat gema yang lebih personal.
Lokakarya ini diikuti oleh para pegiat teater dari Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, dan Kota Mataram. Mereka semua datang membawa harapana serta ekspektasi untuk memperdalam pengetahuan dramaturgi.
Akan tetapi, satu hal yang sebenarnya terjadi adalah pembongkaran cara pandang yang boleh dibilang memiliki kebaruan terhadap proses penggarapan pertunjukan teater.
Di sinilah segala kemungkinan itu bertemu dalam bentuk yang paling konkret. Tubuh aktor, ruang yang berubah fungsi, dan teks yang membuka banyak tafsir dan pertanyaan.
Tubuh yang Meraba Batas
Hari pertama membuka lanskap baru. Joned adalah seorang sutradara teater ini menegaskan bahwa suatu konvensi bukanlah perangkat baku, melainkan sebuah titik pada spektrum yang bisa dipilih atau ditinggalkan.
Pernyataan itu terdengar sederhana, tetapi saya dapat melihat wajah para peserta yang jumlahnya 19 orang itu seolah harus membongkar lemari lama berisi kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dianggap hukum tak tertulis di dalam penggarapan teater.
Latihan eksplorasi tubuh membuat para peserta melepaskan ketergantungan pada pola-pola realisme. Ada kegugupan, tentu saja, seperti rasa takutnya Wahyu Nusantara Aji bahwa penonton akan bingung jika suatu bentuk eksplorasi terlalu “menyimpang” dari titik pijak yang berbeda.
Namun justru dari momen goyah itulah intensitas baru muncul. Joned memperkenalkan gagasan “jurus bandul” adalah pergerakan dramatis yang memanfaatkan ketidakterdugaan.
Di sudut ruangan, saya merasa sedang menyaksikan sebuah proses lokakarya yang jarang terjadi, baik di dalam proses latihan dan penggarapan teater yang selama ini saya sempat lihat bahwa peserta menghadapi dirinya sendiri sebelum menghadapi panggung.
Pengalaman itu memantulkan satu pertanyaan reflektif tentang bagaimana mungkin teater di NTB dapat leluasa bergerak maju jika tubuh para pelakunya masih terikat oleh satu gaya yang sama selama bertahun-tahun?
Lokakarya ini menunjukkan bahwa perubahan tidak dimulai dari peralatan panggung, tetapi dari kesediaan tubuh, pikiran yang sadar untuk mempertanyakan serta membuka kemungkinan-kemungkinan lain.
Ruang yang Melawan
Hari kedua bergerak ke pembahasan ruang. Topik ini, yang tampak akademis, justru menjadi titik yang paling memancing diskusi.
Pertanyaan Sahril Azis tentang fokus penonton memicu penjelasan penting dari Joned bahwa teater tidak memiliki kamera yang hanya menyuguhkan satu titik visual. Penonton, kata Joned, bebas memilih titik pandangnya, dan kebebasan itulah justru membuat peristiwa teater bisa lebih hidup.
Peserta kemudian menelusuri perbedaan antara space dan place, yaitu ruang yang netral dan tempat yang sarat makna. Pemahaman itu segera diuji ketika mereka diminta untuk mengeksplorasi berbagai sudut wisma, lorong, tangga, ambang pintu, bahkan kamar tidur sebagai ruang pertunjukan.
Ruang tidak lagi patuh; ia melawan, menuntut aktor menyesuaikan diri pada bentuknya. Dari jarak dekat, saya melihat bagaimana peserta mulai memahami bahwa ruang memiliki dramaturginya sendiri.
Proses ini terasa relevan dengan situasi kebudayaan NTB saat ini. Daerah yang sedang menyiapkan OPD Kebudayaan ini membutuhkan cara pandang baru tentang ruang. Tidak hanya ruang fisik semata, tetapi juga ruang ekspresi kebudayaan yang terus bergerak mengikuti dinamika zaman.
Jika ekosistem pertunjukan teater mampu memperlakukan ruang secara kreatif, maka kebijakan kebudayaan pun tentunya harus dapat bergerak lebih progresif dan lentur.
Empat Tafsir dari Satu Teks
Hari ketiga menjadi titik kulminasi eksplorasi. Teks dramatik 'Pagi 21 Menit' karya Shinta Febriany itu dijadikan bahan percobaan sedari awal hari lokakarya digelar. Maka dari satu naskah yang sama, lahirlah empat dunia kecil dengan pendekatan berbeda.
Ada kelompok yang bertahan pada pola klasik dengan sutradara yang menggiring adegan; ada yang membawa penonton mengikuti jejak suara keluar ruangan; ada yang menciptakan pengalaman intim dari kamar-kamar yang terpisah; dan satu kelompok lainnya lagi memaksa penonton duduk melingkar, seolah menjadi bagian dari peristiwa.
Dari sudut orang yang mengamati proses lokakarya itu, saya mencatat satu hal bahwa para peserta mulai memberi ruang bagi penonton untuk berjalan, mendengar, memilih, bahkan ragu. Keraguan yang biasanya dianggap ancaman, justru bertransformasi menjadi kekuatan dramaturgis.
Di sinilah saya merasakan bahwa lokakarya ini lebih dari pelatihan teori dan teknis; ia membuka kesadaran bahwa teater NTB mesti dapat bergerak keluar dari pakem yang sudah lama ada untuk memasuki ranah yang lebih lentur dan cair.
Ketika kegiatan usai, saya pulang dengan perasaan bahwa lokakarya ini seakan menjadi cermin kecil bagi arah kebudayaan NTB.
Jika pemerintah daerah tengah menyiapkan perangkat hukum dan kelembagaan baru untuk pemajuan kebudayaan, maka para pelaku seni sedang menyiapkan bahasa kreatifnya.
Dua gerak itu, jika bertemu dalam satu bahasa ruang, maka akan bisa melahirkan sesuatu yang bukan sekadar administrasi, tetapi juga ekosistem yang terus berdenyut dalam tarikan napas yang teratur.
*) Penulis adalah etnografer di kolektif Nusa Artivisme.