Mataram (ANTARA) - Awan selalu mengingat bau lumpur bakau yang menempel di jemari ayahnya. Bau itu terasa seperti bagian dari tubuhnya sendiri, bercampur dengan garam laut dan angin yang menyapu wajahnya dari arah Penelepang, kampung kecil di pesisir Lombok Timur.

Pantai itu tak pernah sepi; aroma laut bercampur dengan desau daun bakau yang bergesekan di angin senja, sementara burung-burung camar berkejaran di udara, terbang rendah sebelum akhirnya hinggap di akar yang basah.

Suara riak ombak menabrak pasir dan batu, menciptakan irama yang seolah menenangkan sekaligus menakutkan bagi seorang anak kecil. Orang-orang sering mengejek ayahnya: terlalu miskin, terlalu pendiam, terlalu sibuk menanam bakau.

“Buat apa tanam bakau tiap minggu? Itu kerja orang tua penunggu pantai,” kata teman-temannya di sekolah, tertawa mengejek, menatap Awan seakan ia ikut bekerja sia-sia.

Awan kecil hanya menunduk. Ia tidak paham kenapa ayahnya menghabiskan berjam-jam di pantai berlumpur. Tidak ada honor, tidak ada pujian, bahkan orang-orang kampung pun menganggap pekerjaan itu tidak menghasilkan apa-apa. Namun ayahnya selalu berkata, “Bakau jaga kita dari yang tak terlihat.”

Awan tak mengerti. Baginya, bakau hanyalah akar kusut yang membuat kaki terperosok dan baju kotor. Hingga ayahnya tiba-tiba sakit dan meninggal dua tahun lalu, meninggalkan Awan tanpa jawaban apa pun.

Sejak itu, ia membenci bakau. Hutan kecil itu adalah lambang hidup yang berat dan kemiskinan yang menjerat keluarganya.

Ia masih ingat hari terakhir ayahnya menanam bibit. Angin laut dingin menyapu wajahnya, membawa aroma lumpur dan garam yang menempel di sepatu. Ayahnya tersenyum, tangannya yang kasar menepuk pundak Awan. “Kamu akan mengerti, Nak. Nanti.”

Awan tak mengerti. Sekarang, kata-kata itu terasa hampa, seperti janji yang belum ditepati.

Ia menatap hutan bakau dari kejauhan, menelusuri akar yang menancap ke tanah basah. Kadang ia membayangkan ayahnya tersenyum dari balik pepohonan, menyemangatinya untuk tidak menyerah meski hidup sering terasa berat.

Setiap sore, Awan duduk di tepi bakau, menatap akar-akar yang menjalar seperti benang kusut. Suara ombak yang memecah di tebing batu terdengar seperti bisikan, seakan mengingatkannya pada kata-kata ayahnya yang hilang di antara angin laut. Perlahan, ia mulai menyadari bahwa setiap akar bukan sekadar tumbuhan, tapi saksi sunyi perjalanan hidup.

Kadang Awan membawa buku catatan tua, menulis hal-hal yang ia amati seperti kepiting yang merayap, jejak kaki burung, bahkan bau lumpur yang berbeda tiap pagi. Ia membayangkan ayahnya sedang di sampingnya, menatap dunia yang sama, mengajari kesabaran melalui pohon dan tanah.

Di malam-malam sepi, ia merenung tentang masa kecilnya. Ia ingat ayahnya menceritakan tentang badai yang pernah menghantam pantai, bagaimana bakau menahan ombak hingga rumah-rumah tetap selamat.

“Tanpa bakau, pantai akan hilang, Nak,” kata ayahnya sambil tersenyum. Waktu itu Awan hanya mengangguk, tidak sepenuhnya mengerti.

Dalam hatinya, ada rasa rindu yang terus menggelitik, yaitu rasa kehilangan sekaligus penasaran akan rahasia yang ayahnya sembunyikan. Setiap detik di hutan bakau kini terasa seperti dialog tanpa kata, di mana setiap daun dan akar bercerita tentang kehidupan, ketahanan, dan kesabaran.

Awan juga ingat bermain dengan teman-temannya di pinggir pantai. Mereka mengejar kepiting, membuat perahu mini dari batang bakau, dan membiarkan air laut membasahi kaki.

Namun permainan itu selalu berakhir dengan ejekan teman-temannya tentang ayahnya yang “gila bakau.” Itu membuat Awan merasa berbeda, seolah dirinya ikut tertanam dalam dunia yang tak dimengerti orang lain.

Ketika Yang Datang Adalah Janji

Satu tahun setelah kepergian ayahnya, kampung itu berubah lebih cepat daripada ujung ombak yang menyambar perahu. Truk-truk datang membawa papan reklame besar berwarna biru:

“Resor Bahari Penelepang, Laut Tenang, Sunset Indah.”

Investor dari luar daerah menawarkan pembangunan kafe, vila, dan dermaga kecil. Mereka menyebut Mandalika yang sedang naik daun; NTB, katanya, harus menjadi destinasi premium.

Warga dibagi dua. Sebagian tergoda:

“Kalau ada resor, anak kita bisa kerja,” kata seorang bapak.

“Kampung jadi maju,” sambung yang lain.

Namun sebagian lain gelisah. Proyek itu akan menebang sebagian mangrove termasuk area yang dulu ditanami ayah Awan.

“Kalau bakau hilang, abrasi bisa makin parah,” kata Pak Nasir, nelayan tua. “Pantai ini rapuh.”

Tapi suara itu kalah keras dibanding janji “uang cepat.” Awan, yang kini duduk di SMP, mendengar semua itu sambil memandang ke pantai. Ia sendiri tak tahu harus berpihak ke mana.

Suatu malam, ia menemukan sebuah kardus di loteng. Kardus itu berdebu, berisi foto-foto lama dan peta lusuh. Sketsa pantai kampung. Tanda-tanda kecil bertuliskan Rhizophora, Avicennia, Sonneratia. Catatan tanggal penanaman.

Dan satu kalimat yang membuat dadanya sesak:

“Untuk anakku, biarkan akar-akar ini berbicara jika laut datang marah.”

Ia menangis lama malam itu. Untuk pertama kalinya, ia ingin memahami apa yang ayahnya wariskan. Kini, peta itu tidak lagi sekadar kertas lusuh, tapi semacam pesan rahasia dari masa lalu yang memintanya bangkit.

Awan mulai mengunjungi bakau lebih sering. Menyentuh batang yang berlumut, menelusuri akar yang menancap di lumpur, dan membayangkan ayahnya berdiri di sampingnya. Suara angin dan air laut terasa seperti cerita lama, yang hanya bisa didengar oleh mereka yang bersedia mendengarkan.

Setiap kunjungan Awan juga diwarnai interaksi dengan binatang di hutan bakau. Kepiting kecil yang lincah, cacing yang menyusup di lumpur, burung perenang yang hinggap di akar. Semuanya menjadi bagian dari dunia yang dulu ia anggap kotor, tapi kini terasa hidup dan penuh pelajaran.

Selain itu, ia mulai mencatat setiap hal kecil di buku catatan. Bagaimana bibit bakau bertahan dari angin, bagaimana ombak terserap oleh akar, bahkan bagaimana aroma laut berubah setelah hujan. Catatan itu seakan menghidupkan ayahnya kembali melalui ilmu yang ia pelajari sendiri.

Awan pun mulai berbicara dengan warga tua tentang sejarah pantai. Ia mendengar cerita Pak Nasir tentang bagaimana bakau dulu melindungi kampung dari badai besar lima puluh tahun lalu, dan kisah ibu-ibu yang menanam bibit bersama ayahnya saat musim hujan. Semakin banyak cerita yang ia dengar, semakin kuat rasa tanggung jawabnya pada hutan kecil itu.

Ia juga mulai mengamati bagaimana orang luar menganggap bakau sebagai penghalang estetika. Ia bertanya-tanya dalam hati:

“Apakah mereka akan mengerti saat laut marah?”

Ketika Pasang Membawa Peringatan

Beberapa minggu kemudian, peringatan datang dari arah selatan. BMKG mengumumkan potensi gelombang tinggi. Pejabat di Mataram sudah mengingatkan ancaman abrasi di desa-desa pesisir NTB. Tapi warga Penelepang sudah terlalu sering mendengar berita serupa dan tidak pernah benar-benar siap.

Malam itu angin berubah dingin. Langit gelap, tak bersisa warna senja. Awan melihat ombak naik lebih cepat dari biasanya. Suara laut terdengar berat dan menggulung, memecah di tebing dan lumpur yang menempel di kaki bakau.

“Pasang biasa saja,” kata kepala dusun.

Tapi Awan bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Gelombang malam itu memiliki intensitas yang belum pernah ia lihat sejak kecil. Ia merasakan detak jantungnya berpacu, takut namun terpaku pada akar yang menahan lumpur dan pasir.

Sekitar pukul dua dini hari, gelombang tinggi menghantam. Air menerjang rumah-rumah, dermaga setengah jadi roboh, beberapa perahu terseret. Orang-orang berteriak, lampu padam, anak-anak menangis. Hujan rintik mulai turun, membuat lumpur semakin licin, sementara angin meniup atap genteng yang sudah rapuh.

Namun di sisi barat kampung, tempat hutan bakau tumbuh rapat, hempasan ombak terperangkap. Air tetap tinggi, tapi lajunya tertahan. Rumah-rumah di bagian itu selamat, sementara wilayah yang nyaris hilang justru adalah bagian “Pantai Resor Baru”, area yang rencananya akan ditebang bakau.

Pagi harinya, ketika matahari pelan-pelan naik dari balik Gunung Rinjani, kampung itu melihat kenyataan dalam diam. Beberapa rumah rusak, tapi tidak ada korban jiwa. Banyak yang berbisik pelan:

“Bakau itu yang jaga kita.”

“Kalau tadi ditebang, habis kampung ini.”

Awan berdiri dekat akar bakau, menatap lumpur yang masih basah. Dan untuk pertama kalinya sejak ayahnya pergi, ia merasakan sesuatu: bangga. Setiap akar yang menancap di tanah seperti menegaskan arti kata ayahnya: perlindungan, kesabaran, dan keteguhan.

Ia menulis catatan tentang badai itu, menggambarkan bagaimana setiap akar menyerap energi ombak, bagaimana akar-akar kecil bisa menjadi tembok alami.

Malam itu, di bawah cahaya senter, Awan menangis sekaligus tersenyum, memahami warisan ayahnya untuk pertama kalinya.

Ketika Satu Suara Menjadi Banyak

Beberapa hari setelah badai, investor datang lagi dengan alat berat. Mereka bilang semua “tetap harus berjalan sesuai rencana”.

Namun hari itu, Awan berdiri paling depan. Di tangan kanannya, ia membawa peta peninggalan ayahnya, lusuh tapi penuh makna.

“Jangan sentuh bakau ini,” katanya lantang, suaranya bergetar.

“Ini penyelamat kampung. Kalau kalian bongkar, berarti kalian melawan alam dan melawan kami.”

Operator buldoser berhenti sejenak, menatapnya dengan bingung. Semua orang menatap Awan. Beberapa pemuda kampung mulai berdatangan, berdiri di belakangnya.

Ibu-ibu yang kemarin ragu, kini ikut berdiri. Bapak-bapak, nelayan, guru semua bersatu. Kepala desa akhirnya angkat bicara dengan suara lirih tapi tegas:

“Kita sudah melihat sendiri apa yang terjadi malam itu. Saya tidak bisa biarkan akar-akar ini hilang.”

Keributan panjang terjadi. Surat-menyurat, negosiasi, teguran. Warga mengajak investor melihat catatan badai dan dokumentasi Awan.

Ia menunjukkan foto rumah yang selamat berkat hutan bakau, mencatat tinggi gelombang dan lokasi tanaman yang menahan air.

Akhirnya, pemerintah kabupaten turun tangan. Setelah melihat bukti visual dan laporan warga, proyek resor dibatalkan di zona mangrove.

Area itu ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan edukasi mangrove berbasis komunitas.

Konsepnya terinspirasi dari Bale Mangrove di Lombok Timur, yang berhasil menggabungkan ekowisata dan perlindungan lingkungan. Investor pergi. Warga kampung tetap tinggal dan menang.

Sejak hari itu, Awan menjadi semacam pemimpin kecil di kampung. Teman-temannya yang dulu mengejek kini menatapnya dengan rasa hormat.

Ia mengajak mereka ikut menanam bibit bakau, mengajari cara menghitung pertumbuhan tanaman, mengamati kepiting dan cacing yang hidup di akar, bahkan mencatat perubahan bau lumpur setiap pagi.

Di sekolah, ia mulai membuat proyek ilmiah tentang ekosistem pesisir. Guru-gurunya kagum melihat ketekunan Awan, yang tidak hanya menulis teori tapi juga mempraktikkan ilmu yang ia pelajari dari ayahnya.

“Ini lebih dari sekadar bakau,” kata gurunya suatu hari. “Ini tentang hidup yang saling bergantung.”

Awan menyadari sesuatu yang penting bahwa hutan bakau bukan hanya pohon dan akar tapi simbol persatuan, kesabaran, dan keberanian. Ia menulis di buku catatannya:

"Kadang yang tampak kecil dan remeh itu yang paling penting."

Ketika Akar Menumbuhkan Masa Depan

Beberapa bulan kemudian, wajah kampung berubah. Warga membangun jalan kayu sederhana melalui hutan bakau agar wisatawan lokal bisa berjalan tanpa merusak akar.

Anak-anak muda membuat tur edukasi bertajuk “Menyusuri Akar-Akar Pesisir.” Ibu-ibu membuka warung kecil menjual kopi, pisang goreng, dan camilan sederhana untuk pengunjung.

Pemuda kampung membuat kelompok “Penjaga Akar.” Awan salah satu anggotanya.

Setiap minggu mereka menanam bibit baru, membersihkan sampah, dan mengajak siswa sekolah ikut menanam bakau sebagai bagian dari pelajaran lingkungan.

Kehidupan baru tumbuh dari akar-akar itu. Musim hujan tiba, tapi ombak tak lagi segan menahan diri di balik barisan bakau. Lumpur menjaga tanah dari terkikis.

Burung-burung kecil kembali bersarang. Dan laut, yang dulu selalu tampak jauh dan menakutkan bagi Awan, kini seperti sahabat lama yang kembali jinak.

Awan juga mulai mencatat perubahan flora dan fauna di hutan bakau. Ia menulis tentang kepiting, cacing, burung perenang, bahkan udang-udang muda yang mencari perlindungan di akar.

Ia merasa seperti ilmuwan muda, mempelajari kehidupan yang dulu hanya dilihatnya sebagai kotoran dan kesulitan.

Ia menulis buku catatan pengalaman pribadinya, kisah warga kampung, dokumentasi badai, dan pelajaran dari bakau. Ia ingin generasi mendatang membaca dan belajar dari akar yang menjaga kampung mereka.

Suatu sore, saat senja jatuh pelan di balik garis laut, Awan duduk di atas jalan kayu, memegang peta peninggalan ayahnya. Ia menutup mata dan membayangkan ayahnya berdiri di sampingnya, tersenyum.

“Aku menjaga mereka sekarang, Pak,” bisiknya. “Seperti akar-akar ini menjaga kita.”

Setiap angin yang menembus daun bakau seakan membawa suara ayahnya, membisikkan kata-kata tentang kesabaran, pelestarian, dan kehidupan yang saling bergantung.

Di pesisir kecil Lombok Timur itu, Awan akhirnya mengerti bahwa bakau bukan hanya pohon yang tumbuh di lumpur, melainkan jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Kampung Penelepang, dengan akar-akar yang melekat kuat pada tanah dan hati penduduknya, berdiri tegar menghadapi pasang apa pun yang datang.

Suara laut yang dulu menakutkan kini menjadi teman, mengingatkan setiap penduduk akan pentingnya menjaga alam, menjaga warisan, dan menjaga satu sama lain.

Awan juga sadar bahwa perlindungan bukan hanya soal bakau, tapi soal hati manusia--hati yang mau belajar dari akar, dari air, dari angin, dan dari cerita mereka yang datang sebelum kita.

Ia tahu, suatu hari nanti, ketika anak-anaknya bermain di tepi pantai yang sama, mereka akan menemukan akar-akar yang menempel di lumpur dan mencatat pelajaran yang sama: tentang kesabaran, ketahanan, dan cinta pada alam.

Dan di sanalah Awan menyadari sesuatu yang lebih besar bahwa kehidupan, seperti bakau, selalu menancap dalam tanah yang sulit. Tapi jika dijaga dengan hati, akar-akar itu akan menumbuhkan masa depan. Tidak hanya untuk satu kampung, tapi untuk semua yang belajar mendengarkan alam.

Sore itu, matahari tenggelam perlahan. Angin laut berdesau lembut, membawa aroma lumpur dan garam yang menempel pada jemari. Awan tersenyum, menatap akar-akar yang menjalar ke tanah basah, dan untuk pertama kalinya, ia merasa utuh.

Ia tahu ayahnya benar bahwa bakau jaga mereka dari yang tak terlihat. Tapi kini Awan juga tahu bahwa manusia bisa menjaga sesamanya, jika mau belajar dari akar, dari air, dan dari angin yang menembus daun bakau.

Dan di sanalah cerita itu berakhir atau mungkin baru saja dimulai.


*) Penulis adalah pewarta ANTARA NTB
 

Catatan Penulis:

Cerita ini mengambil latar di Lombok Timur, sebuah kabupaten nyata di Nusa Tenggara Barat, Indonesia, sehingga nuansa alam pesisir dan budaya lokal bisa dirasakan secara autentik. Namun, kampung Penelepang, tokoh, dan sebagian peristiwa di dalamnya adalah fiktif, diciptakan untuk kepentingan narasi. Jika ada kemiripan dengan tempat atau kejadian nyata, itu hanyalah kebetulan.


Pewarta : Abdul Hakim *)
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025