Memutus akar persoalan sosial di NTB

id nusa tenggara barat,persoalan sosial ntb,desa berdaya,lombok research center,lkks ntb,perkawinan anak,kasus stunting,pul Oleh Sugiharto Purnama

Memutus akar persoalan sosial di NTB

Isteri Wakil Presiden Selvi Gibran (kiri) berbincang dengan siswa sekolah menengah pertama terkait pencegahan pernikahan anak usia dini di RSUD NTB, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu (11/6/2025). (ANTARA/HO-Diskominfotik NTB)

Mataram (ANTARA) - Laju pertumbuhan ekonomi yang positif ditopang oleh berbagai lapangan usaha belum berjalan linear dengan peningkatan kesejahteraan sosial yang dirasakan masyarakat di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Kasus persoalan sosial yang menumpuk selalu menjadi pekerjaan rumah setiap tahun. Pada 2024, angka perkawinan anak di Nusa Tenggara Barat mencapai 14,96 persen dan menduduki posisi pertama secara nasional, dengan kasus pernikahan anak usia dini paling tinggi.

Tren perkawinan anak muncul bukan baru-baru ini, melainkan sudah berlangsung sejak lama. Dinas Sosial NTB mencatat angka perkawinan anak sebesar 16,02 persen pada 2017, kemudian mencapai puncak tertinggi 17,32 persen pada 2023.

Kasus pernikahan anak usia dini menciptakan banyak persoalan sosial yang pelik, dari mulai kasus bayi tumbuh kerdil atau tengkes, kekerasan terhadap perempuan, hingga kemiskinan ekstrem.

Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 2024, jumlah bayi tumbuh kerdil sebanyak 153.627 orang yang menjadikan Nusa Tenggara Barat menempati posisi kedelapan secara nasional.

Kepala Dinas Sosial NTB Nunung Triningsih mengatakan pernikahan dini menciptakan persoalan sosial berlapis yang berdampak terhadap pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga struktur sosial di masyarakat.

Ketika anak-anak yang masih usia belia tersebut menikah, maka mayoritas dari mereka justru putus sekolah, sehingga mempersempit peluang bekerja pada sektor formal, akibat tingkat pendidikan yang rendah.

Kondisi itu tidak hanya menciptakan sumber daya manusia yang kurang berkualitas, namun juga meningkatkan kemiskinan yang diwariskan antargenerasi.

"Banyak sekali disampaikan bahwa perkawinan anak di NTB tinggi karena permasalahan adat. Padahal, sebenarnya tidak seperti itu," ucap Nunung, dalam pertemuan multipihak yang membahas topik kesejahteraan sosial di Kantor PKK NTB, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada 18 November 2025.

Rantai kemiskinan yang membelit masyarakat adalah pemicu tingginya kasus perkawinan anak. Orang tua kadang berpikir bahwa menikahkan anak sebagai jalan pintas untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.

Faktor pola asuh, di mana banyak anak yang dititipkan kepada nenek atau bibi, sementara orang tua biologis bekerja sebagai buruh migran di luar negeri juga turut menyebabkan tingginya kasus perkawinan anak.

Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) mencatat Nusa Tenggara Barat sebagai provinsi keempat penyumbang pekerja migran terbanyak secara nasional, dengan total 15.333 orang selama periode Januari sampai Juni 2025.

Lingkaran setan perkawinan anak harus diputus agar kelak lahir generasi unggul, berpendidikan tinggi, dan sehat. Edukasi dan literasi harus terus ditingkatkan guna memperbaiki benang kusut persoalan sosial yang membelit Nusa Tenggara Barat selama bertahun-tahun.


Kolaborasi multipihak

Kesejahteraan sosial adalah salah satu pilar utama pembangunan daerah yang berorientasi terhadap peningkatan kualitas hidup manusia secara menyeluruh, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Lembaga Kolaborasi Kesejahteraan Sosial (LKKS) menyatakan perlu pendekatan lintas sektor, kolaboratif, dan inovatif untuk menyelesaikan tantangan kompleks berbagai isu persoalan sosial di Nusa Tenggara Barat.

"Bantuan sosial yang diberikan harus berjalan dengan sangat terorganisir, jelas, tepat sasaran, dan tidak tumpang tindih," kata Ketua Umum LKKS NTB Sinta Agathia.

Berbagai program sosial yang digulirkan, mulai dari jaringan pengaman sosial, pemberdayaan UMKM, hingga bantuan berbasis data terpadu telah menunjukkan hasil berupa penurunan kemiskinan dan ketimpangan sosial.

Meski demikian, program-program itu masih belum sepenuhnya mampu mengatasi akar permasalahan sosial yang berkembang di masyarakat secara komprehensif.

Fragmentasi program antarsektor dan lembaga, tumpang tindih sasaran, serta keterbatasan koordinasi lintas pihak menjadi tantangan utama dalam mewujudkan kesejahteraan sosial yang berkeadilan.

Pembangunan kesejahteraan sosial tidak lagi dapat dijalankan secara sektoral dan parsial. Berbagi isu sosial, berupa kemiskinan ekstrem, disabilitas, pengangguran muda, ketahanan keluarga, dan inklusi sosial saling berkaitan dengan dimensi ekonomi, pendidikan, kesehatan, serta lingkungan hidup.

Pendekatan multipihak menjadi kebutuhan strategis agar setiap aktor dapat berkontribusi sesuai kapasitas dan sumber daya.

Pemerintah berperan dalam regulasi dan fasilitasi, dunia usaha melalui tanggung jawab sosial, perguruan tinggi melalui riset dan inovasi sosial, sedangkan masyarakat sipil melalui gerakan sosial dan jaringan komunitas.

Kolaborasi multipihak merupakan pendekatan yang realistis untuk mengentaskan persoalan sosial, mengingat tidak ada satu lembaga yang dapat menyelesaikan masalah tersebut sendiri.

Karakteristik geografis Nusa Tenggara Barat yang terdiri dari 2 pulau besar (Lombok dan Sumbawa) serta 401 pulau kecil memberikan tantangan tersendiri bagi upaya pengentasan persoalan sosial. Kolaborasi multipihak mempercepat jangkauan dan efektivitas program bantuan sosial kepada masyarakat.


Fokus ke desa

Kantung persoalan sosial yang multidimensi banyak muncul di desa. Berbagai faktor menjadi penyebab, mulai dari kondisi struktural, ekonomi, layanan dasar, hingga perubahan sosial.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat meski angka kemiskinan terus menurun dari tahun ke tahun, namun penduduk miskin sebagian besar terkonsentrasi di perdesaan.

Hambatan historis dan sistemik menjadikan desa menghadapi kerentanan sosial yang lebih tinggi ketimbang wilayah kota.

Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) menargetkan 2,04 persen atau sekitar 119.932 ribu jiwa yang saat ini masuk kategori miskin ekstrem harus bisa menjadi nol persen pada 2029.

Lombok Research Center (LRC) memandang kolaborasi multipihak yang dipadukan dengan program Desa Berdaya dapat mempercepat laju pengentasan kemiskinan ekstrem di Nusa Tenggara Barat.

"Persoalan sosial merupakan cermin seperti apa daerah, dan ini menjadi salah satu indikator capaian target pembangunan," ujar Maharani, pendiri sekaligus pembina Lombok Research Center.

Arah pengentasan persoalan sosial yang berfokus ke desa merupakan langkah terbaik untuk memperbaiki akar permasalahan sosial agar tidak menjalar semakin jauh.

Bila persoalan sosial tidak bisa diselesaikan di tingkat desa, maka permasalahan itu berpotensi menyeruak naik ke kota, bahkan menjadi persoalan nasional yang lebih luas. Desa adalah penopang kota, jika desa kuat, maka kota juga ikut menjadi kuat.


Editor: Abdul Hakim
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.