Mataram (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Dr. Ahmad Atang, Msi mengatakan, tidak ada alasan bagi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi menolak putusan hukum.
"Menurut saya, tidak ada alasan bagi BPN untuk menolak keputusan hukum. Jika mereka menolak, justru akan memperkuat dugaan publik jika paslon 02 hanya mengejar kekuasaan tanpa mengindahkan mekanisme prosedural secara konstitusional," kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Senin.
Dia mengemukakan pandangan itu, berkaitan dengan gugatan BPN ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan kesiapan BPN Prabowo-Sandi untuk menerima hasilnya jika MK menolak gugatan.
Mantan Pembantu Rektor I UMK itu menambahkan, keputusan hukum bukan soal menerima atau menolak akan tetapi dipatuhi atau tidak.
Menurut Ahmad Atang, tidak ada pilihan yang lebih bermartabat bagi pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno selain menerima apapun hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Karena itu, dia menyarankan kepada Prabowo-Sandi untuk menerima apapun keputusan MK sebagai sikap seorang negarawan dalam sebuah kontestasi politik demokrasi.
Pandangan berbeda disampaikan akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikhael Raja Muda Bataona, MA yang mengatakan, jangan berharap Prabowo Subianto mengakui kekalahan, karena terlalu banyak melibatkan para elit yang merasa dirugikan oleh kekuasaan Jokowi-Jusuf Kalla saat ini.
"Kalau berharap bahwa Prabowo akan mengakui kekalahan itu sulit. Secara simbolik bisa saja iya. Tapi secara riil akan adanya rekonsiliasi hingga ke akar rumput itu saya kira sangat sulit," kata Raja Muda Bataona.
Selain itu, paslon 02 ini sulit menerima kekalahan karena mempertaruhkan terlalu banyak hal, yang menjadi dasar perjuangan para pihak yang ada di belakang pasangan calon Prabowo-Sandiaga.
Menurut dia, jika dibaca secara psikologi politik, ketegangan pasca-Pemilu Presiden 2019 ini memang sengaja dirawat dan dikehendaki untuk terjadi sedemikian rupa.
"Karena itu, akan sangat sulit bagi Prabowo Subianto untuk menerima kekalahan karena sebagai titik episentrum yang menyatukan banyak pihak yang menyatakan dirinya 'oposisi' dengan kekuasaan saat ini," katanya.
"Menurut saya, tidak ada alasan bagi BPN untuk menolak keputusan hukum. Jika mereka menolak, justru akan memperkuat dugaan publik jika paslon 02 hanya mengejar kekuasaan tanpa mengindahkan mekanisme prosedural secara konstitusional," kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Senin.
Dia mengemukakan pandangan itu, berkaitan dengan gugatan BPN ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan kesiapan BPN Prabowo-Sandi untuk menerima hasilnya jika MK menolak gugatan.
Mantan Pembantu Rektor I UMK itu menambahkan, keputusan hukum bukan soal menerima atau menolak akan tetapi dipatuhi atau tidak.
Menurut Ahmad Atang, tidak ada pilihan yang lebih bermartabat bagi pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno selain menerima apapun hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Karena itu, dia menyarankan kepada Prabowo-Sandi untuk menerima apapun keputusan MK sebagai sikap seorang negarawan dalam sebuah kontestasi politik demokrasi.
Pandangan berbeda disampaikan akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikhael Raja Muda Bataona, MA yang mengatakan, jangan berharap Prabowo Subianto mengakui kekalahan, karena terlalu banyak melibatkan para elit yang merasa dirugikan oleh kekuasaan Jokowi-Jusuf Kalla saat ini.
"Kalau berharap bahwa Prabowo akan mengakui kekalahan itu sulit. Secara simbolik bisa saja iya. Tapi secara riil akan adanya rekonsiliasi hingga ke akar rumput itu saya kira sangat sulit," kata Raja Muda Bataona.
Selain itu, paslon 02 ini sulit menerima kekalahan karena mempertaruhkan terlalu banyak hal, yang menjadi dasar perjuangan para pihak yang ada di belakang pasangan calon Prabowo-Sandiaga.
Menurut dia, jika dibaca secara psikologi politik, ketegangan pasca-Pemilu Presiden 2019 ini memang sengaja dirawat dan dikehendaki untuk terjadi sedemikian rupa.
"Karena itu, akan sangat sulit bagi Prabowo Subianto untuk menerima kekalahan karena sebagai titik episentrum yang menyatukan banyak pihak yang menyatakan dirinya 'oposisi' dengan kekuasaan saat ini," katanya.