Jakarta (ANTARA) - Amnesty International Indonesia menyoroti oknum polisi yang diduga melakukan penyiksaan terhadap demonstran mau pun warga yang berada di sekitar lokasi Aksi 22 Mei tidak diproses hukum akan membentuk pola yang dianggap wajar.
"Ada ketiadaan pemidanaan penyiksaan yang dianggap sebagai salah satu langkah efektif untuk mencegah terjadinya penyiksaan seperti film-film tadi," tutur peneliti Amnesty International Indonesia Papang Hidayat di Jakarta, Selasa, setelah memutarkan sejumlah video oknum personel Brigade Mobile melakukan kekerasan terhadap orang yang tidak melakukan perlawanan.
Menurut dia, dugaan penyiksaan oleh aparat kepolisian pada 21-23 Mei 2019 itu bukan sesuatu yang spesial lantaran pihaknya telah banyak mendapat kesaksian di daerah konflik, misalnya, di Papua, saat demo digelar, terdapat peserta yang ditangkap.
"Padahal belum tentu peserta demo itu adalah orang yang aktif memimpin demo, tetapi ada beberapa yang diambil juga dipukuli, jadi ini satu pola," ujar Papang.
Menurut dia, dalam sejumlah tayangan televisi pun ditampilkan polisi saat menangkap tersangka kriminal menggunakan kekerasan meskipun pelaku tidak berdaya dan tidak melakukan perlawanan.
Amnesty disebutnya tidak melakukan penilaian terhadap kinerja polisi dalam menangani aksi demonstrasi yang awalnya berjalan baik, tetapi berubah menjadi kericuhan.
Polisi pun memiliki kewenangan untuk menangkap orang-orang yang diduga melakukan kekerasan serta menggunakan instrumen kekerasan, seperti tameng sampai senjata apabila ancaman sudah dianggap membahayakan petugas.
Namun, adanya penggunaan kekerasan yang tidak diperlukan oleh aparat mesti diusut. Untuk itu Amnesty menyerukan agar dilakukan penyelidikan yang independen, imparsial dan efektif terhadap dugaan penyiksaan dan perlakuan buruk pada 21-23 Mei 2019.
"Rekomendasi kami meminta adanya investigasi yang efektif itu harus independen dan eksternal dari institusi yang diduga melakukan penyiksaan," ucap Papang.
Ia pun mengimbau agar polisi dilatih menerapkan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
Dalam laporan-laporan sebelumnya, Amnesty telah menggarisbawahi pendisiplinan pelanggaran oknum polisi jarang terjadi. Apabila terdapat upaya akuntabilitas, mekanisme yang digunakan adalah internal, bukan peradilan formal meski dugaan pelanggarannya tindak pidana.
"Ada ketiadaan pemidanaan penyiksaan yang dianggap sebagai salah satu langkah efektif untuk mencegah terjadinya penyiksaan seperti film-film tadi," tutur peneliti Amnesty International Indonesia Papang Hidayat di Jakarta, Selasa, setelah memutarkan sejumlah video oknum personel Brigade Mobile melakukan kekerasan terhadap orang yang tidak melakukan perlawanan.
Menurut dia, dugaan penyiksaan oleh aparat kepolisian pada 21-23 Mei 2019 itu bukan sesuatu yang spesial lantaran pihaknya telah banyak mendapat kesaksian di daerah konflik, misalnya, di Papua, saat demo digelar, terdapat peserta yang ditangkap.
"Padahal belum tentu peserta demo itu adalah orang yang aktif memimpin demo, tetapi ada beberapa yang diambil juga dipukuli, jadi ini satu pola," ujar Papang.
Menurut dia, dalam sejumlah tayangan televisi pun ditampilkan polisi saat menangkap tersangka kriminal menggunakan kekerasan meskipun pelaku tidak berdaya dan tidak melakukan perlawanan.
Amnesty disebutnya tidak melakukan penilaian terhadap kinerja polisi dalam menangani aksi demonstrasi yang awalnya berjalan baik, tetapi berubah menjadi kericuhan.
Polisi pun memiliki kewenangan untuk menangkap orang-orang yang diduga melakukan kekerasan serta menggunakan instrumen kekerasan, seperti tameng sampai senjata apabila ancaman sudah dianggap membahayakan petugas.
Namun, adanya penggunaan kekerasan yang tidak diperlukan oleh aparat mesti diusut. Untuk itu Amnesty menyerukan agar dilakukan penyelidikan yang independen, imparsial dan efektif terhadap dugaan penyiksaan dan perlakuan buruk pada 21-23 Mei 2019.
"Rekomendasi kami meminta adanya investigasi yang efektif itu harus independen dan eksternal dari institusi yang diduga melakukan penyiksaan," ucap Papang.
Ia pun mengimbau agar polisi dilatih menerapkan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
Dalam laporan-laporan sebelumnya, Amnesty telah menggarisbawahi pendisiplinan pelanggaran oknum polisi jarang terjadi. Apabila terdapat upaya akuntabilitas, mekanisme yang digunakan adalah internal, bukan peradilan formal meski dugaan pelanggarannya tindak pidana.