Ambon (ANTARA) - Tim arkeolog dari Balai Arkeologi Maluku menemukan fondasi "Kadato Biji Negara", kedaton lama kesultanan Tidore di Toloa sebelum pusat pemerintahan dipindahkan ke Soa Sio oleh Sultan Syaifuddin pada pertengahan abad ke-17.
Para peneliti yang dikoordinir oleh Arkelog Syahruddin Mansyur menemukan fondasi bekas Kadato Biji Negara ketika melaksanakan penelitian bertajuk "Kesultanan Tidore: Toponim, Pemukiman, Perkembangan Pusat Kesultanan Islam dan pengaruhnya di pulau-pulau sekitar", selama 20 hari yang dimulai pada 18 Agustus 2019 di Pulau Tidore.
Syahruddin Mansyur di Ambon, Rabu, mengatakan jejak tinggalan sejarah tersebut ditemukan setelah tim peneliti melakukan berbagai kajian tentang awal mula pemerintahan Kesultanan Tidore dari berbagai sumber sejarah, termasuk menghimpun sejarah dan tradisi tutur yang beredar di masyarakat setempat.
Kondisi fondasi Kadato Biji Negara saat ditemukan pertama kali hanya sebagian yang terlihat dari permukaan tanah, sedangkan sebagian lainnya sudah tertimbun tanah, sehingga harus dilakukan ekskavasi agar bisa mengindetifikasi keseluruhan struktur fondasi yang tersisa.
"Kondisinya hanya tersisa fondasi dan yang muncul dipermukaan sangat sedikit, maka kami melakukan penggalian untuk mengindetifikasinya lebih lanjut, baik bentuk struktur maupun bahan yang digunakan untuk bangunan kedaton lama," ucapnya.
Kadato Biji Negara, kata Syahruddin, merupakan kedaton lama kesultanan Tidore saat pemerintahan masih berpusat di Toloa, bagian barat Pulau Tidore, tapi kemudian ditinggalkan ketika pusat pemerintahan dipindahkan ke Soa Sio yang berada di sisi timur Pulau Tidore.
Pengalihan pusat pemerintahan Kesultanan Tidore terjadi sekitar pertengahan abad ke 17, pada masa pemerintahan Sultan Syaifuddin yang bergelar Jou Kota atau dalam bahasa setempat artinya sultan yang diantar.
Berdasarkan beberapa catatan sejarah yang ada, pemindahan pusat kekuasaan Tidore ke pesisir timur pulau berkaitan dengan konflik perdagangan jalur rempah yang terjadi antara Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate.
Kesultanan Tidore kala itu menjalin hubungan kerja sama dengan pihak Spanyol, sementara Ternate bekerja sama dengan Portugis dan kongsi dagang Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie - VOC).
"Akibat konflik antara Ternate dengan Tidore, karena ketika pusat kesultanan berada di posisi barat akan berhadapan langsung dengan pihak Ternate. Tapi ada juga sejarah tutur masyarakat yang menyebutkan dipindahkan karena kesultanan haruslah menghadap ke arah timur," katanya.
Lebih lanjut Syahruddin mengatakan hasil penemuan itu telah dibahas dan diskusikan dengan tokoh masyarakat setempat, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Tidore, dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Maluku Utara yang memiliki tupoksi wilayah kerja meliputi Provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Dalam pembahasan yang dilaksanakan dalam bentuk sosialisasi di Aula SMA Negeri 2 Tidore beberapa hari lalu, Kepala Disbudpar Kota Tidore Yakub Husain dan Kepala BPCB Maluku Utara Muhammad Husni berjanji akan memperhatikan situs sejarah yang berada di Toloa.
"Pihak BPCB sudah menyatakan akan segera memasang plang papan nama lokasi bekas fondasi Kadato Biji Negara, untuk mengingatkan masyarakat agar tidak melakukan aktivitas apapun di situs itu," ujar Syahruddin.
Para peneliti yang dikoordinir oleh Arkelog Syahruddin Mansyur menemukan fondasi bekas Kadato Biji Negara ketika melaksanakan penelitian bertajuk "Kesultanan Tidore: Toponim, Pemukiman, Perkembangan Pusat Kesultanan Islam dan pengaruhnya di pulau-pulau sekitar", selama 20 hari yang dimulai pada 18 Agustus 2019 di Pulau Tidore.
Syahruddin Mansyur di Ambon, Rabu, mengatakan jejak tinggalan sejarah tersebut ditemukan setelah tim peneliti melakukan berbagai kajian tentang awal mula pemerintahan Kesultanan Tidore dari berbagai sumber sejarah, termasuk menghimpun sejarah dan tradisi tutur yang beredar di masyarakat setempat.
Kondisi fondasi Kadato Biji Negara saat ditemukan pertama kali hanya sebagian yang terlihat dari permukaan tanah, sedangkan sebagian lainnya sudah tertimbun tanah, sehingga harus dilakukan ekskavasi agar bisa mengindetifikasi keseluruhan struktur fondasi yang tersisa.
"Kondisinya hanya tersisa fondasi dan yang muncul dipermukaan sangat sedikit, maka kami melakukan penggalian untuk mengindetifikasinya lebih lanjut, baik bentuk struktur maupun bahan yang digunakan untuk bangunan kedaton lama," ucapnya.
Kadato Biji Negara, kata Syahruddin, merupakan kedaton lama kesultanan Tidore saat pemerintahan masih berpusat di Toloa, bagian barat Pulau Tidore, tapi kemudian ditinggalkan ketika pusat pemerintahan dipindahkan ke Soa Sio yang berada di sisi timur Pulau Tidore.
Pengalihan pusat pemerintahan Kesultanan Tidore terjadi sekitar pertengahan abad ke 17, pada masa pemerintahan Sultan Syaifuddin yang bergelar Jou Kota atau dalam bahasa setempat artinya sultan yang diantar.
Berdasarkan beberapa catatan sejarah yang ada, pemindahan pusat kekuasaan Tidore ke pesisir timur pulau berkaitan dengan konflik perdagangan jalur rempah yang terjadi antara Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate.
Kesultanan Tidore kala itu menjalin hubungan kerja sama dengan pihak Spanyol, sementara Ternate bekerja sama dengan Portugis dan kongsi dagang Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie - VOC).
"Akibat konflik antara Ternate dengan Tidore, karena ketika pusat kesultanan berada di posisi barat akan berhadapan langsung dengan pihak Ternate. Tapi ada juga sejarah tutur masyarakat yang menyebutkan dipindahkan karena kesultanan haruslah menghadap ke arah timur," katanya.
Lebih lanjut Syahruddin mengatakan hasil penemuan itu telah dibahas dan diskusikan dengan tokoh masyarakat setempat, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Tidore, dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Maluku Utara yang memiliki tupoksi wilayah kerja meliputi Provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Dalam pembahasan yang dilaksanakan dalam bentuk sosialisasi di Aula SMA Negeri 2 Tidore beberapa hari lalu, Kepala Disbudpar Kota Tidore Yakub Husain dan Kepala BPCB Maluku Utara Muhammad Husni berjanji akan memperhatikan situs sejarah yang berada di Toloa.
"Pihak BPCB sudah menyatakan akan segera memasang plang papan nama lokasi bekas fondasi Kadato Biji Negara, untuk mengingatkan masyarakat agar tidak melakukan aktivitas apapun di situs itu," ujar Syahruddin.