Mataram (ANTARA) - Warga meminta pembangunan Bandara Bali Utara yang akan dibangun di Desa Kubutambahan untuk menghormati budaya lokal masyarakat mengingat di lokasi tersebut banyak bangunan pura dan desa adat.
Made Wijanaka, pengusaha properti di Desa Kubutambahan, Buleleng, Rabu, menyatakan sampai sekarang tidak ada pihak-pihak yang menghubungi dirinya terkait pembangunan tersebut.
Mereka hanya konsentrasi di lahan milik desa adat yang 370 hektare itu. Apa mereka pikir kami ini akan menerima begitu saja pembangunan bandara ini, katanya.
Menurut dia, pembangunan bandara di darat akan menimbulkan banyak konflik mengingat banyak lahan subur yang akan dikorbankan.
Saya pikir masyarakat akan berpikir 100 kali menyerahkan tanah begitu saja kepada pihak konsorsium, katanya.
Terkait dengan konsorsium yang baru-baru ini melakukan pengukuran tanah di lahan tersebut, Wijanaka menyebutkan pihaknya sama sekali tidak ada komunikasi dengan mereka.
Sementara itu, penyarikan Desa Adat Yeh Sanih menyatakan pihaknya sampai saat ini tidak pernah dihubungi pihak-pihak yang hendak membangun bandara.
Kami sudah sepakat tidak mau menyerahkan lahan tersebut. Kami akan lebih berhati-hati, mengingat ini tanah milik desa adat, katanya.
Made Suwindra yang juga ketua LPM Yeh Sanih, menilai jika pembangunan bandara di darat dipaksakan maka ini akan membuat kegaduhan lagi di desa Kubutambahan dan sekitarnya.
Karena hampir 80 persen krama Desa Adat Kubutambahan tidak setuju pembagunan bandara di darat. Khususnya untuk desa adat Yeh Sanih, hampir seluruhnya menolak pembangunan bandara di darat ini.
Karena itu, warga meminta agar Presiden Jokowi segera turun tangan mengatasi masalah ini pasalnya dari duhulu pemerintah berjanji mengeluarkan penentuan lokasi, kenyataannya sampai sekarang tidak ada.
Menurut Suwindra, pembangunan di darat nanti akan banyak mengorbankan fasilitas umum seperti pura, situs-situs. Dan akan terjadi bedol desa, ada ratusan warga yang akan tergusur.
Made Wijanaka, pengusaha properti di Desa Kubutambahan, Buleleng, Rabu, menyatakan sampai sekarang tidak ada pihak-pihak yang menghubungi dirinya terkait pembangunan tersebut.
Mereka hanya konsentrasi di lahan milik desa adat yang 370 hektare itu. Apa mereka pikir kami ini akan menerima begitu saja pembangunan bandara ini, katanya.
Menurut dia, pembangunan bandara di darat akan menimbulkan banyak konflik mengingat banyak lahan subur yang akan dikorbankan.
Saya pikir masyarakat akan berpikir 100 kali menyerahkan tanah begitu saja kepada pihak konsorsium, katanya.
Terkait dengan konsorsium yang baru-baru ini melakukan pengukuran tanah di lahan tersebut, Wijanaka menyebutkan pihaknya sama sekali tidak ada komunikasi dengan mereka.
Sementara itu, penyarikan Desa Adat Yeh Sanih menyatakan pihaknya sampai saat ini tidak pernah dihubungi pihak-pihak yang hendak membangun bandara.
Kami sudah sepakat tidak mau menyerahkan lahan tersebut. Kami akan lebih berhati-hati, mengingat ini tanah milik desa adat, katanya.
Made Suwindra yang juga ketua LPM Yeh Sanih, menilai jika pembangunan bandara di darat dipaksakan maka ini akan membuat kegaduhan lagi di desa Kubutambahan dan sekitarnya.
Karena hampir 80 persen krama Desa Adat Kubutambahan tidak setuju pembagunan bandara di darat. Khususnya untuk desa adat Yeh Sanih, hampir seluruhnya menolak pembangunan bandara di darat ini.
Karena itu, warga meminta agar Presiden Jokowi segera turun tangan mengatasi masalah ini pasalnya dari duhulu pemerintah berjanji mengeluarkan penentuan lokasi, kenyataannya sampai sekarang tidak ada.
Menurut Suwindra, pembangunan di darat nanti akan banyak mengorbankan fasilitas umum seperti pura, situs-situs. Dan akan terjadi bedol desa, ada ratusan warga yang akan tergusur.