Mataram (ANTARA) - Sokola Institute meluncurkan buku terbarunya "Melawan Setan Bermata Runcing: Pengalaman Gerakan Pendidikan Sokola" yang bercerita tentang lahirnya metode dan pendekatan pendidikan Sokola yang terbentuk dari proses belajar dengan komunitas, terutama kelompok masyarakat adat.
"Tujuan akhir dari literasi yang Sokola Institute kerjakan ialah agar masyarakat adat dapat memecahkan persoalan keseharian yang mereka hadapi, khususnya saat berhadapan dengan 'orang luar'. Dan yang tidak kalah penting adalah agar masyarakat adat dapat mempertahankan identitas adat mereka," kata Butet Manurung, pendiri Sokola Institute, melalui siaran persnya yang diterima Antara di Mataram, Rabu.
Buku tersebut ditulis oleh beberapa anggota tim Sokola Institute, yakni Butet Manurung, Aditya Dipta Anindita, Dodi Rokhdian, Fadilla M Apristawijaya, dan Fawaz. Ilustrasi pada cover bukupun merupakan karya dari anggota tim Sokola Institute, yakni Oceu Apristawijaya.
Butet menjelaskan buku tersebut merupakan kumpulan pengalaman Sokola dalam mengembangkan program-program pendidikan sebagai upaya untuk membantu masyarakat adat menghadapi persoalannya. "Sembari tetap mempertahankan adat," katanya.
Buku setebal 260 halaman itu terbagi menjadi tujuh bab, yakni mengenai Sejarah Pendekatan Sokola oleh Dodi Rokhdian, Pendekatan Dialogis Sokola oleh Fadilla M Apristawijaya, Volunterisme oleh Aditya Dipta Anindita dan Butet Manurung, Memahami Komunitas oleh Dodi Rokhdian, Literasi Dasar oleh Butet Manurung, Literasi Terapan: Pendidikan Kontekstual dan Keberpihakan oleh Fawaz dan terakhir Kader, Organisasi dan Pengorganisasian oleh Aditya Dipta Anindita.
Diharapkan, melalui buku itu juga menjadi panduan bagi guru, relawan pengajar atau siapa saja yang bekerja di komunitas.
Peluncuran buku ini ditutup oleh penampilan teater “Panggung Bercerita: Beralas Bumi, Beratap Langit yang berceritakan kehidupan sehari-hari masyarakat Rimba di Bukit Duabelas Jambi.
Sementara itu, Wisnu Suryaning Adji, penulis buku Rahasia Salinem, mengaku melalui acara peluncuran buku tersebut, dirinya baru menyadari kalau kita yang mengaku "beradab" ini seringkali tidak lebih dari sombong.
"Acara ini benar-benar pas bisa mewakili bagaimana Sokola Rimba, serta membuat saya yang awam jadi tahu tentang masyarakat adat," katanya.
"Tujuan akhir dari literasi yang Sokola Institute kerjakan ialah agar masyarakat adat dapat memecahkan persoalan keseharian yang mereka hadapi, khususnya saat berhadapan dengan 'orang luar'. Dan yang tidak kalah penting adalah agar masyarakat adat dapat mempertahankan identitas adat mereka," kata Butet Manurung, pendiri Sokola Institute, melalui siaran persnya yang diterima Antara di Mataram, Rabu.
Buku tersebut ditulis oleh beberapa anggota tim Sokola Institute, yakni Butet Manurung, Aditya Dipta Anindita, Dodi Rokhdian, Fadilla M Apristawijaya, dan Fawaz. Ilustrasi pada cover bukupun merupakan karya dari anggota tim Sokola Institute, yakni Oceu Apristawijaya.
Butet menjelaskan buku tersebut merupakan kumpulan pengalaman Sokola dalam mengembangkan program-program pendidikan sebagai upaya untuk membantu masyarakat adat menghadapi persoalannya. "Sembari tetap mempertahankan adat," katanya.
Buku setebal 260 halaman itu terbagi menjadi tujuh bab, yakni mengenai Sejarah Pendekatan Sokola oleh Dodi Rokhdian, Pendekatan Dialogis Sokola oleh Fadilla M Apristawijaya, Volunterisme oleh Aditya Dipta Anindita dan Butet Manurung, Memahami Komunitas oleh Dodi Rokhdian, Literasi Dasar oleh Butet Manurung, Literasi Terapan: Pendidikan Kontekstual dan Keberpihakan oleh Fawaz dan terakhir Kader, Organisasi dan Pengorganisasian oleh Aditya Dipta Anindita.
Diharapkan, melalui buku itu juga menjadi panduan bagi guru, relawan pengajar atau siapa saja yang bekerja di komunitas.
Peluncuran buku ini ditutup oleh penampilan teater “Panggung Bercerita: Beralas Bumi, Beratap Langit yang berceritakan kehidupan sehari-hari masyarakat Rimba di Bukit Duabelas Jambi.
Sementara itu, Wisnu Suryaning Adji, penulis buku Rahasia Salinem, mengaku melalui acara peluncuran buku tersebut, dirinya baru menyadari kalau kita yang mengaku "beradab" ini seringkali tidak lebih dari sombong.
"Acara ini benar-benar pas bisa mewakili bagaimana Sokola Rimba, serta membuat saya yang awam jadi tahu tentang masyarakat adat," katanya.