Jakarta (ANTARA) - Susi Susanti remaja sedang naik bus dari Tasikmalaya, kota kelahirannya di Jawa Barat, menuju klub Jaya Raya, Jakarta, calon klub pertama sekaligus klub barunya.
Dari luar kaca bus, seorang pedagang asongan menjajakan dagangannya kepada Susi. Dengan sopan Susi mengoyahkan perlahan telapak tangannya, tanda tidak berminat membeli.
Tiba-tiba, si pedagang asongan itu melempar salah satu plastik dagangannya ke muka Susi sambil berteriak, “Dasar sipit! Pelit!” Lemparan itu mengenai kaca bus, isinya muncrat, tepat di sisi luar wajah Susi.
Tak ada pilihan lain, Susi diam saja. Itulah bagian awal-awal adegan film Susi Susanti Love All.
Sebagai atlet keturunan etnis Tionghoa, rupanya, sejak awal Susi sudah terbiasa menerima sikap rasialis dari sebagian masyarakat kepadanya, bahkan sampai sesudah dia mempersembahkan medali emas olimpiade pertama untuk Republik Indonesia sekalipun, Susi tetap sering menerima perlakuan rasial itu.
Film Susi Susanti Love All, karya sutradara Sim F., mengangkat pergumulan batin pemegang medali emas olimpiade pertama Indonesia itu. Bukan hanya dari segi teknis bagaimana perjuangan seorang pemain bulutangkis mencapai prestasi puncak, tetapi juga menghadirkan benturan rasa nasionalisme yang tingggi dengan realitas sikap sebagai masyarakat dan oknum petugas yang rasialis, disertai sulitnya menjadi warga negara yang selama ini dibelanya.
Untuk menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) pun, Susi waktu itu masih diperas oleh petugas dan pejabat yang mengurus soal kewarganegaraannya .
Tak hanya itu, rumahnya di Tasikmalaya ketika kerusuhan 1998 ikut dibakar masa yang sentimen kepada etnis Tionghoa. Untung Sang Ayah selamat. Sebaliknya di luar negeri, Susi yang kala itu mewakili Indoensia, justru sama dihujat karena ke-Indonesia-an dirinya.
Tatkala Susi dan kawan-kawan membela panji Indonesia di Hongkong, warga setempat malah berang menyerang rombongan Susi dan kawan-kawan lantaran menuduh pemerintah dan rakyat Indonesia telah menganiayai etnis Tionghoa, mayoritas etnis yang ada di Hongkong.
Susi dan rombongan mereka nilai sebagai wakil dan duta Indonesia yang diskriminatif. Susi dan rombongan didemo sampai di depan stadion tempat pertandingan. Bagi seorang atlet keturunan etnis Tionghoa seperti Susi, di dalam negeri digencet, sementara di luat negeri justeru disudutkan, tentu bukan perkara mudah.
Dalam keadaan serba sulit seperti itu, seorang repoter televisi asing lantas memprovokasi Susi dengan pertanyaan, apakah dalam keadaan demikian, Susi masih berniat menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), padahal yang lain sudah banyak yang melarikan diri dan memilih kewarganegaraan lain. Susi terhenyak. Dia harus memilih dan menyatakan sikapnya di depan jutaaan penonton televisi internasional.
Makna nasionalisme
Film Susi Susanti Love All berjalan linier, mengisahkan lika-liku perjuangan Susi Susanti, salah seorang atlet Indonesia paling berprestasi, memperoleh mendali emas olimpiade pertama untuk Indonesia. Perjuangan Susi menjadi jauh lebih berat bukan karena ketaguhan lawan-lawannya saja, namun karena posisi Susi yang waktu itu belum sepenuhnya WNI.
Permohonanya menjadi WNI masih selalu ditolak. Pejabat yang mengurus dokumennya hanya bilang ada “jalur cepat,” sekaligus tanpa malu meminta uang sogok. Rasa ketidakadilan digambarkan sudah lebih mendalam dialami maestro bulutangkis ini.
Di sela-sela perjuangan dan masalah yang dihadapi itu, diselipkan pula kisah percintaan antara Susi dengan Alan Budikusumah, sampai mereka menjadi “pasangan emas Olimpiade.” Pertarungan olah raga, pergumulan soal kewarganegaraan dan rasialisme, serta romantikan percintaan Susi, dapat dijahit dalam satu kesatuan yang padu.
Sejak awal sampai akhir, film ini mampu memaksa para penontonnya tetap duduk menyimak dan menghayati film. Hal ini lantaran dari aspek sinematografis Susi Susanti Love All mengalir lancar, mengebah keharuan serta mengajak kontemplasi apa makna nasionalisme.
Penyuguhan dan penggandegam gambar berlangsung mulus, dalam arti komposisi gambar-gambar dan ritme film tidak tersendat-sendat. Sudut pengambil pun disuguhkan secara apik. Misalnya, pengambilan gambar berkali-kali wajah Susi yang penuh konsentrasi dengan sudut pandang dari balik net, bukan saja menunjukan keseriusan dan konsentrasi Susi, namun juga sekakigus menggambarkan betapa rumitnya untuk memenangkan pertandingan bagaikan ruwetnya jaringan net.
Kemenangan pertandingam bukan hanya terletak pada kesiapan faktor tingkat teknikal yang sangat tinggi, namun juga terutama di pikiran atlit sendiri. Sebuah simbolisasi yang mengena, tanpa harus menganggu jalannya cerita.
Acungan jempol dapat kita berikan kepada Laura Basuki sebagai Susi Susanti. Penguasaan permainan bulu tangkisnya, walaupun belum sempurna benar, sudah cukup merepresentasikan pebulutangkis profesional, khusus gaya permainan Susi.
Gestur dan gaya sosok Susi, baik sebagai pemain bulutangkis maupun sebagai pribadi, berhasil dihadirkan oleh Laura Basuki. Misalnya, bagaimana gaya khas Susi melakukan servis di lapangan dengan memukul bola tinggi ke base line, diwujudkan dengan baik oleh Laura.
Demikian pula ciri khas split Susi, diperagakan secara sangat baik oleh Laura. Lalu cara lirikan mata Susi pun diadopsinya secara baik. Begitu juga akting pemain lain juga menunjukan kinerja yang baik, memperkuat plot film.
Super Hero
Susi Susanti Love All menguraikan rumitnya kehidupan seorang “pahlawan bulu tangkis” ethnis Tionghoa di Indonesia. Film ini kembali menyadarkan kita, untuk berjuang mengangkat harkat dan martabat negara, tidak harus menjadi super hero yang penuh kekuatan supra natural.
Seorang manusia dengan sejumlah problematika pribadi dan keluarga pun tetap dapat mengharumkan bangsa dan negara. Seorang seperti Susi Susanti yang dilanda begitu banyak masalah pribadi dan keluarga, tetap dapat menorehkan sejarah mulia bagi bangsa dan negaranya di pergaulan internasional, khususnya di bidang olah raga. Dengan segenap sisi kemanusiaannya Susi Susanti mempersembahkan emas oliampe pertama untuk Indonesia.
Kendati demikian, skenario film tidak berpretensi ingin menghadirkan film yang membuat kita mengerutkan dahi dengan dialog-dialog yang “berat” dan dalam skala utopis. Film dihadirkan dengan atmosfir keseharian, tetapi tidak lantas kehilangan bobot.
Demikian juga film tidak menggurui kita, namun memberikan pengajaran yang sangat filosofis. Film ini membuat kita merenung, apalah artinya pengabdian kita kepada negara melalui perjuangan yang luar biasa, jika negara tidak memberikan serta mengakui kita sebagai bagian anak bangsanya?
Apakah artinya persembahan penghormatan buat bangsa dan negara, kalau di negeri sendiri justeru dicampakkan? Susi yang lahir, besar dan bergaul dengan orang Indonesia, merasa diri berdarah dan berjiwa bangsa Indonesia, serta sudah mengangkat derajat Indoensia di mata internasional, kenapa masih tidak dianggap warga negara Indonesia?
“Semua medali dan piala kamu tidak ada artinya buat kehidupan kita sehari-hari,” kata ibu Susi ketika kewarnegaraan Susi tidak keluar juga, dan kakaknya sempat berpikir untuk berkarier di Malaysia. Di sinilah kepahlawanan Susi Susanti patut diteladani.
Betapapun berat persoalan yang menimpanya, betapapun kecewa dirinya dengan kenyataan yang ada, betapapun banyak peluang lebih baik di negeri orang, pada awal dan akhirnya Susi tidak pindah hati ke negara lain. Semua perjuangan, pengorban lahir batin hanyalah untuk Indonesia.
Tontonan dan Tuntunan
Sebenarnya film ini memiliki kesempatan untuk lebih banyak menyuguhkan latar belakang kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan Jawa Barat, tempat lingkungan Susi lahir dan timbuh berkembang.
Jika peluang ini dimanfaatkan secara optimal, film akan dapat menjadi duta bangsa Indonesia bukan hanya dari aspek olah raganya dan perkembangan politiknya saja, tapi juga dapat menampilkan dari aspek kebudayaan. Hanya saja, rupanya, pintu itu tidak dimanfaatkan secara maksimal. Kecuali pada awal-awal film, yang menunjukan interaksi Susi dengan lingkungannya di rumahnya, selebihnyafilm hanya memotret sedikit ruang publik.
Akhirnya, kita harus membaca, inilah film yang menghadirkan tontonan dan tuntutan sekaligus. Sebagai tontotan film ini menghibur, sedangkan sebagai tuntunan Susi Susanti Love All mengajak kita untuk menghargai pengorban dan prestasi anak bangsa, dari etnis manapun. Itulah makna pluralisme sejati.
*) Wina Armada Sukardi adalah Kritikus Film
Dari luar kaca bus, seorang pedagang asongan menjajakan dagangannya kepada Susi. Dengan sopan Susi mengoyahkan perlahan telapak tangannya, tanda tidak berminat membeli.
Tiba-tiba, si pedagang asongan itu melempar salah satu plastik dagangannya ke muka Susi sambil berteriak, “Dasar sipit! Pelit!” Lemparan itu mengenai kaca bus, isinya muncrat, tepat di sisi luar wajah Susi.
Tak ada pilihan lain, Susi diam saja. Itulah bagian awal-awal adegan film Susi Susanti Love All.
Sebagai atlet keturunan etnis Tionghoa, rupanya, sejak awal Susi sudah terbiasa menerima sikap rasialis dari sebagian masyarakat kepadanya, bahkan sampai sesudah dia mempersembahkan medali emas olimpiade pertama untuk Republik Indonesia sekalipun, Susi tetap sering menerima perlakuan rasial itu.
Film Susi Susanti Love All, karya sutradara Sim F., mengangkat pergumulan batin pemegang medali emas olimpiade pertama Indonesia itu. Bukan hanya dari segi teknis bagaimana perjuangan seorang pemain bulutangkis mencapai prestasi puncak, tetapi juga menghadirkan benturan rasa nasionalisme yang tingggi dengan realitas sikap sebagai masyarakat dan oknum petugas yang rasialis, disertai sulitnya menjadi warga negara yang selama ini dibelanya.
Untuk menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) pun, Susi waktu itu masih diperas oleh petugas dan pejabat yang mengurus soal kewarganegaraannya .
Tak hanya itu, rumahnya di Tasikmalaya ketika kerusuhan 1998 ikut dibakar masa yang sentimen kepada etnis Tionghoa. Untung Sang Ayah selamat. Sebaliknya di luar negeri, Susi yang kala itu mewakili Indoensia, justru sama dihujat karena ke-Indonesia-an dirinya.
Tatkala Susi dan kawan-kawan membela panji Indonesia di Hongkong, warga setempat malah berang menyerang rombongan Susi dan kawan-kawan lantaran menuduh pemerintah dan rakyat Indonesia telah menganiayai etnis Tionghoa, mayoritas etnis yang ada di Hongkong.
Susi dan rombongan mereka nilai sebagai wakil dan duta Indonesia yang diskriminatif. Susi dan rombongan didemo sampai di depan stadion tempat pertandingan. Bagi seorang atlet keturunan etnis Tionghoa seperti Susi, di dalam negeri digencet, sementara di luat negeri justeru disudutkan, tentu bukan perkara mudah.
Dalam keadaan serba sulit seperti itu, seorang repoter televisi asing lantas memprovokasi Susi dengan pertanyaan, apakah dalam keadaan demikian, Susi masih berniat menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), padahal yang lain sudah banyak yang melarikan diri dan memilih kewarganegaraan lain. Susi terhenyak. Dia harus memilih dan menyatakan sikapnya di depan jutaaan penonton televisi internasional.
Makna nasionalisme
Film Susi Susanti Love All berjalan linier, mengisahkan lika-liku perjuangan Susi Susanti, salah seorang atlet Indonesia paling berprestasi, memperoleh mendali emas olimpiade pertama untuk Indonesia. Perjuangan Susi menjadi jauh lebih berat bukan karena ketaguhan lawan-lawannya saja, namun karena posisi Susi yang waktu itu belum sepenuhnya WNI.
Permohonanya menjadi WNI masih selalu ditolak. Pejabat yang mengurus dokumennya hanya bilang ada “jalur cepat,” sekaligus tanpa malu meminta uang sogok. Rasa ketidakadilan digambarkan sudah lebih mendalam dialami maestro bulutangkis ini.
Di sela-sela perjuangan dan masalah yang dihadapi itu, diselipkan pula kisah percintaan antara Susi dengan Alan Budikusumah, sampai mereka menjadi “pasangan emas Olimpiade.” Pertarungan olah raga, pergumulan soal kewarganegaraan dan rasialisme, serta romantikan percintaan Susi, dapat dijahit dalam satu kesatuan yang padu.
Sejak awal sampai akhir, film ini mampu memaksa para penontonnya tetap duduk menyimak dan menghayati film. Hal ini lantaran dari aspek sinematografis Susi Susanti Love All mengalir lancar, mengebah keharuan serta mengajak kontemplasi apa makna nasionalisme.
Penyuguhan dan penggandegam gambar berlangsung mulus, dalam arti komposisi gambar-gambar dan ritme film tidak tersendat-sendat. Sudut pengambil pun disuguhkan secara apik. Misalnya, pengambilan gambar berkali-kali wajah Susi yang penuh konsentrasi dengan sudut pandang dari balik net, bukan saja menunjukan keseriusan dan konsentrasi Susi, namun juga sekakigus menggambarkan betapa rumitnya untuk memenangkan pertandingan bagaikan ruwetnya jaringan net.
Kemenangan pertandingam bukan hanya terletak pada kesiapan faktor tingkat teknikal yang sangat tinggi, namun juga terutama di pikiran atlit sendiri. Sebuah simbolisasi yang mengena, tanpa harus menganggu jalannya cerita.
Acungan jempol dapat kita berikan kepada Laura Basuki sebagai Susi Susanti. Penguasaan permainan bulu tangkisnya, walaupun belum sempurna benar, sudah cukup merepresentasikan pebulutangkis profesional, khusus gaya permainan Susi.
Gestur dan gaya sosok Susi, baik sebagai pemain bulutangkis maupun sebagai pribadi, berhasil dihadirkan oleh Laura Basuki. Misalnya, bagaimana gaya khas Susi melakukan servis di lapangan dengan memukul bola tinggi ke base line, diwujudkan dengan baik oleh Laura.
Demikian pula ciri khas split Susi, diperagakan secara sangat baik oleh Laura. Lalu cara lirikan mata Susi pun diadopsinya secara baik. Begitu juga akting pemain lain juga menunjukan kinerja yang baik, memperkuat plot film.
Super Hero
Susi Susanti Love All menguraikan rumitnya kehidupan seorang “pahlawan bulu tangkis” ethnis Tionghoa di Indonesia. Film ini kembali menyadarkan kita, untuk berjuang mengangkat harkat dan martabat negara, tidak harus menjadi super hero yang penuh kekuatan supra natural.
Seorang manusia dengan sejumlah problematika pribadi dan keluarga pun tetap dapat mengharumkan bangsa dan negara. Seorang seperti Susi Susanti yang dilanda begitu banyak masalah pribadi dan keluarga, tetap dapat menorehkan sejarah mulia bagi bangsa dan negaranya di pergaulan internasional, khususnya di bidang olah raga. Dengan segenap sisi kemanusiaannya Susi Susanti mempersembahkan emas oliampe pertama untuk Indonesia.
Kendati demikian, skenario film tidak berpretensi ingin menghadirkan film yang membuat kita mengerutkan dahi dengan dialog-dialog yang “berat” dan dalam skala utopis. Film dihadirkan dengan atmosfir keseharian, tetapi tidak lantas kehilangan bobot.
Demikian juga film tidak menggurui kita, namun memberikan pengajaran yang sangat filosofis. Film ini membuat kita merenung, apalah artinya pengabdian kita kepada negara melalui perjuangan yang luar biasa, jika negara tidak memberikan serta mengakui kita sebagai bagian anak bangsanya?
Apakah artinya persembahan penghormatan buat bangsa dan negara, kalau di negeri sendiri justeru dicampakkan? Susi yang lahir, besar dan bergaul dengan orang Indonesia, merasa diri berdarah dan berjiwa bangsa Indonesia, serta sudah mengangkat derajat Indoensia di mata internasional, kenapa masih tidak dianggap warga negara Indonesia?
“Semua medali dan piala kamu tidak ada artinya buat kehidupan kita sehari-hari,” kata ibu Susi ketika kewarnegaraan Susi tidak keluar juga, dan kakaknya sempat berpikir untuk berkarier di Malaysia. Di sinilah kepahlawanan Susi Susanti patut diteladani.
Betapapun berat persoalan yang menimpanya, betapapun kecewa dirinya dengan kenyataan yang ada, betapapun banyak peluang lebih baik di negeri orang, pada awal dan akhirnya Susi tidak pindah hati ke negara lain. Semua perjuangan, pengorban lahir batin hanyalah untuk Indonesia.
Tontonan dan Tuntunan
Sebenarnya film ini memiliki kesempatan untuk lebih banyak menyuguhkan latar belakang kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan Jawa Barat, tempat lingkungan Susi lahir dan timbuh berkembang.
Jika peluang ini dimanfaatkan secara optimal, film akan dapat menjadi duta bangsa Indonesia bukan hanya dari aspek olah raganya dan perkembangan politiknya saja, tapi juga dapat menampilkan dari aspek kebudayaan. Hanya saja, rupanya, pintu itu tidak dimanfaatkan secara maksimal. Kecuali pada awal-awal film, yang menunjukan interaksi Susi dengan lingkungannya di rumahnya, selebihnyafilm hanya memotret sedikit ruang publik.
Akhirnya, kita harus membaca, inilah film yang menghadirkan tontonan dan tuntutan sekaligus. Sebagai tontotan film ini menghibur, sedangkan sebagai tuntunan Susi Susanti Love All mengajak kita untuk menghargai pengorban dan prestasi anak bangsa, dari etnis manapun. Itulah makna pluralisme sejati.
*) Wina Armada Sukardi adalah Kritikus Film