Mataram (ANTARA) - Azmi Syahputra, dosen hukum pidana Universitas Bung Karno, mengapresiasi Jaksa Agung RI yang melakukan operasi tangkap tangan (OTT) anak buanya sendiri yang bertugas di Pidana Khusus (Pidsus) Kejati DKI Jakarta, YRM dan FYP.
Perlu apresiasi pada jaksa agung yang terus memulihkan kepercayaan masyarakat pada lembaga penegak hukum dan kini berani melakukan OTT kepada anggotanya sendiri, katanya, Kamis.
Dikatakan, ini gerakan nyata dan momentum dari jaksa agung, dan reaksi cepat unit intel Kejaksaan Agung yang menangkap pelaku lalu ditindak tegas, jadi tidak ada istilah melindungi korps, Jamwas dan Jampidsus harus gerak cepat terhadap kedua jaksa ini yang jelas terbukti bersalah memeras saksi. "Karena pemerasan dilakukan berkali kali dengan sengaja dalam fase Oktober sampai Desember 2019," katanya.
"Tidak boleh ditutup-tutupi lagi perilaku jaksa begini, harus transparan proses hukumnya dan kasus ini terungkap atas aduan dan kerjasama dengan masyarakat," katanya.
Setidaknya, kata dia, melihat kasus ini ada dua motivasi pelapor dalam hal ini dilihat dari sisi orang yang diperas oleh oknum jaksa tersebut, pertama sudah diberi uang (diperas) tetap juga saksi diancam masuk penjara oleh jaksa tersebut.
Walhasil saksi atau orang yang diperas merasa ditekan selanjutnya melaporkan kepada Jaksa Agung akhirnya jaksa yang menyelidiki perkara korupsi tersebut selain sudah menerima uang juga ikut merasakan proses hukum, jadi saksi dan oknum jaksa sama sama menjalani proses hukum. "Ini setidaknya yang terpikirkan oleh saksi," katanya.
Lebih lanjut, disebutkan, gerakan OTT jaksa ini menunjukkan kalau perintah pimpinan tertinggi amanah, jelas dan "clear", akan mudah dilaksanakan ke bawah dengan cepat, satu perintah komando sampai terungkap sumber masalah yaitu mental oknum jaksa nakal yang berakibat menjadikan nama tidak baik bagi institusi penegak hukum.
Perlu apresiasi pada jaksa agung yang terus memulihkan kepercayaan masyarakat pada lembaga penegak hukum dan kini berani melakukan OTT kepada anggotanya sendiri, katanya, Kamis.
Dikatakan, ini gerakan nyata dan momentum dari jaksa agung, dan reaksi cepat unit intel Kejaksaan Agung yang menangkap pelaku lalu ditindak tegas, jadi tidak ada istilah melindungi korps, Jamwas dan Jampidsus harus gerak cepat terhadap kedua jaksa ini yang jelas terbukti bersalah memeras saksi. "Karena pemerasan dilakukan berkali kali dengan sengaja dalam fase Oktober sampai Desember 2019," katanya.
"Tidak boleh ditutup-tutupi lagi perilaku jaksa begini, harus transparan proses hukumnya dan kasus ini terungkap atas aduan dan kerjasama dengan masyarakat," katanya.
Setidaknya, kata dia, melihat kasus ini ada dua motivasi pelapor dalam hal ini dilihat dari sisi orang yang diperas oleh oknum jaksa tersebut, pertama sudah diberi uang (diperas) tetap juga saksi diancam masuk penjara oleh jaksa tersebut.
Walhasil saksi atau orang yang diperas merasa ditekan selanjutnya melaporkan kepada Jaksa Agung akhirnya jaksa yang menyelidiki perkara korupsi tersebut selain sudah menerima uang juga ikut merasakan proses hukum, jadi saksi dan oknum jaksa sama sama menjalani proses hukum. "Ini setidaknya yang terpikirkan oleh saksi," katanya.
Lebih lanjut, disebutkan, gerakan OTT jaksa ini menunjukkan kalau perintah pimpinan tertinggi amanah, jelas dan "clear", akan mudah dilaksanakan ke bawah dengan cepat, satu perintah komando sampai terungkap sumber masalah yaitu mental oknum jaksa nakal yang berakibat menjadikan nama tidak baik bagi institusi penegak hukum.