Jakarta (ANTARA) - Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra menyatakan ketidaksetujuannya dengan hukuman mati bagi koruptor karena hidup teramat mahal dan tidak memberi kesempatan kepada terhukum menyesali perbuatannya.
"Kendati mengusulkan agar koruptor tak boleh diampuni, saya tidak setuju wacana hukuman mati untuk kasus apapun, termasuk korupsi. Itu tidak dapat diterima, meskipun orang itu memang bersalah," katanya saat mengisi seminar nasional di Universitas Paramadina Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan, sampai kapan dirinya menolak hukuman mati, dan mengusulkan kalau perlu hukuman seumur hidup diberlakukan dua kali atau berkali-kali.
Oleh karena itu, Azyumardi menyatakan pemberian grasi dan remisi untuk koruptor adalah sebuah kesalahan besar yang dapat mengirim pesan ke publik kalau korupsi dapat diampuni jika dilakukan oleh orang berusia uzur.
"Pesan yang salah itu, seakan kalau dilakukan orang tua yang sudah 70 tahun, itu boleh korupsi. Nanti setelah itu mengajukan grasi mungkin diampuni. Kira-kira begitu," ujarnya.
Ia kemudian mengutarakan pandangannya kepada audiens yang hadir dalam seminar tersebut bahwa seharusnya terpidana dihukum seumur hidup dibiarkan saja, jangan ada yang mengurangi hukumannya dengan alasan kasihan.
"Pemberian remisi dan grasi untuk koruptor saya tidak setuju. Karena korupsi itu extraordinary crime. Tidak bisa ditolerir dan jangan dikurang-kurangi dengan alasan apapun," ujar Azyumardi.
Wacana hukuman mati untuk koruptor bergulir ke publik setelah pertanyaan seorang siswa kelas XII SMK Negeri 57 Jakarta, Harli Hermansyah kepada Presiden Joko Widodo.
"Kenapa kita hanya penjara, tidak ada hukuman tentang hukuman mati?" tanya Harli kepada Presiden Joko Widodo dalam acara pentas #PrestasiTanpaKorupsi di Jakarta, Senin (9/12).
"Kendati mengusulkan agar koruptor tak boleh diampuni, saya tidak setuju wacana hukuman mati untuk kasus apapun, termasuk korupsi. Itu tidak dapat diterima, meskipun orang itu memang bersalah," katanya saat mengisi seminar nasional di Universitas Paramadina Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan, sampai kapan dirinya menolak hukuman mati, dan mengusulkan kalau perlu hukuman seumur hidup diberlakukan dua kali atau berkali-kali.
Oleh karena itu, Azyumardi menyatakan pemberian grasi dan remisi untuk koruptor adalah sebuah kesalahan besar yang dapat mengirim pesan ke publik kalau korupsi dapat diampuni jika dilakukan oleh orang berusia uzur.
"Pesan yang salah itu, seakan kalau dilakukan orang tua yang sudah 70 tahun, itu boleh korupsi. Nanti setelah itu mengajukan grasi mungkin diampuni. Kira-kira begitu," ujarnya.
Ia kemudian mengutarakan pandangannya kepada audiens yang hadir dalam seminar tersebut bahwa seharusnya terpidana dihukum seumur hidup dibiarkan saja, jangan ada yang mengurangi hukumannya dengan alasan kasihan.
"Kalau memang usianya pendek, lima tahun penjara, itu memang takdirnya lah. Jangan dikurang-kurangi masa tahanannya dengan alasan apapun. Alasan kemanusiaan macam-macam itu," katanya.
Menurut Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu, yang seharusnya digulirkan ke publik adalah wacana penolakan pemberian grasi dan remisi untuk kasus kejahatan luar biasa (extraordinary crime) seperti narkoba dan korupsi."Pemberian remisi dan grasi untuk koruptor saya tidak setuju. Karena korupsi itu extraordinary crime. Tidak bisa ditolerir dan jangan dikurang-kurangi dengan alasan apapun," ujar Azyumardi.
Wacana hukuman mati untuk koruptor bergulir ke publik setelah pertanyaan seorang siswa kelas XII SMK Negeri 57 Jakarta, Harli Hermansyah kepada Presiden Joko Widodo.
"Kenapa kita hanya penjara, tidak ada hukuman tentang hukuman mati?" tanya Harli kepada Presiden Joko Widodo dalam acara pentas #PrestasiTanpaKorupsi di Jakarta, Senin (9/12).