Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif membacakan puisi yang dibuatnya untuk mengenang Randi (21), mahasiswa asal Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari yang meninggal dunia saat unjuk rasa menolak revisi RKUHP dan UU KPK di gedung DPRD Sulawesi Tenggara.
"Terus terang saya bikin itu tengah malam jam 02.00 pagi, malah bukan malam lagi karena tidak bisa tidur. Itu setelah saya telepon ibunya Randi. Ibunya Randi bilang 'kasian anakku'", kata Syarif.
Syarif membacakan puisi tersebut dalam acara "Jangan Biarkan Lilin Perjuangan Pemberantasan Korupsi Padam" di gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Kamis.
Syarif pun membacakan puisi tersebut dengan suara bergetar. Berikut puisi yang dibacakan oleh Syarif.
"Anak laut mata di negeri, anak laut itu tumbuh di tanah cadas bebatuan Pantai Lakarinta, Pulau Muna. Tumbuh dari singkong dan jagung yang menembus cadas dan air laut yang menggarami hidupnya.
Tanpa keluh tanpa kesah menjalani hidup yang memang keras dari awalnya. Di mata La Sali dan Wa Nasrifa, dia adalah matahari di antara dua bulan belahan hati. La Sali tekun mengajari mataharinya, arah angin dan riak gelombang agar mampu membaca laut.
Wa Nasrifa tekun membibingnya mengenal aksara semampu yang dia pahami. La Sali sadar, membaca laut dengan hanya bermodal dayung dan kail tidak akan memuliakan mahatarinya. Satu-satunya asah, hanya pada ketekunan dan kekerasan hati mataharinya.
Sang anak laut, tumbuh sesuai kehendak alam menembus cadas menyelami karang. Sang anak laut tidak bermimpi menjadi matahari tetapi dilubuk hatinya dia bertekad meninggikan tiang perahu ayahnya. Melebarkan dapur ibunya dan meluaskan pikiran kakak dan adik-adik perempuannya.
Lewat bidik misi dia awali perantauannya, mengejar matahari menyelami cara memuliakan ikan bahkan disambi dengan menjadi kuli bangunan demi doa dan harapan orang tuanya
Hari Kamis 26 September 2019, Pantai Lakarinta tenang. Air semilir memanjakan ikan yang melompat riang di balik matahari sore. La Sali sedang melaut dengan kail dan jaring satu-satunya, demi matahari dan dua bulan yang merantau.
Burung laut bersuara lirih menghampiri perahunya tetapi tak dihiraukan karena angannya dipenuhi matahari dan dua bulan di tanah rantau. Ia tambatkan perahunya lalu menuju rumah dengan menghitung langkahnya tetapi kali ini berbeda karena kerabat menjemputnya dalam diam.
Ohaini.. ohainiii...bahasa muna, artinya ada apa ini.. ada apa ini. Tak ada suara, tak ada jawaban. Laut nusantara tiba-tiba dingin, ikan terdiam, nyirub menunduk.
Anak laut itu melejit jadi matahari, membumbung, menyebar sinarnya, melelehkan yang merenggut raganya dan jiwanya tetap hidup bergemuruh di dalam dada anak negeri yang menolak bersekutu dengan kebohongan dan kepalsuan. Duka anak laut, mengenang Randi".
Sebelumnya, KPK juga resmi mengabadikan nama Randi dan Yusuf, dua mahasiswa yang meninggal dunia saat unjuk rasa di gedung DPRD Sulawesi Tenggara sebagai nama auditorium di gedung Pusat Edukasi Antikorupsi (ACLC) KPK, Jakarta.
Sebelumnya auditorium yang berada di lantai 1 tersebut sudah sering digunakan untuk acara-acara yang diselenggarakan KPK dan hari ini resmi dinamakan Auditorium Randi dan Yusuf.
"Untuk mengenal KPK, maka kita harus mengenal ruangan ini," ucap Syarif usai meresmikan ruangan tersebut.
"Terus terang saya bikin itu tengah malam jam 02.00 pagi, malah bukan malam lagi karena tidak bisa tidur. Itu setelah saya telepon ibunya Randi. Ibunya Randi bilang 'kasian anakku'", kata Syarif.
Syarif membacakan puisi tersebut dalam acara "Jangan Biarkan Lilin Perjuangan Pemberantasan Korupsi Padam" di gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Kamis.
Syarif pun membacakan puisi tersebut dengan suara bergetar. Berikut puisi yang dibacakan oleh Syarif.
"Anak laut mata di negeri, anak laut itu tumbuh di tanah cadas bebatuan Pantai Lakarinta, Pulau Muna. Tumbuh dari singkong dan jagung yang menembus cadas dan air laut yang menggarami hidupnya.
Tanpa keluh tanpa kesah menjalani hidup yang memang keras dari awalnya. Di mata La Sali dan Wa Nasrifa, dia adalah matahari di antara dua bulan belahan hati. La Sali tekun mengajari mataharinya, arah angin dan riak gelombang agar mampu membaca laut.
Wa Nasrifa tekun membibingnya mengenal aksara semampu yang dia pahami. La Sali sadar, membaca laut dengan hanya bermodal dayung dan kail tidak akan memuliakan mahatarinya. Satu-satunya asah, hanya pada ketekunan dan kekerasan hati mataharinya.
Sang anak laut, tumbuh sesuai kehendak alam menembus cadas menyelami karang. Sang anak laut tidak bermimpi menjadi matahari tetapi dilubuk hatinya dia bertekad meninggikan tiang perahu ayahnya. Melebarkan dapur ibunya dan meluaskan pikiran kakak dan adik-adik perempuannya.
Lewat bidik misi dia awali perantauannya, mengejar matahari menyelami cara memuliakan ikan bahkan disambi dengan menjadi kuli bangunan demi doa dan harapan orang tuanya
Hari Kamis 26 September 2019, Pantai Lakarinta tenang. Air semilir memanjakan ikan yang melompat riang di balik matahari sore. La Sali sedang melaut dengan kail dan jaring satu-satunya, demi matahari dan dua bulan yang merantau.
Burung laut bersuara lirih menghampiri perahunya tetapi tak dihiraukan karena angannya dipenuhi matahari dan dua bulan di tanah rantau. Ia tambatkan perahunya lalu menuju rumah dengan menghitung langkahnya tetapi kali ini berbeda karena kerabat menjemputnya dalam diam.
Ohaini.. ohainiii...bahasa muna, artinya ada apa ini.. ada apa ini. Tak ada suara, tak ada jawaban. Laut nusantara tiba-tiba dingin, ikan terdiam, nyirub menunduk.
Anak laut itu melejit jadi matahari, membumbung, menyebar sinarnya, melelehkan yang merenggut raganya dan jiwanya tetap hidup bergemuruh di dalam dada anak negeri yang menolak bersekutu dengan kebohongan dan kepalsuan. Duka anak laut, mengenang Randi".
Sebelumnya, KPK juga resmi mengabadikan nama Randi dan Yusuf, dua mahasiswa yang meninggal dunia saat unjuk rasa di gedung DPRD Sulawesi Tenggara sebagai nama auditorium di gedung Pusat Edukasi Antikorupsi (ACLC) KPK, Jakarta.
Sebelumnya auditorium yang berada di lantai 1 tersebut sudah sering digunakan untuk acara-acara yang diselenggarakan KPK dan hari ini resmi dinamakan Auditorium Randi dan Yusuf.
"Untuk mengenal KPK, maka kita harus mengenal ruangan ini," ucap Syarif usai meresmikan ruangan tersebut.