Jakarta (ANTARA) - Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan penindakan kasus korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pada 2019 turun drastis menjadi hanya 271 kasus.
"Dalam 5 tahun ke belakang terjadi penurunan sangat drastis dalam konteks penyidikan korupsi. Pada 2017 ada 576 perkara yang disidik, kemudian pada 2018 menjadi 454 kasus, pada 2019 menurun jadi 271. Penurunan bukan hanya konteks kasus tapi juga tersangka yang ditetapkan penegak hukum," kata peneliti ICW Wana Alamsyah di kantor ICW Jakarta, Selasa.
Wana menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers "Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2019".
Pada 2019, ICW mencatat ada 271 kasus korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan Agung, Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan jumlah tersangka 580 orang, kerugian negara Rp8,4 triliun, jumlah suap Rp200 miliar, pungutan liar Rp3,7 miliar dan jumlah pencucian uang Rp108 miliar.
"Turunnya jumlah penanganan perkara korupsi terjadi di institusi kejaksaan dan kepolisian sementara kinerja penindakan korupsi yang dilakukan oleh KPK sangat signifikan. Hal tersebut ditunjukkan dari meningkatnya penanganan perkara korupsi sejak tahun 2015 hingga 2019. Aktor yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pun tidak jarang memiliki kewenangan yang besar seperti menteri, kepala daerah, anggota legislatif bahkan penegak hukum," tambah Wana.
KPK pada 2019 menyidik 62 kasus dengan 155 aktor dan nilai kerugian negara Rp6,2 triliun dan nilai suap Rp200 miliar dan nilai pencucian uang Rp97 miliar. Jumlah kasus tersebut meningkat dibanding pada 2018 dengan KPK menyidik 57 kasus (dengan 261 tersangka) dan pada 2017 menangani 44 kasus (dengan 128 tersangka).
Dari 271 perkara yang ditangani 3 lembaga penegak hukum tersebut, perkara suap masih menjadi yang paling banyak yaitu 51 kasus dengan nilai suap Rp169,5 miliar dan nilai pencucian uang Rp46 miliar.
"Namun nilai kerugian negara akibat penyalahgunaan wewenang nilainya juga besar yaitu Rp6,3 triliun, ini yang perlu jadi perhatian penegak hukum. Ada kasus berdimensi lingkungan hidup yang juga dampaknya langsung dirasakan masyarakat itu sendiri entah tambang, hutan dan sebagainya. Hal itu disebabkan karena kepala daerah atau pemangku kepentingan mengeluarkan izin tidak sesuai prosedur sehingga merugikan keuangan negara," jelas Wana
Contoh kasus korupsi bermodus penyalahgunaan wewenang yang ditangani pada 2019 misalnya kasus dugaan korupsi penerbitan IUP (Izin Usaha Pertambangan) di Kabupaten Kotawaringin Timur yang melibatkan Supian Hadi selaku Bupati dan merugikan negara sebesar Rp5,8 triliun; kasus dugaan korupsi penawaran penjualan atau pengambilalihan IUP seluas 400 hektare di Jambi yang melibatkan anak perusahaan PT Antam, PT Indonesia Coal Resources dengan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp91,5 miliar serta kasus dugaan korupsi pemberian IUP pada Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Riau yang melibatkan mantan Kepala Dinas ESDM dengan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp30 miliar.
ICW juga mengungkapkan ada 6 jenis delik korupsi yang dikenakan ke pelaku korupsi dengan delik yang paling banyak dikenakan adalah kerugian keuangan negara sejumlah 194 kasus dengan nilai kerugian keuangan negara sebanyak Rp8,4 triliun.
Selanjutnya ada pasal suap-menyuap (50 kasus) dengan nilai Rp169,5 miliar; pemerasan (17 kasus) dengan nilai Rp100 juta dan pungli Rp3,6 miliar; gratifikasi (6 kasus) senilai Rp31,2 miliar; pencucian uang (3 kasus) senilai Rp108 miliar dan penggelapan dalam jabatan (1 kasus) yang menyebabkan kerugian keuangan negara senilai Rp91,2 juta.
"Tahun 2019 tidak ada satu pun kasus dijerat dengan pasal benturan kepentingan dalam pengadaan dan perbuatan curang, padahal kedua hal ini diatur dalam UU Tipikor," tambah Wana.
Penelitian tersebut diambil dari media massa, media daring dan siaran pers penegak hukum periode 1 Januari – 31 Desember 2019
Wana menambahkan bahwa berdasarkan "Rule of Law Index" tahun 2019 yang dikeluarkan oleh "World Justice Project", Indonesia menempati urutan ke-62 dari 126 negara dengan skor 0,52 dari skala 0-1.
Sedangkan dalam parameter tidak adanya korupsi, Indonesia menempati urutan ke 97 dari 126 negara dengan skor 0,38 dari skala 0-1. Di tingkat regional, Indonesia menempati urutan ke-14 dari 15 negara terkait dengan parameter tidak adanya korupsi.
"Dalam 5 tahun ke belakang terjadi penurunan sangat drastis dalam konteks penyidikan korupsi. Pada 2017 ada 576 perkara yang disidik, kemudian pada 2018 menjadi 454 kasus, pada 2019 menurun jadi 271. Penurunan bukan hanya konteks kasus tapi juga tersangka yang ditetapkan penegak hukum," kata peneliti ICW Wana Alamsyah di kantor ICW Jakarta, Selasa.
Wana menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers "Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2019".
Pada 2019, ICW mencatat ada 271 kasus korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan Agung, Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan jumlah tersangka 580 orang, kerugian negara Rp8,4 triliun, jumlah suap Rp200 miliar, pungutan liar Rp3,7 miliar dan jumlah pencucian uang Rp108 miliar.
"Turunnya jumlah penanganan perkara korupsi terjadi di institusi kejaksaan dan kepolisian sementara kinerja penindakan korupsi yang dilakukan oleh KPK sangat signifikan. Hal tersebut ditunjukkan dari meningkatnya penanganan perkara korupsi sejak tahun 2015 hingga 2019. Aktor yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pun tidak jarang memiliki kewenangan yang besar seperti menteri, kepala daerah, anggota legislatif bahkan penegak hukum," tambah Wana.
KPK pada 2019 menyidik 62 kasus dengan 155 aktor dan nilai kerugian negara Rp6,2 triliun dan nilai suap Rp200 miliar dan nilai pencucian uang Rp97 miliar. Jumlah kasus tersebut meningkat dibanding pada 2018 dengan KPK menyidik 57 kasus (dengan 261 tersangka) dan pada 2017 menangani 44 kasus (dengan 128 tersangka).
Dari 271 perkara yang ditangani 3 lembaga penegak hukum tersebut, perkara suap masih menjadi yang paling banyak yaitu 51 kasus dengan nilai suap Rp169,5 miliar dan nilai pencucian uang Rp46 miliar.
"Namun nilai kerugian negara akibat penyalahgunaan wewenang nilainya juga besar yaitu Rp6,3 triliun, ini yang perlu jadi perhatian penegak hukum. Ada kasus berdimensi lingkungan hidup yang juga dampaknya langsung dirasakan masyarakat itu sendiri entah tambang, hutan dan sebagainya. Hal itu disebabkan karena kepala daerah atau pemangku kepentingan mengeluarkan izin tidak sesuai prosedur sehingga merugikan keuangan negara," jelas Wana
Contoh kasus korupsi bermodus penyalahgunaan wewenang yang ditangani pada 2019 misalnya kasus dugaan korupsi penerbitan IUP (Izin Usaha Pertambangan) di Kabupaten Kotawaringin Timur yang melibatkan Supian Hadi selaku Bupati dan merugikan negara sebesar Rp5,8 triliun; kasus dugaan korupsi penawaran penjualan atau pengambilalihan IUP seluas 400 hektare di Jambi yang melibatkan anak perusahaan PT Antam, PT Indonesia Coal Resources dengan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp91,5 miliar serta kasus dugaan korupsi pemberian IUP pada Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Riau yang melibatkan mantan Kepala Dinas ESDM dengan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp30 miliar.
ICW juga mengungkapkan ada 6 jenis delik korupsi yang dikenakan ke pelaku korupsi dengan delik yang paling banyak dikenakan adalah kerugian keuangan negara sejumlah 194 kasus dengan nilai kerugian keuangan negara sebanyak Rp8,4 triliun.
Selanjutnya ada pasal suap-menyuap (50 kasus) dengan nilai Rp169,5 miliar; pemerasan (17 kasus) dengan nilai Rp100 juta dan pungli Rp3,6 miliar; gratifikasi (6 kasus) senilai Rp31,2 miliar; pencucian uang (3 kasus) senilai Rp108 miliar dan penggelapan dalam jabatan (1 kasus) yang menyebabkan kerugian keuangan negara senilai Rp91,2 juta.
"Tahun 2019 tidak ada satu pun kasus dijerat dengan pasal benturan kepentingan dalam pengadaan dan perbuatan curang, padahal kedua hal ini diatur dalam UU Tipikor," tambah Wana.
Penelitian tersebut diambil dari media massa, media daring dan siaran pers penegak hukum periode 1 Januari – 31 Desember 2019
Wana menambahkan bahwa berdasarkan "Rule of Law Index" tahun 2019 yang dikeluarkan oleh "World Justice Project", Indonesia menempati urutan ke-62 dari 126 negara dengan skor 0,52 dari skala 0-1.
Sedangkan dalam parameter tidak adanya korupsi, Indonesia menempati urutan ke 97 dari 126 negara dengan skor 0,38 dari skala 0-1. Di tingkat regional, Indonesia menempati urutan ke-14 dari 15 negara terkait dengan parameter tidak adanya korupsi.