Jakarta (ANTARA) - Presidium lembaga kemanusiaan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) dr Yogi Prabowo mengatakan sudah saatnya mengelompokkan pasien COVID-19 berdasarkan tingkat keparahan atau kegawatdaruratan serta mendistribusi pasien ke fasilitas kesehatan sesuai levelnya.
"Saat inilah perlu dilakukan disaster triage atau triase bencana yakni proses memilah dan mengelompokkan pasien COVID-19 sesuai severity atau tingkat keparahannya," kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Triase bencana tersebut memiliki peranan penting dalam perawatan pasien termasuk pengaturan darurat melalui pengelompokan serta memprioritaskan pasien secara efisien sesuai dengan tampilan medis pasien. Apalagi saat ini tingkat kematian akibat COVID-19 mencapai sekitar delapan persen.
Pengelompokan itu dibutuhkan sebab meskipun pemerintah menyiapkan berbagai Rumah Sakit (RS) rujukan, macetnya sistem rujukan antarfasilitas kesehatan masih terjadi.
Di satu sisi, kata dia, pemerintah sudah menyiapkan RS rujukan COVID-19 di antaranya RS Persahabatan, RSPI Sulianti Saroso, RSPAD Gatot Subroto, bahkan ditambah dengan RS lainnya yakni RS Fatmawati, RS Pelni dan RSKD Duren Sawit.
Tidak hanya itu, ada juga upaya-upaya lain dengan menyiapkan ratusan ICU untuk merawat pasien COVID-19 di RS Pertamina Jaya, ratusan tempat tidur di RSUD Pasar Minggu serta ribuan tempat tidur untuk menangani pasien di Wisma Atlet.
Sementara di sisi lain, ia mengatakan macetnya sistem rujukan antarfasilitas kesehatan tersebut masih terjadi. Selain itu, Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) juga tidak berjalan lancar. Bahkan, ada pasien yang meninggal di ambulance atau di jalan saat menuju fasilitas kesehatan.
Selain itu, terdapat pula potret lain yang dapat dilihat dari pengalaman negara lain menangani COVID-19 termasuk kematian pasien-pasien selain akibat gagal pernafasan, bisa disebabkan oleh masalah jantung atau miokarditis yang mengakibatkan pasien drop secara tiba-tiba.
Hal ini berarti untuk pasien COVID-19 kategori berat perlu penanganan tim ICU yang multidisiplin atau hal itu tidak bisa dilakukan di ICU yang tidak memiliki tim lengkap terutama kardiolog.
"Sementara saat ini banyak rencana menyediakan ICU-ICU yang ditingkatkan, namun terkendala sumber daya manusia tim yang lengkap," katanya.
Oleh sebab itu perlu dilakukan pemetaan level kemampuan fasilitas kesehatan dan rumah sakit untuk mendistribusikan pasien sesuai dengan tingkat keparahannya sehingga dapat menekan angka kematian akibat COVID-19.
Ia menyarankan untuk mempermudah dan memotong jalur komunikasi berjenjang, dapat pula dibentuk forum rujukan COVID-19 yang beranggotakan para direktur rumah sakit.
"Yang terpenting pula dalam triase bencana harus ada komando sehingga prosesnya dapat berjalan lancar,"ujar dia.
"Saat inilah perlu dilakukan disaster triage atau triase bencana yakni proses memilah dan mengelompokkan pasien COVID-19 sesuai severity atau tingkat keparahannya," kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Triase bencana tersebut memiliki peranan penting dalam perawatan pasien termasuk pengaturan darurat melalui pengelompokan serta memprioritaskan pasien secara efisien sesuai dengan tampilan medis pasien. Apalagi saat ini tingkat kematian akibat COVID-19 mencapai sekitar delapan persen.
Pengelompokan itu dibutuhkan sebab meskipun pemerintah menyiapkan berbagai Rumah Sakit (RS) rujukan, macetnya sistem rujukan antarfasilitas kesehatan masih terjadi.
Di satu sisi, kata dia, pemerintah sudah menyiapkan RS rujukan COVID-19 di antaranya RS Persahabatan, RSPI Sulianti Saroso, RSPAD Gatot Subroto, bahkan ditambah dengan RS lainnya yakni RS Fatmawati, RS Pelni dan RSKD Duren Sawit.
Tidak hanya itu, ada juga upaya-upaya lain dengan menyiapkan ratusan ICU untuk merawat pasien COVID-19 di RS Pertamina Jaya, ratusan tempat tidur di RSUD Pasar Minggu serta ribuan tempat tidur untuk menangani pasien di Wisma Atlet.
Sementara di sisi lain, ia mengatakan macetnya sistem rujukan antarfasilitas kesehatan tersebut masih terjadi. Selain itu, Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) juga tidak berjalan lancar. Bahkan, ada pasien yang meninggal di ambulance atau di jalan saat menuju fasilitas kesehatan.
Selain itu, terdapat pula potret lain yang dapat dilihat dari pengalaman negara lain menangani COVID-19 termasuk kematian pasien-pasien selain akibat gagal pernafasan, bisa disebabkan oleh masalah jantung atau miokarditis yang mengakibatkan pasien drop secara tiba-tiba.
Hal ini berarti untuk pasien COVID-19 kategori berat perlu penanganan tim ICU yang multidisiplin atau hal itu tidak bisa dilakukan di ICU yang tidak memiliki tim lengkap terutama kardiolog.
"Sementara saat ini banyak rencana menyediakan ICU-ICU yang ditingkatkan, namun terkendala sumber daya manusia tim yang lengkap," katanya.
Oleh sebab itu perlu dilakukan pemetaan level kemampuan fasilitas kesehatan dan rumah sakit untuk mendistribusikan pasien sesuai dengan tingkat keparahannya sehingga dapat menekan angka kematian akibat COVID-19.
Ia menyarankan untuk mempermudah dan memotong jalur komunikasi berjenjang, dapat pula dibentuk forum rujukan COVID-19 yang beranggotakan para direktur rumah sakit.
"Yang terpenting pula dalam triase bencana harus ada komando sehingga prosesnya dapat berjalan lancar,"ujar dia.