Jakarta (ANTARA) - Setelah tiga bulan 10 hari jeda dan tak terdengar aktivitasnya, Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda kembali meletus pada Jumat (10/4) malam pukul 22.35 WIB hingga Sabtu pagi.

Letusan kali ini cukup kuat dan mengejutkan warga di beberapa provinsi. Apalagi letusan ini terjadi di tengah kecemasan adanya wabah virus corona jenis baru (COVID-19).

Sebelum letusan kali ini, Gunung Anak Krakatau meletus dan menyemburkan kolom abu setinggi 1.000 meter pada Selasa, 31 Desember 2019 pukul 06.51 WIB. Sejak itu vakum dan meletus lagi Jumat lalu.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengamati adanya kolom abu tebal berwarna kelabu hingga hitam dengan tinggi 1.000 meter di atas puncak atau sekitar 1.157 meter di atas permukaan laut saat gunung itu meletus. Kolom abu pada letusan akhir 2019 itu condong ke arah selatan.

Pada letusan 10 April 2020, Anak Krakatau menyemburkan abu vulkanik sekitar 657 meter di atas permukaan laut (dpl). Letusan atau erupsi tersebut terekam dalam seismograf dengan amplitudo maksimum 40 mm.

Aplikasi Magma Indonesia, magma.vsi.esdm.id juga menyebutkan aktivitas seismik ditandai dengan erupsi tremor yang terjadi terus-menerus.

Berdasarkan pantauan kamera pengawas atau CCTV pada Pos Pemantauan Gunung Anak Krakatau, abu vulkanik berwarna hitam dan abu-abu bergerak ke arah timur. Ketinggiannya sekitar 500 meter dari dasar kawah.

PVMBG menyebutkan tingkat aktivitas gunung itu berada pada Level II atau Waspada. Dengan status itu, masyarakat atau wisatawan tidak diperbolehkan mendekati kawah dalam radius dua kilometer dari kawah.

Rangkaian
Ternyata letusan menjelang tengah malam tersebut merupakan awal dari rangkaian letusan berikutnya.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan berdasarkan laporan PVMBG, letusan itu berlangsung hingga Sabtu pagi. Letusan terus berlangsung sampai pada pukul 05.44 WIB.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan (Kapusdatinkom) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo melalui keterangan pers yang diterima ANTARA juga mengatakan letusan terekam
di seismograf dengan amplitudo maksimum 40 mm dan berdurasi sekitar 38 menit 4 detik.

Berdasarkan laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lampung Selatan tentang kondisi mutakhir di Kecamatan Rajabasa pada Sabtu, 11 April 2020 pukul 04.00 WIB, tidak tercium bau belerang dan debu vulkanik.

Hujan mulai turun dan masyarakat di sana, terutama Desa Way Mulih, Way Mulih Timur dan Kunjir, sudah berangsur-angsur kembali ke rumah masing-masing. Namun warga masih berjaga-jaga dan ronda untuk memantau kondisi yang ada.

Sejumlah upaya telah dilakukan di antaranya oleh Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD Kabupaten Lampung yang telah menghubungi tim pemantau Gunung Anak Krakatau.

Menurut hasil pantauan tim tersebut status gunung tersebut masih Waspada (Level II) dengan aktivitas vulkanik yang sudah mulai mereda. Sementara masyarakat diimbau untuk tidak panik.

Kemudian, TRC BPBD Kabupaten Lampung Selatan juga menggunakan mobil pertolongan (rescue) untuk menyampaikan pengumuman kepada masyarakat agar tetap tenang karena aktivitas Gunung Api Krakatau sudah reda.

Personel TNI dan Polri masih siaga di masyarakat untuk membantu mengevakuasi warga. Sedangkan aparat desa dan camat setempat sudah memberikan arahan kepada warga di wilayah daratan yang dekat dengan gunung di tengah laut itu.

Tsunami
Letusan Anak Krakatau kali ini juga mengingatkan letusan dahsyat pada 22 Desember 2018. Saat itu, ratusan warga yang tinggal di pulau-pulau terdekatnya harys dievakuasi ke Pulau Sumatera.

Mereka diangkut dengan kapal milik PT ASDP ke Pelabuhan Bakauheni sebelum ditampung di pengungsian di Kalianda (Lampung Selatan). Letusan tahun itu menimbulkan gelombang dahsyat (tsunami) yang menerabas permukiman di dekat pantai.

Saat itu, tsunami dahsyat terjadi sepanjang pantai Pandeglang (Provinsi Banten). Tak sedikit orang meninggal dan permukiman pinggir pantai porak-poranda.

Pada letusan kali ini, menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), letusan Gunung Anak Krakatau yang terjadi sejak Jumat (10/4) malam hingga 11 April 2020 pukul 06.00 WIB tidak memicu terjadinya kenaikan permukaan air laut.

Hasil monitoring muka laut menggunakan "tide gauge" di Pantai Kota Agung, Pelabuhan Panjang, Binuangen, dan Marina Jambu menunjukkan tidak ada anomali perubahan muka laut.

Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono menjelaskan, berdasarkan
hasil pemantauan (monitoring) muka laut menggunakan Radar Wera yang berlokasi di Kahai, Lampung dan Tanjung Lesung, Provinsi Banten, tidak menunjukkan adanya anomali muka laut pada waktu yang sama.

Karena itu, BMKG menyimpulkan bahwa letusan Gunung Anak Krakatau pada Jumat malam tidak memicu terjadinya tsunami.

Lemah
Hasil monitoring kegempaan BMKG tepat pada saat terjadinya erupsi pukul 21.58 WIB dan pukul 22.35 WIB menunjukkan bahwa sensor BMKG tidak mencatat adanya aktivitas seismik.

Letusan kali ini berdasarkan catatan sensor BMKG lebih lemah dibandingkan erupsi yang terjadi pada 22 Desember 2018.

Namun demikian, BMKG mencatat ada gempa di Selat Sunda berdasarkan hasil monitoring seismik pada pukul 22.59 WIB hingga 23.00 WIB, baik eksisting maupun sensor baru yang dipasang pada 2019.

Sensor seismik BMKG tersebut adalah CGJI di Cigeulis, Banten, WLJI di Wonosalam (Banten), PSSM di Pematang Sawah, Lampung, LLSM di Limau (Lampung), KASI di Kota Agung (Lampung), CSJI di Ciracap (Jawa Barat) dan KLSI di Kotabumi (Lampung).

Hasil analisis BMKG terkait gempa tersebut menunjukkan terjadinya gempa tektonik di Selat Sunda pada pukul 22.59 WIB dengan magnitudo 2,4 dengan episenter terletak pada koordinat 6,66 lintang selatan (LS) dan 105,14 bujur timur (BT).

Tepatnya di laut pada jarak 70 kilometer (km) arah selatan barat daya Gunung Anak Krakatau di kedalaman 13 km.

Warga Pasauran, Cinangka di Kabupaten Serang hingga Carita di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, sempat mendengar suara dentuman saat terjadinya letusan Gunung Anak Krakatau, Jumat malam.

Karena merasa khawatir akan terjadi tsunami seperti tahun 2018, sebagian warga mengungsi ke perbukitan. Tsunami tahun itu menimbulkan trauma yang masih membekas.

Warga pun terus waspada karena berdasarkan pengalaman selama ini, letusan Anak Krakatau berdurasi panjang. Artinya, frekuensinya rutin seperti rangkaian yang terus-menerus meski skalanya kecil, namun sekali waktu membahayakan.

Di tengah kecemasan akibat virus corona, letusan Anak Krakatau menambah beban pikiran banyak warga. Terutama mereka yang menjadi korban tsunami akibat runtuhnya Anak Krakatau pada 22 Desember 2018.

Tak berlebihan kiranya disandarkan harapan dan doa agar suasana yang sudah sulit seperti ini tidak bertambah sulit karena letusan Anak Krakatau.

Seperti yang sudah disampaikan jajaran pemerintah, warga diharapkan untuk tetap tenang, namun tetap menjaga kewaspadaan. Aparat diyakini terus memantau situasi dan selalu berada di tengah masyarakat.

Pewarta : Sri Muryono
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024