Yogyakarta (ANTARA) - Alat uji cepat COVID-19 atau rapid diagnostic test (RDT) dengan nama "RI-GHA 19" karya para peneliti Indonesia siap diluncurkan pada Mei 2020 ini.
"Selain biayanya yang murah, rapid diagnostic test ini memiliki kelebihan dapat menadeteksi cepat 5-10 menit, mudah, praktis, sensitifitas yang tinggi serta sangat spesifik," kata Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM Prof Sofia Mubarika Haryana melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Jumat.
Rencananya peluncuran alat uji cepat COVID-19 karya anak bangsa ini akan dilakukan oleh Presiden RI Joko Widodo.
Sofia Mubarika yang biasa disapa Prof Rika memimpin inovasi RDT COVID-19 yang dinisiasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk mendeteksi IgM dan IgG yang diproduksi oleh tubuh untuk melawan COVID-19.
Ia mengatakan dari keseluruhan produksi RDT dengan jumlah terbatas 10.000 tes ini, sebanyak 4.000 tes akan dilakukan uji validasi untuk mengetahui tingkat akurasinya di masyarakat.
Uji validasi akan dilakukan di RSUP Dr. Sardjito, Rumah Sakit Akademik UGM, RSUD Jogja, RSUP Dr. Kariadi Semarang, dan RSUD Dr. Moewardi Solo, serta RSUD Dr. Soetomo dan RS Unair, Surabaya.
Rapid Diagnostic Non-PCR ini, kata dia, selain dapat digunakan untuk skrining, juga dapat digunakan untuk memonitor orang tanpa gejala (OTG), orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), atau post infeksi.
"Mudah-mudahan hasil uji validitas bagus dan akurasinya tinggi, sehingga dapat digunakan untuk 'massive screening' di masyarakat," kata dia.
Sebelumnya, BPPT mengundang dan mengajak beberapa peneliti Indonesia, termasuk Rika, untuk bergabung melakukan riset penanganan COVID-19.
"Kebetulan penelitian saya sebelumnya adalah mengenai virus yang terkait dengan kanker, yaitu Epstein-Barr Virus (EBV). Saya juga mempelajari bidang imunologi dan biologi molekular, sehingga saya bersedia bergabung," kata dia.
Dalam perkembangannya, terdapat 6 bidang inovasi penelitian yang menjadi fokus BPPT, salah satunya adalah rapid diagnostic test. Prof. Rika yang sebelumnya pernah memiliki pengalaman untuk membuat rapid diagnostic test untuk Epstein-Barr Virus (EBV) pada pasien dengan kanker nasofaring, kemudian memilih bergabung melakukan inovasi penelitian rapid diagnostic test.
Dalam penelitian itu, ia menggandeng peneliti lain, yaitu Prof Tri Wibawa ahli virologi sekaligus Guru Besar FK-KMK UGM serta Prof Mulyanto, alumni FK-KMK UGM yang juga seorang peneliti Laboratorium Hepatika Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Bergabung pula Prof Fedik Abdul Rantam, ahli virologi dan Prof Cita Rosita Sigit Prakoeswa, Guru Besar Universitas Airlangga Surabaya. Dengan tim tersebut, produk rapid diagnostic test ini diberi nama RI-GHA yang merupakan kepanjangan dari Republik Indonesia - Gadjah Mada - Hepatika - Airlangga.
Menurut dia, uji cepat Non-PCR ini dapat dilakukan di mana saja, seperti jalan, sekolah, pasar, stasiun, bandara, dan lainnya.
"Harapannya juga dapat dikirimkan ke pelosok-pelosok daerah, sehingga masyarakat dapat melakukannya secara mandiri, dengan sebelumnya dilatih cara penggunaannya melalui televisi nasional," kata Rika.
"Selain biayanya yang murah, rapid diagnostic test ini memiliki kelebihan dapat menadeteksi cepat 5-10 menit, mudah, praktis, sensitifitas yang tinggi serta sangat spesifik," kata Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM Prof Sofia Mubarika Haryana melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Jumat.
Rencananya peluncuran alat uji cepat COVID-19 karya anak bangsa ini akan dilakukan oleh Presiden RI Joko Widodo.
Sofia Mubarika yang biasa disapa Prof Rika memimpin inovasi RDT COVID-19 yang dinisiasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk mendeteksi IgM dan IgG yang diproduksi oleh tubuh untuk melawan COVID-19.
Ia mengatakan dari keseluruhan produksi RDT dengan jumlah terbatas 10.000 tes ini, sebanyak 4.000 tes akan dilakukan uji validasi untuk mengetahui tingkat akurasinya di masyarakat.
Uji validasi akan dilakukan di RSUP Dr. Sardjito, Rumah Sakit Akademik UGM, RSUD Jogja, RSUP Dr. Kariadi Semarang, dan RSUD Dr. Moewardi Solo, serta RSUD Dr. Soetomo dan RS Unair, Surabaya.
Rapid Diagnostic Non-PCR ini, kata dia, selain dapat digunakan untuk skrining, juga dapat digunakan untuk memonitor orang tanpa gejala (OTG), orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), atau post infeksi.
"Mudah-mudahan hasil uji validitas bagus dan akurasinya tinggi, sehingga dapat digunakan untuk 'massive screening' di masyarakat," kata dia.
Sebelumnya, BPPT mengundang dan mengajak beberapa peneliti Indonesia, termasuk Rika, untuk bergabung melakukan riset penanganan COVID-19.
"Kebetulan penelitian saya sebelumnya adalah mengenai virus yang terkait dengan kanker, yaitu Epstein-Barr Virus (EBV). Saya juga mempelajari bidang imunologi dan biologi molekular, sehingga saya bersedia bergabung," kata dia.
Dalam perkembangannya, terdapat 6 bidang inovasi penelitian yang menjadi fokus BPPT, salah satunya adalah rapid diagnostic test. Prof. Rika yang sebelumnya pernah memiliki pengalaman untuk membuat rapid diagnostic test untuk Epstein-Barr Virus (EBV) pada pasien dengan kanker nasofaring, kemudian memilih bergabung melakukan inovasi penelitian rapid diagnostic test.
Dalam penelitian itu, ia menggandeng peneliti lain, yaitu Prof Tri Wibawa ahli virologi sekaligus Guru Besar FK-KMK UGM serta Prof Mulyanto, alumni FK-KMK UGM yang juga seorang peneliti Laboratorium Hepatika Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Bergabung pula Prof Fedik Abdul Rantam, ahli virologi dan Prof Cita Rosita Sigit Prakoeswa, Guru Besar Universitas Airlangga Surabaya. Dengan tim tersebut, produk rapid diagnostic test ini diberi nama RI-GHA yang merupakan kepanjangan dari Republik Indonesia - Gadjah Mada - Hepatika - Airlangga.
Menurut dia, uji cepat Non-PCR ini dapat dilakukan di mana saja, seperti jalan, sekolah, pasar, stasiun, bandara, dan lainnya.
"Harapannya juga dapat dikirimkan ke pelosok-pelosok daerah, sehingga masyarakat dapat melakukannya secara mandiri, dengan sebelumnya dilatih cara penggunaannya melalui televisi nasional," kata Rika.