Mataram (ANTARA) - Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang fungsinya kini diemban oleh Satuan Tugas Penanganan COVID-19 berulangkali menghimbau masyarakat supaya tidak memberikan label atau stigma negatif kepada mereka yang positif terpapar COVID-19.
       
COVID-19 itu sendiri adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis virus corona baru. Virus baru dan penyakit yang disebabkannya tidak dikenal sebelum adanya wabah di Wuhan Tiongkok pada Desember 2019. COVID-19 itu saat ini menjadi pandemi di banyak negara di seluruh dunia. 
       
Dalam kaitan ini, Satuan Tugas Penanganan COVID-19 juga berulangkali menyatakan, terpapar virus corona bukan aib, sehingga yang seharusnya dijauhi adalah virusnya, dan bukan orang yang terkena virus tersebut. 
       
Jangan sampai terjadi, misalnya, seorang pimpinan di suatu lembaga, tanpa mengetahui kebenaran langsung dan hanya berangkat dari dugaan, memberi hukuman sosial terhadap seorang stafnya dengan memberi pengumuman agar berhati-hati terhadap yang bersangkutan karena dinilainya sudah terpapar COVID-19.
       
Dalam menghadapi fenomena sosial yang satu ini para pimpinan di lembaga manapun serta para relawan memiliki peran penting untuk meluruskan stigma negatif yang berkembang. Dalam hubungan ini, rumus menghadapi virus Corona adalah ”tidak takut, tapi waspada”.
       
Wabah COVID-19 dapat ditekan penyebarannya jika segenap warga mengedepankan sikap jujur dan bertanggung jawab pada diri sendiri dan orang lain, dan para relawan memegang peran strategis dalam memutus mata rantai penyebaran wabah tersebut melalui edukasi yang dilakukannya kepada masyarakat. 
       
Kiprah relawan adalah mengedukasi masyarakat dengan informasi yang benar dan tepat seputar virus corona, mulai dari pengertian, cara penularan, dan cara pencegahannya. Jadi, relawan medis berjuang langsung menangani pasien, dan relawan non-medis melakukan edukasi tentang bahaya COVID-19.
       
Saat melakukan edukasi, para relawan perlu memahami karakteristik masyarakat terlebih dahulu serta perlu menerapkan komunikasi publik dengan baik. Misalnya memakai bahasa yang tidak terlalu formal ketika berhadapan dengan masyarakat menengah ke bawah seperti di terminal dan di pasar. 
       
Warga masyarakat harus didatangi secara langsung serta diberi contoh bagaimana caranya mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak yang benar, selain bagaimana etikanya ketika seseorang batuk dan bersin. 
       
Cara yang relatif berbeda perlu dilakukan saat berhadapan dengan masyarakat menengah ke atas, tentunya dengan bahasa lebih formal yang juga bisa dilakukan melalui pemanfaatan media sosial (medsos) seperti facebook, instagram, dan twitter.
       
Saat melakukan edukasi, relawan harus bekerja berdasarkan sumber terpercaya seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Center for Disease Control (CDC), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Dinas Kesehatan (Dinkes). Edukasi yang bisa dilakukan antara lain terkait pola hidup bersih dan sehat (PHBS).
       
Khusus bagi warga masyarakat di mana pun yang mengalami gejala COVID-19 harus diminta untuk segera memeriksakan diri ke layanan kesehatan terdekat serta melakukan isolasi mandiri. 
       
Dalam kaitan ini, menurut para ahli kesehatan, gejala COVID-19 yang paling umum adalah demam, batuk kering, dan rasa lelah. Gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara bertahap.
       
Gejala lainnya yang mungkin dialami beberapa pasien meliputi rasa nyeri dan sakit, hidung tersumbat, sakit kepala, konjungtivitis, sakit tenggorokan, diare, kehilangan indera rasa atau penciuman, ruam pada kulit, atau perubahan warna jari tangan atau kaki. 
       
Terkait virus Corona itu, sampai sejauh ini tidak ada satu pun ahli kesehatan di Indonesia, bahkan di manca negara atau di dunia internasional yang bisa memprediksi kapan persisnya pandemi COVID-19 akan mereda. 
       
Di Indonesia malahan ada kekhawatiran bertambahnya cluster baru penularan COVID-19 terkait adanya kerumuman dalam jumlah besar, yakni terjadinya demo di berbagai kota yang memprotes pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja baru-baru ini serta akan adanya Pilkada serentak dalam waktu dekat.     
       
Bagaimanapun, di tengah pandemi COVID-19 yang terus melaju, dunia pendidikan tetap harus terus mendapatkan perhatian agar tidak terdampak buruk, sebab sudah barang tentu kita tidak menginginkan pandemi terus mengancam dunia pendidikan.
       
Dalam hubungan ini, menurut “Save The Children” Indonesia, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli kesehatan dan keselamatan anak-anak, selama pandemi diperkirakan lebih dari 60 juta anak didik di Indonesia harus melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
       
Tetapi berdasarkan data LSM itu, setidaknya ada sekitar 66 persen anak didik tidak bisa mengakses situs belajar, 75 persen guru tidak memiliki akses ke situs atau aplikasi belajar, dan 70 persen guru membutuhkan materi PJJ akibat banyaknya keterbatasan yang bersifat teknis.
       
Keterbatasan lain adalah ketidakmampuan ekonomi orangtua siswa. Misalnya saja di Grobogan Jawa Tengah, Catur, seorang anak laki-laki berusia 16 tahun terpaksa menjadi kuli bangunan agar dapat membeli smartphone, dan di Garut Jawa Barat, seorang ayah bahkan harus mencuri ponsel untuk kepentingan PJJ anaknya.
       
Sementara itu di Batam diberitakan seorang anak perempuan berumur 15 tahun sampai “menjual diri” demi membeli kuota internet selama pandemi corona, dan korban berasal dari keluarga yang sedang bermasalah dan jauh dari pengawasan orangtua.
       
Masih banyak lagi kasus siswa yang kesulitan PJJ karena kendala gadget dan internet. Tetapi pilihan PJJ terpaksa harus diambil, sebab jika tidak, anak-anak Indonesia yang belajar di sekolah berpotensi terinfeksi COVID-19.
       
Dalam kaitan itu pula Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim sudah mengucurkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tahap I dan II yang bisa dipakai untuk membeli paket data internet dan diatur dalam Permendikbud No. 19/2020 tentang Perubahan Petunjuk Teknis BOS Reguler.
       
Tetapi dana BOS tahap III terancam beku, sebab masih ada ribuan sekolah di berbagai daerah yang dikhabarkan belum melaporkan penggunaan dana BOS ke Kemendikbud.
       
Karenanya, perlu dipastikan bahwa penggunaan dana BOS dapat benar-benar tepat sasaran dan transparan. Karena itu pula “Save The Children” membuat petisi sebagai ajakan positif kepada sekolah-sekolah agar menggunakan dana BOS secara tepat sasaran dan melaporkan penggunaannya secara transparan.
       
Melalui petisi itu LSM tersebut juga meminta Kemendikbud agar terus mensosialisasikan dan memastikan dana BOS disalurkan kepada para guru dan murid yang paling membutuhkan.  
       
Selain itu kepada para orangtua dan wali murid dihimbau untuk mengawal anak-anaknya supaya belajar internet sehat guna menghindarkan pengaruh negatif dunia maya demi masa depan yang lebih baik bagi anak-anak dan dunia pendidikan di Indonesia. 
       
Berbagai upaya untuk menyelamatkan anak didik di masa pandemi COVID-19 harus terus dilakukan, tetapi upaya secara fisik saja tidak cukup. Harus ada upaya yang dilakukan secara transendental atau spiritual, yakni dengan berpikir positif dan bertawakkal kepada Yang Maha Kuasa.  
       
Maka, tepat apa yang pernah dikemukakan oleh Motivator Dr. Ibrahim Elfiky dalam bukunya “Terapi Berpikir Positif” bahwa perubahan positif dalam hidup hanya akan terjadi kalau kita berpikir postitif dan bertawakkal atau berserah diri kepada Allah. 
       
Dengan begitu kita akan mendapatkan tambahan energi, yakni kekuatan spritual untuk melakukan perubahan guna meraih masa depan cerah dan membanggakan bagi anak-anak didik yang merupakan calon-calon pemimpin di masa yang akan datang.  

*Penulis Dr. Elli Widia, S.Pd., MM.Pd adalah dosen pasca sarjana di Universitas Batam (Uniba) yang juga mengajar di SD Islam Nabilah Batam. 



 

Pewarta : Dr. Elli Widia, S.Pd., MM.Pd*
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024