Mataram (ANTARA) - Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat batal melakukan penahanan terhadap tersangka korupsi pengadaan benih jagung berinisial AP karena kembali dinyatakan positif terpapar COVID-19.
"Karena tersangka AP dinyatakan positif COVID-19, jadi kami belum bisa melakukan pemeriksaan dan juga penahanan," kata Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan di Mataram, Rabu.
Keterangan yang menyatakan tersangka AP positif COVID-19, kata Dedi, sesuai dengan hasil tes cepat antigen di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Mataram.
Dengan didampingi kuasa hukumnya, Emil Siain, tersangka AP melakukan tes cepat antigen di RSUD Kota Mataram. Pelaksanaan tes cepat dilaksanakan oleh tersangka berdasarkan rekomendasi penyidik kejaksaan.
"Jadi, setibanya di kantor kejaksaan, penyidik berinisiatif membawa langsung yang bersangkutan ke RSUD Kota Mataram. Setelah dites, hasilnya positif COVID-19," ujarnya.
Selanjutnya, penyidik berkoordinasi dengan Satgas COVID-19 Kota Mataram, kemudian tersangka AP diminta untuk menjalani isolasi mandiri.
Sesuai dengan rujukan Satgas COVID-19, kata Dedi, tersangka AP harus menjalani isolasi mandiri di Hotel Fizz, depan Universitas Mataram.
Dengan situasi demikian, Dedi mengatakan bahwa pihaknya akan kembali mengagendakan pemeriksaan untuk tersangka AP.
"Kapan itu, kita tunggu saja, pastinya kami periksa," kata Dedi.
Penasihat Hukum AP, Emil Siain, mengatakan bahwa sejauh ini kliennya sudah bersikap kooperatif.
Ia menegaskan bahwa pernyataan kliennya positif COVID-19 bukan sebuah rekayasa.
"Sekarang sudah terbukti 'kan. Walaupun dites di RSUD Kota Mataram, klien saya ini tetap dinyatakan positif COVID-19," kata Emil.
Oleh karena itu, Emil menegaskan bahwa kliennya tidak pernah mangkir dari panggilan jaksa. Karena setiap diagendakan, ketidakhadiran kliennya ke hadapan jaksa selalu disertai dengan keterangan jelas.
Untuk ketidakhadirannya pada panggilan pertama dan kedua, Emil menganggap alasan kliennya sudah cukup jelas karena terpapar COVID-19. Surat yang menyatakannya terpapar COVID-19 juga sudah disertai dengan keterangan medis dari pihak rumah sakit.
"Jadi, keterangan itu bukan cuma dari Rumah Sakit Harapan Keluarga, melainkan dari RSUD Kota Mataram," ucapnya.
Berikutnya, pada panggilan ketiga yang dikatakan oleh jaksa bahwa tersangka AP mangkir, Emil mengatakan bahwa hal tersebut tidak benar.
"Tidak ada klien saya mangkir, bukan begitu. Jadi, saya sendiri yang datang mengantarkan surat keterangan klien kami yang tidak hadir. Namun, ketika mengantar surat tersebut, saya tidak bertemu dengan kasidik-nya (Kepala Penyidik Pidsus Kejati NTB)," ujarnya.
Dalam kasus ini, hanya tersangka AP sebagai direktur pelaksana proyek dari PT Sinta Agro Mandiri (SAM) yang belum pernah menjalani pemeriksaan. Hal itu terpantau sejak penetapannya sebagai tersangka pada tanggal 9 Februari 2021.
Dalam penanganan perkara ini, pihak kejaksaan telah mengungkap peran AP sebagai tersangka bersama tiga orang lainnya. Tiga tersangka lainnya sudah menjalani pemeriksaan dan penahanan sejak Senin (12/4) di Rutan Polda NTB.
Mereka yang ditahan dengan status tahanan titipan jaksa adalah mantan Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) NTB Husnul Fauzi yang berperan sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) proyek.
Berikutnya IWW, pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek jagung pada tahun anggaran 2017 dan LIH direktur pelaksana proyek dari PT Wahana Banu Sejahtera (WBS).
Sebagai tersangka, mereka berempat disangkakan Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan/atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam penanganannya, penyidik telah menemukan angka kerugian negara senilai Rp15,45 miliar. Nominal itu muncul dari jumlah benih tidak bersertifikat dan gagal tanam.
Munculnya angka tersebut dari pengadaan yang dilaksanakan oleh dua perusahaan swasta yang berperan sebagai pelaksana proyek atau penyedia benih. Dalam perinciannya, kerugian negara dari PT WBS muncul angka Rp7 miliar, kemudian dari PT SAM sebesar Rp8,45 miliar.
Dari hasil penyidikan sejak Oktober 2020, penyidik kemudian memastikan bahwa munculnya kerugian negara yang cukup besar itu diduga akibat ulah para tersangka.
"Karena tersangka AP dinyatakan positif COVID-19, jadi kami belum bisa melakukan pemeriksaan dan juga penahanan," kata Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan di Mataram, Rabu.
Keterangan yang menyatakan tersangka AP positif COVID-19, kata Dedi, sesuai dengan hasil tes cepat antigen di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Mataram.
Dengan didampingi kuasa hukumnya, Emil Siain, tersangka AP melakukan tes cepat antigen di RSUD Kota Mataram. Pelaksanaan tes cepat dilaksanakan oleh tersangka berdasarkan rekomendasi penyidik kejaksaan.
"Jadi, setibanya di kantor kejaksaan, penyidik berinisiatif membawa langsung yang bersangkutan ke RSUD Kota Mataram. Setelah dites, hasilnya positif COVID-19," ujarnya.
Selanjutnya, penyidik berkoordinasi dengan Satgas COVID-19 Kota Mataram, kemudian tersangka AP diminta untuk menjalani isolasi mandiri.
Sesuai dengan rujukan Satgas COVID-19, kata Dedi, tersangka AP harus menjalani isolasi mandiri di Hotel Fizz, depan Universitas Mataram.
Dengan situasi demikian, Dedi mengatakan bahwa pihaknya akan kembali mengagendakan pemeriksaan untuk tersangka AP.
"Kapan itu, kita tunggu saja, pastinya kami periksa," kata Dedi.
Penasihat Hukum AP, Emil Siain, mengatakan bahwa sejauh ini kliennya sudah bersikap kooperatif.
Ia menegaskan bahwa pernyataan kliennya positif COVID-19 bukan sebuah rekayasa.
"Sekarang sudah terbukti 'kan. Walaupun dites di RSUD Kota Mataram, klien saya ini tetap dinyatakan positif COVID-19," kata Emil.
Oleh karena itu, Emil menegaskan bahwa kliennya tidak pernah mangkir dari panggilan jaksa. Karena setiap diagendakan, ketidakhadiran kliennya ke hadapan jaksa selalu disertai dengan keterangan jelas.
Untuk ketidakhadirannya pada panggilan pertama dan kedua, Emil menganggap alasan kliennya sudah cukup jelas karena terpapar COVID-19. Surat yang menyatakannya terpapar COVID-19 juga sudah disertai dengan keterangan medis dari pihak rumah sakit.
"Jadi, keterangan itu bukan cuma dari Rumah Sakit Harapan Keluarga, melainkan dari RSUD Kota Mataram," ucapnya.
Berikutnya, pada panggilan ketiga yang dikatakan oleh jaksa bahwa tersangka AP mangkir, Emil mengatakan bahwa hal tersebut tidak benar.
"Tidak ada klien saya mangkir, bukan begitu. Jadi, saya sendiri yang datang mengantarkan surat keterangan klien kami yang tidak hadir. Namun, ketika mengantar surat tersebut, saya tidak bertemu dengan kasidik-nya (Kepala Penyidik Pidsus Kejati NTB)," ujarnya.
Dalam kasus ini, hanya tersangka AP sebagai direktur pelaksana proyek dari PT Sinta Agro Mandiri (SAM) yang belum pernah menjalani pemeriksaan. Hal itu terpantau sejak penetapannya sebagai tersangka pada tanggal 9 Februari 2021.
Dalam penanganan perkara ini, pihak kejaksaan telah mengungkap peran AP sebagai tersangka bersama tiga orang lainnya. Tiga tersangka lainnya sudah menjalani pemeriksaan dan penahanan sejak Senin (12/4) di Rutan Polda NTB.
Mereka yang ditahan dengan status tahanan titipan jaksa adalah mantan Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) NTB Husnul Fauzi yang berperan sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) proyek.
Berikutnya IWW, pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek jagung pada tahun anggaran 2017 dan LIH direktur pelaksana proyek dari PT Wahana Banu Sejahtera (WBS).
Sebagai tersangka, mereka berempat disangkakan Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan/atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam penanganannya, penyidik telah menemukan angka kerugian negara senilai Rp15,45 miliar. Nominal itu muncul dari jumlah benih tidak bersertifikat dan gagal tanam.
Munculnya angka tersebut dari pengadaan yang dilaksanakan oleh dua perusahaan swasta yang berperan sebagai pelaksana proyek atau penyedia benih. Dalam perinciannya, kerugian negara dari PT WBS muncul angka Rp7 miliar, kemudian dari PT SAM sebesar Rp8,45 miliar.
Dari hasil penyidikan sejak Oktober 2020, penyidik kemudian memastikan bahwa munculnya kerugian negara yang cukup besar itu diduga akibat ulah para tersangka.