Jakarta (ANTARA) - Aturan tentang royalti yang baru saja diterbitkan pemerintah Indonesia merupakan salah satu upaya untuk melindungi musisi dan pemilik hak kekayaan intelektual.
"Peraturan Nomor 56 Tahun 2021 kami keluarkan untuk mempertegas bahwa ada hak orang lain," kata Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Freddy Harris, dalam webinar tentang hak kekayaan intelektual, Rabu.
Pemerintah pada akhir Maret lalu menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Peraturan tersebut mempertegas bahwa pemutaran musik untuk kegiatan komersil, misalnya di kafe, dikenakan royalti, yang akan diberikan kepada pemegang hak cipta lagu melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional atau LMKN.
Menurut Freddy, dengan aturan ini, karya para pelaku musik dihargai dan mereka mendapatkan nilai ekonomi dari karya mereka.
Ketika seorang musisi tidak menghendaki royalti dan membebaskan lagunya digunakan siapa saja, Freddy menyatakan sebaiknya sang musisi membuat pernyataan kepada publik, bahwa lagu-lagu karyanya bisa digunakan tanpa dipungut royalti.
Namun, kata Freddy, sang musisi itu juga harus menghargai musisi lain yang menghendaki royalti.
Kemenkumham terus mengupayakan agar kesadaran masyarakat mengenai hak kekayaan intelektual bertambah, tidak hanya untuk musik, namun juga bidang lainnya seperti film.
Feddy mengingatkan meski pun saat ini era digital, tidak berarti bisa memakai karya orang lain secara sembarangan.
Kemenkumham juga sedang merancang pusat informasi untuk musik dan lagu yang bisa diakses pelaku industri musik. Tujuannya untuk mengetahui siapa pemilik hak cipta.
Pusat informasi musik dan lagu ini untuk mengoptimalkan penarikan dan pendistribusian royalti yang diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021.
"Kita buat mekanisme pencatatan hak cipta," kata Freddy.
Bank data untuk musik dan lagu juga berfungsi sebagai pembuktian kepemilikan hak kekayaan intelektual ketika terjadi perselisihan terhadap sebuah karya.
"Peraturan Nomor 56 Tahun 2021 kami keluarkan untuk mempertegas bahwa ada hak orang lain," kata Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Freddy Harris, dalam webinar tentang hak kekayaan intelektual, Rabu.
Pemerintah pada akhir Maret lalu menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Peraturan tersebut mempertegas bahwa pemutaran musik untuk kegiatan komersil, misalnya di kafe, dikenakan royalti, yang akan diberikan kepada pemegang hak cipta lagu melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional atau LMKN.
Menurut Freddy, dengan aturan ini, karya para pelaku musik dihargai dan mereka mendapatkan nilai ekonomi dari karya mereka.
Ketika seorang musisi tidak menghendaki royalti dan membebaskan lagunya digunakan siapa saja, Freddy menyatakan sebaiknya sang musisi membuat pernyataan kepada publik, bahwa lagu-lagu karyanya bisa digunakan tanpa dipungut royalti.
Namun, kata Freddy, sang musisi itu juga harus menghargai musisi lain yang menghendaki royalti.
Kemenkumham terus mengupayakan agar kesadaran masyarakat mengenai hak kekayaan intelektual bertambah, tidak hanya untuk musik, namun juga bidang lainnya seperti film.
Feddy mengingatkan meski pun saat ini era digital, tidak berarti bisa memakai karya orang lain secara sembarangan.
Kemenkumham juga sedang merancang pusat informasi untuk musik dan lagu yang bisa diakses pelaku industri musik. Tujuannya untuk mengetahui siapa pemilik hak cipta.
Pusat informasi musik dan lagu ini untuk mengoptimalkan penarikan dan pendistribusian royalti yang diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021.
"Kita buat mekanisme pencatatan hak cipta," kata Freddy.
Bank data untuk musik dan lagu juga berfungsi sebagai pembuktian kepemilikan hak kekayaan intelektual ketika terjadi perselisihan terhadap sebuah karya.