Mataram (ANTARA) - Aparat Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat mengungkap pemufakatan jahat dalam kasus penipuan dan penggelapan jual beli tanah seluas 2,06 hektare bernilai miliaran rupiah di Desa Lekor, Kabupaten Lombok Tengah.
Dirreskrimum Polda NTB Kombes Pol Hari Brata di Mataram, Kamis, menjelaskan, kasus ini terungkap dari adanya laporan korban berinisial AH asal Jakarta yang berstatus sebagai pembeli tanah.
"Jadi korban merasa ditipu karena sudah membayar uang muka 50 persen dari harga, tetapi pada kenyataannya tanah itu masih dalam status gadai," kata Hari Brata.
Dalam kasus ini, penyidik menetapkan empat tersangka yang diduga berafiliasi. Mereka adalah penjual tanah berinisial AS dan SR, penjamin gadai berinisial HA yang bukan lain kakak kandung dari AS, dan seorang notaris di Praya, Kabupaten Lombok Tengah berinisial CW.
"Ini baru kasus pertama dari mereka. Ada kasus selanjutnya yang kerugiannya lebih besar lagi. Rp12 miliar," ujarnya.
Transaksi jual beli tanah seluas 2,06 hektare di Lombok Tengah pada April 2019 itu terdiri atas dua bidang lahan. Dari tersangka AS, luas yang dijual 560 are, dan SR 1,5 hektare. Namun demikian, alih kepemilikan tanah yang rencananya akan dibangun peternakan ayam oleh korban, tidak dapat diurus oleh BPN Lombok Tengah.
Sebelum akhirnya korban mengetahui status tanah tersebut digadai, penyelesaian dari pengurusan alih kepemilikan lahan itu diserahkan ke kantor notaris milik CW.
Dalam perjanjian di hadapan notaris milik CW, harga per are disepakati Rp7,2 juta. Perjanjian juga memuat klausul bahwa status tanah tidak sedang bermasalah.
Sesuai dengan perjanjian, pembayaran tanah akan diselesaikan dalam dua kali pembayaran. Pembayaran pertama berupa uang muka 50 persen dari total harga Rp1,7 miliar, yang telah diterima oleh AS dan SR. Kemudian sisanya dibayarkan lagi setelah sertifikat terbit.
"Jadi AS sudah terima uang muka Rp205 juta sedangkan SR Rp557 juta," ucapnya.
Selanjutnya, HA kakak kandung AS, dalam kasus ini mendapat bagian Rp540 juta dari pembayaran uang muka untuk SR. sementara pembayaran uang muka untuk AS, dinikmatinya sendiri.
Kemudian HA berperan sebagai pihak yang mengajukan status gadai tanah tersebut ke BPN Lombok Tengah. Hal itu membuat korban tidak dapat memproses alih kepemilikan.
Selanjutnya untuk peran CW sebagai notaris dikatakan Hari telah meminta uang kepada korban Rp200 juta. Alasannya untuk keperluan biaya daftar permohonan SHGB ke BPN Lombok Tengah, biaya akta, dan biaya BPHTB serta PPH.
"Namun faktanya biaya BPHTB dan PPH belum dibayarkan. CW sudah disomasi dua kali tapi uang tidak dikembalikan," ujarnya.
Dengan konstruksi penyidikan yang demikian, kini empat tersangka dijerat dengan Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan dan 378 KUHP tentang Penipuan.
"Tiga orang sudah kami tahan. Satu tersangka lain, HA belum, karena sakit," kata dia.
Dirreskrimum Polda NTB Kombes Pol Hari Brata di Mataram, Kamis, menjelaskan, kasus ini terungkap dari adanya laporan korban berinisial AH asal Jakarta yang berstatus sebagai pembeli tanah.
"Jadi korban merasa ditipu karena sudah membayar uang muka 50 persen dari harga, tetapi pada kenyataannya tanah itu masih dalam status gadai," kata Hari Brata.
Dalam kasus ini, penyidik menetapkan empat tersangka yang diduga berafiliasi. Mereka adalah penjual tanah berinisial AS dan SR, penjamin gadai berinisial HA yang bukan lain kakak kandung dari AS, dan seorang notaris di Praya, Kabupaten Lombok Tengah berinisial CW.
"Ini baru kasus pertama dari mereka. Ada kasus selanjutnya yang kerugiannya lebih besar lagi. Rp12 miliar," ujarnya.
Transaksi jual beli tanah seluas 2,06 hektare di Lombok Tengah pada April 2019 itu terdiri atas dua bidang lahan. Dari tersangka AS, luas yang dijual 560 are, dan SR 1,5 hektare. Namun demikian, alih kepemilikan tanah yang rencananya akan dibangun peternakan ayam oleh korban, tidak dapat diurus oleh BPN Lombok Tengah.
Sebelum akhirnya korban mengetahui status tanah tersebut digadai, penyelesaian dari pengurusan alih kepemilikan lahan itu diserahkan ke kantor notaris milik CW.
Dalam perjanjian di hadapan notaris milik CW, harga per are disepakati Rp7,2 juta. Perjanjian juga memuat klausul bahwa status tanah tidak sedang bermasalah.
Sesuai dengan perjanjian, pembayaran tanah akan diselesaikan dalam dua kali pembayaran. Pembayaran pertama berupa uang muka 50 persen dari total harga Rp1,7 miliar, yang telah diterima oleh AS dan SR. Kemudian sisanya dibayarkan lagi setelah sertifikat terbit.
"Jadi AS sudah terima uang muka Rp205 juta sedangkan SR Rp557 juta," ucapnya.
Selanjutnya, HA kakak kandung AS, dalam kasus ini mendapat bagian Rp540 juta dari pembayaran uang muka untuk SR. sementara pembayaran uang muka untuk AS, dinikmatinya sendiri.
Kemudian HA berperan sebagai pihak yang mengajukan status gadai tanah tersebut ke BPN Lombok Tengah. Hal itu membuat korban tidak dapat memproses alih kepemilikan.
Selanjutnya untuk peran CW sebagai notaris dikatakan Hari telah meminta uang kepada korban Rp200 juta. Alasannya untuk keperluan biaya daftar permohonan SHGB ke BPN Lombok Tengah, biaya akta, dan biaya BPHTB serta PPH.
"Namun faktanya biaya BPHTB dan PPH belum dibayarkan. CW sudah disomasi dua kali tapi uang tidak dikembalikan," ujarnya.
Dengan konstruksi penyidikan yang demikian, kini empat tersangka dijerat dengan Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan dan 378 KUHP tentang Penipuan.
"Tiga orang sudah kami tahan. Satu tersangka lain, HA belum, karena sakit," kata dia.