Mataram (ANTARA) - Dinas Pertanian Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, mengatakan, peningkatan kualitas dan pelebaran jalan desa pada sejumlah titik menjadi pemicu alih fungsi lahan pertanian sehingga lahan pertanian di Mataram terus berkurang dan sekarang tersisa sekitar 1.494 haktre.
"Setelah kita buat jalan usaha tani, aktivitas masyarakat meningkat dan kemudian muncul bangunan diikuti dengan usulan pelebaran jalan yang akhirnya menjadi jalan umum," kata Kepala Dinas Pertanian (Distan) Kota Mataram H Mutawalli di Mataram, Kamis.
Dengan alasan itulah, pemerintah telah menghentikan penyaluran dana alokasi khusus (DAK) untuk pembukaan jalan usaha tani di Mataram sejak tahun 2019 karena dinilai tidak masuk prioritas.
"Alih fungsi lahan pertanian pada tahun 2020 mencapai 16 hektare, tapi pada tahun-tahun sebelumnya selalu berada di atas 20, 30 bahkan pernah hingga 40 hektare per tahun. Jadi sisa lahan pertanian kita sekarang sekitar 1.494 haktre," katanya.
Menurut dia, jalan usaha tani di Kota Mataram sudah terbangun sekitar 3.000 meter yang tersebar pada enam kecamatan, dengan panjang berbeda-beda mulai dari 400 meter, 500 meter bahkan ada yang 1.000 meter atau satu kilometer dengan lebar sekitar 2 meter.
"Namun sekarang, lebar jalan usaha tani tersebut rata-rata sudah empat meter dan hotmix," katanya.
Padahal, jalan usaha tani sengaja dibuat dengan lebar hanya 2 meter karena dihajatkan untuk memudahkan petani membawa hasil pertaniannya dengan kendaraan roda dua dan roda tiga, dengan kondisi fisik rabat tidak dihotmix.
Tetapi setelah jadi beberapa tahun, mulai muncul bangunan baik itu rumah maupun fasilitas publik dan warga sekitar mengusulkan untuk pelebaran dan peningkatan kualitas jalan dari rabat menjadi hotmix dengan alasan agar kendaraan roda empat bisa masuk.
"Padahal kita sengaja buat dengan lebar dua meter untuk menghindari roda empat masuk," katanya.
Tetapi, jika masyarakat setempat sepakat mengusulkan maka pihaknya tidak memiliki kewenangan untung menghentikan sebab jalan usaha tani juga dibuat berdasarkan partisipasi petani.
"Kondisi ini bagian dari tantangan perkembangan dan pertumbuhan di ibu kota provinsi," katanya.
Sebenarnya, sambung Mutawalli, hingga saat ini petani di Mataram masih banyak membutuhkan jalan usaha tani untuk memudahkan petani mengangkut hasil pertaniannya sekaligus sebagai efisiensi biaya operasional sehingga bisa meningkatkan pendapatan petani.
"Akan tetapi, dengan melihat perkembangan serta dampak alih fungsi lahan setelah adanya jalan usaha tani, pemerintah belum bisa mengalokasikan anggarannya lagi ke kita," katanya.
"Setelah kita buat jalan usaha tani, aktivitas masyarakat meningkat dan kemudian muncul bangunan diikuti dengan usulan pelebaran jalan yang akhirnya menjadi jalan umum," kata Kepala Dinas Pertanian (Distan) Kota Mataram H Mutawalli di Mataram, Kamis.
Dengan alasan itulah, pemerintah telah menghentikan penyaluran dana alokasi khusus (DAK) untuk pembukaan jalan usaha tani di Mataram sejak tahun 2019 karena dinilai tidak masuk prioritas.
"Alih fungsi lahan pertanian pada tahun 2020 mencapai 16 hektare, tapi pada tahun-tahun sebelumnya selalu berada di atas 20, 30 bahkan pernah hingga 40 hektare per tahun. Jadi sisa lahan pertanian kita sekarang sekitar 1.494 haktre," katanya.
Menurut dia, jalan usaha tani di Kota Mataram sudah terbangun sekitar 3.000 meter yang tersebar pada enam kecamatan, dengan panjang berbeda-beda mulai dari 400 meter, 500 meter bahkan ada yang 1.000 meter atau satu kilometer dengan lebar sekitar 2 meter.
"Namun sekarang, lebar jalan usaha tani tersebut rata-rata sudah empat meter dan hotmix," katanya.
Padahal, jalan usaha tani sengaja dibuat dengan lebar hanya 2 meter karena dihajatkan untuk memudahkan petani membawa hasil pertaniannya dengan kendaraan roda dua dan roda tiga, dengan kondisi fisik rabat tidak dihotmix.
Tetapi setelah jadi beberapa tahun, mulai muncul bangunan baik itu rumah maupun fasilitas publik dan warga sekitar mengusulkan untuk pelebaran dan peningkatan kualitas jalan dari rabat menjadi hotmix dengan alasan agar kendaraan roda empat bisa masuk.
"Padahal kita sengaja buat dengan lebar dua meter untuk menghindari roda empat masuk," katanya.
Tetapi, jika masyarakat setempat sepakat mengusulkan maka pihaknya tidak memiliki kewenangan untung menghentikan sebab jalan usaha tani juga dibuat berdasarkan partisipasi petani.
"Kondisi ini bagian dari tantangan perkembangan dan pertumbuhan di ibu kota provinsi," katanya.
Sebenarnya, sambung Mutawalli, hingga saat ini petani di Mataram masih banyak membutuhkan jalan usaha tani untuk memudahkan petani mengangkut hasil pertaniannya sekaligus sebagai efisiensi biaya operasional sehingga bisa meningkatkan pendapatan petani.
"Akan tetapi, dengan melihat perkembangan serta dampak alih fungsi lahan setelah adanya jalan usaha tani, pemerintah belum bisa mengalokasikan anggarannya lagi ke kita," katanya.